Berita Bekasi Nomor Satu

Momok Resesi di Tengah Pandemi

Sekitar dua minggu yang lalu, saya tersentak melihat berita di salah satu portal berita online bahwa negara yang tingkat ekonominya tangguh sekelas Singapura telah jatuh ke dalam jurang resesi.

Waw,itu tandanya ekonomi Asia sedang tidak baik-baik saja, batinsaya.

Dilansir portal yang sama, kondisi ekonomi Negara yang sumber pendapatannya disokong oleh, salah satunya, bidang jasa ini terparah sejak mereka merdeka alias 55 tahun yang lalu.

Hal ini menunjukkan bahwa ekonomi Singapura kelojotan dan ambruk akibat, tidak lain dan tidak bukan, corona yang masih dengan nyaman bercokol di permukaan bumi ini.

Lalu, minggu-minggu berikutnya negara-negara besar lainnya menyusul. Setelah Singapura, Korea Selatan diberitakan jika mereka telah resmi mengalami resesi. Belum lagi Negara sekelas Jerman yang mengalami hal serupa. Lalu disusul oleh Hongkong yang tengah panas akibat demonstrasi-demonstrasi dan konfliknya dengan Tiongkok.

Belum lagi disusul oleh Spanyol dan Italia yang akhirnya menyebabkan harga emas melangit.

Dan teranyar, Negara adidaya sekaliber Amerika Serikat juga resmi diberitakan resesi, dilansir CNBC Indonesia.

Kontraksi ekonomi yang dialami oleh AS akibat, salah satunya, merosotnya daya beli masyarakat sebesar 34.6%. Padahal, belanja konsumen merupakan fondasi utama perekonomian AS, yakni berkontribusi hampir 70% dari total Produk Domestik Bruto (PDB) Negara tersebut.

Tapi sebelumnya, apa sih resesi itu? kenapa hal tersebut menjadi nada sumbang di bidang ekonomi oleh negara-negara di dunia? lantas, apa saja yang menyebabkan resesi bagi sebuah negara? Dan sederet pertanyaan lainnya yang pasti terlintas di kepala para pembaca berita, kecuali mereka yang memang mempunyai dasar ilmu ekonomi.

Dan terakhir, di saat negara-negara besar yang sedang mengalami resesi ekonomi, apa yang membuat Indonesia, negara yang kita cintai ini, masih berdiri tegak (setidaknya sampai tulisan ini dibuat), di antara kondisi ekonomi negara-negara besar yang saat ini tengah merangkak.

Menurut Edward E. Leamer dalam papernya berjudul What is Recession? anyway ia menjelaskan tentang definisi resesi yang ditelurkan oleh National Bureau of Economic Research (NBER), bahwa resesi adalah penurunan yang signifikan pada keseluruhan daripada aktifitas ekonomi, yang biasanya memakan waktu sampai beberapa bulan. Hal tersebut dapat terlihat efeknya pada produksi industri, lapangan kerja, pendapatan riil dan perdagangan tingkat grosir sampai eceran.

Sebuah Negara akan dianggap tengah resesi jika kondisi perekonomiannya berada pada kondisi minus di dua kuartal terakhir.

Contohnya AS yang mengalami kontraksi sebesar 5% di kuartal-I lalumenurun tajam ke angka 32,9% di kuartal-II pada tanggal 30 Juli malam lalu.

Resesi, dari definisi diatas, pantaslah menjadi momok bagi setiap Negara karena kondisi itu akan menunjukkan bahwasannya ekonomi di Negara tersebut sedang anjlok.

Hal ini tentu diakibatkan karena motor penggerak di belahan negara, terutama yang bertumpu pada perdagangan,macet akibat salah satunya yang dialami oleh AS. Daya konsumsi masyarakat yang berkurang.

Berkurangnya daya beli atau konsumsi diakibatkan oleh hilangnya pendapatan masyarakat akibat banyaknya pemutusan hubungan kerja yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang mengalami defisit akibat lockdown yang diterapkan di berbagai wilayah.

Bagaimana kondisi Indonesia pada saat negara-negara lain sedang mengalami resesi ? pertanyaan tersebut pasti bergelut dalam pikiran masyarakatnya. Apalagi, usaha pemerintah memberikan stimulus lewat kartu prakerja tidak berjalan mulus akibat pelaksanaannya yang, bias dibilang, berantakan dan tidak tepat sasaran.

Belum lagi kritik yang menyertai pemilihan vendor-vendor penyedia pelatihan yang menuai kontroversi. Lalu munculnya fakta yang disampaikan pak Presiden Jokowi saat rapat cabinet terbuka bahwa dana yang dianggarkan lewat Kementerian Kesehatan untuk para tenaga kesehatan dan penanganan Corona yang jumlahnya mencapai Rp75 triliun hanya terserap baru sekitar 1,53%.

Di tengah tekanan ketidakpastian akhir dari virus corona dan juga himpitan ekonomi global yang terus menerus menurun, apa yang membuat Indonesia masih bertahan dari resesi ekonomi tentu menarik untuk diperbincangkan.

Dilansir oleh Detikfinance, salah satu factor masih tegaknya perekonomian Indonesia adalah naiknya penerimaan pajak dari -15% menjadi -12% dibulan Juni dan diproyeksikan akan naik lagi menjadi -10% di akhir tahun. Belum lagi perekonomian yang mulai diproyeksikan akan maju karena kegiatannya telah pulih di tengah kondisi new normal yang tengah digalakkan pemerintah.

Kondisi perekonomian Indonesia yang masih diatas 0% pada kuartal ke-III merupakan bukti bahwa Negara ini belum dapat dikatakan resesi. Belum lagi skenario yang dirancang ibu Menteri Sri Mulyani, seperti dilansir oleh Bisnis.com, yang akan memotong sebesar 5,2% dari total anggaran belanja pada tahun 2021 guna menyimpan anggaran sebesarRp179 triliun untuk mengawal pemulihan ekonomi nasional.

Namun, persiapan-persiapan matang yang dilakukan oleh Kementrian Keuangan tergantung dari bagaimana penanganan virus corona ke depan. Jika pemerintah, di pusat maupun daerah, mampu bekerjasama menekan laju pertumbuhan virus corona dan melakukan penanganan yang tepat guna, tentu scenario tersebut dapat berjalan dan menghindarkan ekonomi Indonesia dari jurang resesi. Maka, tidak akan mungkin memperbaiki ekonomi dengan mengesampingkan penanganan virus corona.

Kedua hal ini seperti dua sisi mata koin yang berbeda, karena pertumbuhan positif ekonomi tidak akan terjadi jika pemerintah menyepelekan penangan virus corona, maupun vis versa. Tentu keadaan ini sangat kritis dan menentukan bagaimana kondisi Indonesia ke depannya.

Di tengah nada-nada sumbang berupa meningkatnya angka pasien virus corona yang ada di Indonesia, tingkah laku yang mencerminkan denialnya masyarakat kita akan eksistensi virus corona serta RUU Cilaka yang dianggap tidak menghiraukan alam dan lingkungan hijau, tentu pemerintah wajib mencari win-win solution, bukan justru win-lose solution atau bahkan lose-lose solution.

Akhir kata, di tengah kuatnya dampak dari virus corona yang tidak menentu serta ambruknya kondisi ekonomi dan psikologis masyarakat, aksi-aksi kolaboratif seperti awal-awal munculnya virus ini, yang sekarang sepertinya sudah mulai redup, tentu menjadi langkah positif yang dapat kembali digalakkan.

Saling mengingatkan perihal kedisiplinan kesehatan serta saling membantu antar individu masyarakat dapat menjadi kunci untuk mengerek kondisi sekarang ke arah yang lebih postif.

Saran yang naif, memang. Namun toh, akan lebih baik jika kita sama-sama saling menguatkan. Bukan malah saling menjegal untuk berlomba meraih sekoci untuk menyelamatkan diri. (*)

 

Solverwp- WordPress Theme and Plugin