Berita Bekasi Nomor Satu

Diantara Pilihan

Radarbekasi.id – JANGAN sampai salah. Kebijakan yang salah menciptakan ketidakadilan. Dan hadirnya rasa tidak adil, merupakan ekspresi bentuk dari ketimpangan perlakuan. Memberikan petunjuk mengenai keberpihakan.

Bukan tanpa sebab, opsi penyelesaian kasus Jiwasraya, menempatkan skema solusi model bailout. Beberapa setting sudah dipersiapkan. Rencana bailout ditempatkan di urutan kunci. Bahkan, menempatkan rencana bailout sebagai sebuah rencana aksi recovery dari kegagalan bisnis korporasi, adalah sebuah hal yang terbilang keliru. Terlebih bisnis Jiwasraya bersifat swasta, meski milik negara.

Indikasi awal dari proses keliru pengelolaan bisnis Jiwasraya, tercermin dari pengambilan keputusan investasi bodong. Walhasil, return tidak menutup janji imbal hasil. Defisit terjadi, gagal bayar menyeruak.

Sampai di situ, skema dasarnya nampak klasik. Kerugian perusahaan pelat merah itu, dikembalikan kepada pemilik saham terbesar, yakni negara. Motif yang tampak usang.

Lantas, atas kerugian bisnis tersebut, negara akan memberikan suntikan modal, menambah arus kas, memperkuat kembali perusahan yang tengah layu untuk bisa kembali bergairah.

Injeksi dana segar, seolah menjadi kewajiban untuk menyehatkan perusahaan negara. Format yang diajukan bisa terlihat normal dan lebih soft melalui penguatan modal -bailin.

Lebih jauh lagi, usulan menutup kerugian -bailout juga bisa dilakukan, dengan alasan terdapat potensi dampak sistemik. Aspek reputasi dan kepercayaan market harus dijaga.

Berbekal pertimbangan itu, bailout bisa disarankan menjadi formula menutup kerugian secara langsung. Termasuk imbasnya pada industri sejenis. Pengalaman riil atas deskripsi bailout tersebut, bisa terlihat pada kasus Century.

Modal besar untuk menginfus bank Century, berakhir dengan melego di bawah nilai penyehatannya. Menimbang Etik Kebangkrutan perusahaan negara, sering diperhadapkan dengan pilihan restrukturisasi dan privatisasi.

Kerugian karena kesalahan pengolahan seolah diartikan sebagai risiko bisnis. Padahal bisa jadi ada motif tersembunyi, di balik kegagalan tersebut. Problemnya kemudian, bila opsi bailout dijadikan sebagai langkah perbaikan kondisi Jiwasraya, kerugian pemegang premi bisa ditutup, tetapi ketidakadilan bagi publik terjadi.

Terutama ketika dikomparasikan dengan program BPJS Kesehatan, yang digagas sebagai bentuk perlindungan kesehatan masyarakat secara universal, yang justru selalu terbelit dan dirundung defisit.

Upaya memberikan jaminan kesehatan bagi seluruh penduduk, tidak pernah berada dalam kondisi yang sehat. Program yang sifat jangkauannya berlaku secara nasional tersebut, bergantung pada bailout. Pokok persoalan BPJS Kesehatan terletak pada nilai pemanfaatan program oleh publik secara meluas.

Sebelum ini akses kesehatan terbatas, melalui program BPJS Kesehatan, fenomena gunung es masalah kesehatan publik menjadi terbuka. Pelepasan mekanisme kenaikan tarif premi BPJS Kesehatan, merupakan langkah untuk masuk ke dalam keseimbangan pasar.

Asuransi kesehatan bersifat sosial gotong royong ini, berhadapan dengan situasi hidup-mati publik. Situasi ini tentu berbeda dengan asuransi Jiwasraya yang relatif terbatas dan mengejar profit.

Jenis asuransi ini, memberi tawaran imbal hasil sebagai nilai tambah perlindungan finansial bagi nasabahnya. Bila pemerintah, kemudian justru responsif dan tampak bersiap untuk menambal bolong Jiwasraya melalui bailout.

Sementara dilain sisi bersikap agak pasif untuk bersikap pada defisit BPJS Kesehatan, kita tentu akan menyoal etik dan tanggung jawab kekuasaan kepada kepentingan publik. Jadi bagaimana menuntaskan problem Jiwasraya? Keluarkan terlebih dahulu skema penyelesaian melalui bailout.

Lantas pulihkan melalui mekanisme hukum terkait. Buat terang dan transparan misteri kerugian Jiwasraya. Setelah itu, serahkan pada profesional terkait untuk menyusun peta jalan bagi solusi yang dihadapi.

Lalu bagaimana dengan defisit BPJS Kesehatan? Karena ini menyangkut hajat langsung publik atas akses kesehatan, maka tempatkan opsi bailout sebagai bentuk dari tanggung jawab kekuasaan atas kehidupan publik.

Secara bersamaan, dilakukan pengelolaan profesional, dengan dasar politik yang memiliki keberpihakan bagi persoalan mendasar publik. (*)

Oleh: Yudhi Hertanto

Penulis sedang menempuh Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid


Solverwp- WordPress Theme and Plugin