Berita Bekasi Nomor Satu
Bekasi  

Kalau Saya Tidak Lakukan Ini, Teman-Teman Saya Terancam Nyawanya

KEPEDULIAN: Tirta Mandira Hudhi (tengah) di RS Daan Mogot, Tangerang, saat penyerahan alat pelindung diri tahap I. (INSTAGRAM TIRTA MANDIRA HUDHI)
KEPEDULIAN: Tirta Mandira Hudhi (tengah) di RS Daan Mogot, Tangerang, saat penyerahan alat pelindung diri tahap I. (INSTAGRAM TIRTA MANDIRA HUDHI)

RADARBEKASI.ID, BEKASI – Di tengah kesibukan, dokter-dokter ini menggalang dan mendistribusikan bantuan untuk para kolega mereka yang berjibaku menangani pasien. Bahkan, saat tergolek di rumah sakit pun, masih harus mengoordinasi relawan.

FERLYNDA P., Jakarta– SEPTINDA A.P., Surabaya, Jawa Pos

SEORANG sopir tiba-tiba saja menghampiri. Menyalaminya sembari berterima kasih kepadanya.

”Saya lupa sopir metromini atau angkot. Yang jelas saya agak kaget,” kenang dokter Tirta Mandira Hudhi kepada Jawa Pos kemarin (1/4).

Siang itu, belum lama berselang, dia tengah berada di Terminal Kampung Rambutan, Jakarta, untuk melakukan edukasi. Tapi, belum sempat bertanya lebih lanjut, si sopir berlalu.

Barulah dari sejumlah orang di terminal itu Tirta tahu alasan kenapa sopir tersebut berterima kasih. ”Ternyata Pak Sopir itu merasa sangat terbantu oleh video mengenai cara cuci tangan, menutup mulut ketika batuk, dan larangan meludah sembarangan yang saya buat,” kata dokter yang kini fokus mengelola bisnis sepatu dan laundry sepatu itu.

Membuat video edukasi tersebut hanyalah satu noktah dari sederet panjang aktivitas sosial yang dilakukan alumnus Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta, itu. Di masa pandemi Covid-19 ini, dia berjibaku di ”garis belakang” untuk membantu rekan-rekannya sesama dokter dan tenaga medis lain yang bertarung di ”garis depan”.

Pada akhir pekan lalu, misalnya, dari tempat tidur rumah sakit tempat dia dirawat, sembari menunggu hasil tes swab, pria 29 tahun itu harus mengoordinasikan semua bantuan. Termasuk mengoordinasi relawan. Tirta harus ke rumah sakit setelah badannya demam dan batuk. Sempat waswas tentu saja, sebab dia berjibaku keluar masuk instalasi gawat darurat dan bertemu dengan banyak orang untuk menyalurkan bantuan.

Dia pun sempat menjalani tes untuk mengetahui apakah ada SARS CoV-2, virus pemicu penyakit Covid-19, di tubuhnya. Pemeriksaan parunya menunjukkan adanya bronkitis kronis. Dia juga ditetapkan sebagai pasien dalam pengawasan (PDP).

Nah, sambil menunggu hasil tes itulah dia melaporkan kepada khalayak bahwa seluruh bantuan tetap berjalan. Dia mengoordinasikan, sementara ada relawan yang turun ke lapangan.

Tirta mengandalkan media sosial sebagai wadah laporan. Follower-nya memang banyak. Di Instagram saja, 1,3 juta orang yang mengikutinya.

Ternyata hasil laboratorium menyatakan dia negatif. Selasa lalu (31/3) akhirnya Tirta keluar dari rumah sakit.

Dia meninggalkan praktiknya sejak 2018. Meski demikian, jiwa dokternya tetap bersemayam. Memberikan layanan kesehatan melalui video edukasi adalah salah satu jalan pedangnya.

Selain membuat video edukasi, Tirta menggalang dana untuk memberikan alat pelindung diri (APD) kepada tenaga medis. Dia memesan baju hazmat dengan kualitas yang ideal untuk tindakan medis.

Dia juga memesan masker di reseller meski harganya melangit. ”Kalau saya tidak melakukan itu, teman-teman saya terancam nyawanya,” ujarnya.

Selain itu, dia bekerja sama dengan alumni FKUI menyediakan makanan bergizi bagi tenaga medis. Tirta menceritakan bagaimana berterimakasihnya tenaga medis yang mendapatkan bantuan seperti itu. ”Seperti anak kecil yang dapat PS (PlayStation),” tuturnya.

Dia melihat teman-temannya di rumah sakit kembali semangat saat menerima bantuan. Bahkan, ada yang sampai menangis. ”Mereka ini kan mendapatkan tekanan dari pasien, atasan, kementerian, banyak lah,” imbuhnya.

Setelah langkah jangka pendeknya berjalan, kini dia tengah menapaki rencana jangka menengah untuk melawan Covid-19. Dia digandeng Kementerian Kesehatan untuk kampanye stop merokok dan mendirikan kampung mandiri Covid-19.

”Saya juga akan mengadakan rapat secara daring dengan dokter seluruh Indonesia untuk mendengar keluhannya,” ujarnya.

Masukan dari para dokter itu akan dia sampaikan kepada pemerintah untuk menjadikan program kesehatan yang baik.

Di salah satu rumah di kawasan Manyar Kertoasri, Surabaya, kemarin, kepedulian dan kegigihan serupa ditunjukkan tim relawan Ikatan Alumni (IKA) Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Airlangga (Unair) angkatan 2013. Hampir seharian mereka habiskan di kediaman dokter Inggrid Asali itu untuk mengurusi distribusi bantuan APD.

Sebanyak 30 paketan pun dikirim ke sejumlah rumah sakit rujukan dan puskesmas. ”Kami kirim lewat kurir ke berbagai provinsi. Paling banyak di Jawa Timur,” kata Inggrid kepada Jawa Pos.

Ada tiga anggota tim relawan IKA Unair angkatan 2013 lain yang menemani Inggrid kemarin. Mereka adalah dr Nastiti Imana, dr Michael Susanto, dan dr Farah Shabrina.

Hampir dua minggu ini mereka menghabiskan sisa waktunya setelah bertugas di rumah sakit untuk mengurus bantuan APD dari pengumpulan donasi untuk tenaga kesehatan (nakes) yang menangani Covid-19. Bisa dibayangkan betapa lelahnya.

”Biasanya pagi pukul 06.00 saya sudah berangkat, pulang pukul 16.00. Terus kami lanjut mengurus distribusi bantuan sampai tengah malam,” ujarnya.

Yang menggembirakan Inggrid, gerakan kemanusiaan IKA FK Unair angkatan 2013 itu mendapat dukungan banyak orang. ”Awalnya kan hanya dari lingkungan keluarga, mengumpulkan uang untuk dibelikan masker,” ujarnya.

Masker-masker itu dibagikan kepada teman-teman dokter yang bertugas di rumah sakit. Khususnya di daerah terpencil.”Saya cuma menawarkan ke grup yang isinya teman-teman sendiri. Siapa yang butuh masker, saya kasih gratis,” kata dia.

Ternyata, banyak sekali yang meminta bantuan masker. Khususnya di daerah terpencil. Bahkan, banyak nakes tersebut yang terpaksa menggunakan masker yang tidak standar untuk melayani pasien di tengah pandemi Covid-19 seperti sekarang ini. Ada yang hanya menggunakan masker kain. Ada pula yang pakai masker dari popok bayi.”Miris rasanya mendengar kisah itu,” ujarnya.

Mulai dokter residen paru, penyakit dalam, anestesi, radiologi, mikrobiologi, hingga THT (telinga, hidung, dan tenggorokan). ”Mereka yang berada di garda depan. Bertugas mengambil swab pasien. Risiko mereka besar dan banyak yang sudah terpapar Covid-19,” katanya.

Dari situlah, pada 18 Maret lalu Inggrid mengajak teman-temannya ikut aksi kemanusiaan. Ternyata, aksi tersebut direspons positif. Dari alumni FK Unair 2013, ada 18 orang yang bergabung.

Bantuan dari para donatur pun begitu banyak. Dana yang terkumpul tembus Rp 500 juta. Seluruh uang tersebut dibelanjakan APD. Berupa masker N95, masker bedah, baju hazmat, face shield, kaca mata goggles, hand sanitizer, dan disinfektan.

”Paling sulit mencari barangnya. Kami harus beli ke penimbun yang ready stock. Harganya tentu mahal sekali,” ujarnya.

Michael menambahkan, misi kemanusiaan akan terus dilakukan hingga pandemi Covid-19 berakhir. Apalagi, ini berkaitan dengan keselamatan nakes. ”Prinsip tenaga kesehatan IGD, sebelum melindungi pasien, mereka harus dilindungi sendiri,” katanya.

Aksi kemanusiaan tersebut dilakukan juga berangkat dari pengalaman pribadi sebagai dokter. Meski bertugas sebagai dokter IGD, penggunaan APD seperti masker yang standar sangat penting. ”Kami kan tidak pernah tahu pasien yang ditemui positif atau negatif Covid-19,” ujarnya.(*/c10/ttg)


Solverwp- WordPress Theme and Plugin