Berita Bekasi Nomor Satu

Mendengarkan, Hal Sepele yang Kerap Diabaikan

Nurul Yaqin, S.Pd.
Nurul Yaqin, S.Pd.

Radarbekasi.id – Ini peristiwa dua tahun lalu. Ibu dari salah satu murid saya meminta bertemu untuk membahas kelakuan anaknya yang sering membantah. Saya tentukan waktu dan tempatnya. Pada hari H, kami bertiga berkumpul di salah satu kantor sekolah. Di sana percakapan pun bermula.

Ibu itu curhat dengan wajah terisak, bahwa anaknya selalu melawan jika diingatkan. Sering main motor hingga pulang malam. Segala noda hitam anaknya ditumpahkan di hadapan saya.

Dalam kondisi seperti ini si anak hanya duduk merunduk mendengarkan keluh kesah sang ibu. Saya pun demikian, menyimak penuh seksama setiap kata yang dilontarkan.

Di tengah pelampiasan ibu yang menggebu-gebu, perlahan si anak nyeletuk “Begini loh, pak, saya seperti ini karena saya punya alasan”. Belum sempat anak itu melanjutkan omongan-nya, ibu itu memotong “gitu tuh, pak, setiap saya ngomong pasti dia jawab”.

Anak itu lagi-lagi mau membalas, hanya saja saya memberi isyarat anggukan supaya ditahan. Akhirnya dia paham, terus menunduk, makin tak peduli dengan celotehan ibunya.

Di saat ibu itu diam, saya mencoba memberi masukan, namun belum kelar saya berbicara, ibu itu lagi-lagi memotong pembicaraan, memojokkan anaknya. Bahkan, si ibu mengungkit semua materi yang telah diberikan selama ini.

Gigi anak itu bergemerutuk, terlihat semakin dongkol. Namun, anak itu seolah tak ada ruang untuk memberi penjelasan. Dalam kondisi demikian, saya pun memilih diam. Pertemuan itu tak berujung solusi, meskipun anak itu minta maaf dan bersalaman kepada ibunya. Saya yakin anak itu melakukan-nya dengan terpaksa.

Sebagai wali kelas selama dua tahun berturut-turut (kelas 8 dan 9 SMP), saya paham anak ini. Memang sedikit tempramen, tapi bukan berarti tidak bisa dinasehati.

Nah, ketika ibu itu pulang, saya dan anak itu masih terdiam. Saya ajak ngobrol santai sembari menanyakan kebenaran informasi ibunya. Anak itu jujur jika selama ini sering pulang malam dan menjawab jika diingatkan.

Dia menangis “Pak saya sering ke luar rumah, karena saya mencari kenyamanan. Di rumah saya selalu serba salah. Ketika saya mau menjelaskan tentang kelakuan saya, ibu selalu marah, dan ketika itu saya memilih diam. Tapi, ketika saya diam, ibu memaksa saya untuk berbicara. Saya pun menjawab, tapi ketika itu juga saya dituduh melawan. Saya jadi serba salah, pak”. Saya pangku anak itu sambil sesenggukan.

Hanya Mau Didengar
Cerita di atas hanya sejumput dari tumpukan kasus yang bertebaran di sekeliling kita. Banyak orang tua yang belum bisa menjadi telaga penyejuk ketika anak sedang dahaga.

Orang tua kerapkali tidak memberikan kesempatan kepada anak untuk menyampaikan haknya sebagai manusia. Hal paling sederhana yang acapkali diabaikan orang tua yaitu belum bisa menjadi pendengar yang baik bagi anak. Anak dianggap miniatur yang hanya bisa manut kepada fatwa dan nasehatnya.
Julie K. Nelson, penulis buku “Parenting with Spiritual Power (2013)” pernah mengatakan apabila orang tua ditanya siapakah yang menjadi pendengar yang baik, orang tua atau anaknya, maka mereka akan cepat menjawab “tentu saja, saya.”Orang tua mengklaim dirinya demikian, karena mereka merasa lebih dewasa, lebih pintar, dan lebih bisa melakukan apa saja dibanding anaknya.

Realitanya, tak banyak orang tua yang menyadari bahwa “mendengar” merupakan salah satu bentuk keterampilan berkomunikasi. Meminjam istilah Ahmad Baedowi dalam bukunya “Calak Edu 4 (2015)” bahwa mendengar adalah salah satu kunci pokok dari sebuah komunikasi efektif (effective communication).

Masih segar dalam ingatan kita, kasus viral seorang ibu yang memarahi anaknya lantaran memperoleh rangking tiga di akhir tahun 2019 lalu. Ibu itu marah dan terus bertanya kepada anaknya dengan nada tinggi, siapa peraih rangking ketiga, yang tak lain adalah anaknya sendiri. Anak hanya bisa menangis dan terpojok melihat kemarahan ibunya (detiknews, 16/12/2019).

Kasus yang lebih mengerikan terjadi di Gresik, Jawa Timur, tahun lalu, seorang anak menyabet leher ibunya hingga tewas. Alasannya, karena dia kesal sering dimarahi oleh ibunya. Anehnya tidak ada raut penyesalan di wajah anaknya ketika diinterogasi (detiknews, 10/3/2019).

Jelas pemicu utama dari kedua kasus tadi adalah komunikasi yang tidak efektif. Orang tua hanya bisa memarahi, tanpa mau mendengarkan problema yang terjadi pada si anak.

Bukan hal tabu bahwa anak merupakan peniru ulung orang tua. Mereka akan melakukan apa yang dilihat dari orang tuanya. Ketika orang tua hanya pintar menasehati tanpa bijak mendengarkan, anak akan bertingkah serupa.

Jangan harap anak mendengarkan omelan orang tua, jika orang tua sendiri tidak mau mendengarkan keluhan sang anak. Jikapun anak mendengarkan, bisa dipastikan tidak akan menancap ke dalam hati, masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Tak berbekas.

Seperti kasus di awal, ketika anak membuat kesalahan, yang muncul pertama kali dari bibir orang tua adalah umpatan kemarahan. Anak dicerca dengan berbagai ucapan secara membabi buta tanpa mendengarkan duduk permasalahan.

Alih-alih ingin menasehati anak agar tidak mengulangi kesalahan, justru menjadi bumerang, anak semakin tak peduli. Jika hal ini terjadi secara terus-menerus dan berulang, maka perkataan orang tua hanya dianggap sebagai meongan kucing yang tak bernilai.

Menurut psikoanalis New York City, Gail Saltz, MD apabila anak merasa didengarkan, mereka juga akan mendengarkan Anda. Mereka juga merasa lebih dimengerti, lebih percaya, dan lebih tertarik pada apa yang Anda katakan. Ali bin Abi Thalib pernah berkata “Man ahsanal istima’ ta’ajjal intifa’” artinya “barang siapa baik dalam mendengarkan, maka akan disegerakan kemanfaatan”.

Imam Abu Hatim Ibnu Hibban Al-Busti dalam kitabnya Raudhah Al-‘Uqala wa Nazhah Al-Fudhala menyampaikan “Orang yang berakal seharusnya lebih banyak mempergunakan kedua telinga dari pada mulutnya.

Dia perlu menyadari bahwa dia diberi telinga dua buah, dan diberi mulut hanya satu supaya lebih banyak mendengar dari pada berbicara”. Begitu juga yang seharusnya dilakukan orang tua kepada anak, terlebih ketika anak melakukan kesalahan.

Orang tua yang terbiasa mendengarkan segala bentuk keluhan anak akan menciptakan kedekatan emosional di antara keduanya. Dan tanpa disadari, orang tua yang lebih banyak mendengarkan memiliki tempat spesial di hati anaknya, dari pada orang tua yang banyak berceloteh yang ucapannya hanya ingin didengar.

Keterampilan Mendengar
Mendengarkan pendapat anak memang terkesan mudah, namun kenyataannya tak segampang yang kita pikirkan. Butuh kesabaran ekstra, karena orang tua akan mendengarkan sesuatu yang tidak disukai anak, atau hal-hal negatif tentang orang tuanya. Deskripsi anak yang tak selaras dengan anggapan orang tua. Maka dari itu, di tengah pandemi ini yang mengharuskan orang tua dan anak berdiam di rumah dalam jangka waktu yang tidak bisa dipastikan, penting bagi orang tua untuk mengembangkan keterampilan mendengarkan anak agara tercipta komunikasi yang efektif.

Pertama, menempatkan posisi orang tua pada posisi anak. Ilmu dan pengalaman hidup orang tua kerapkali memposisikan mereka sebagai orang yang harus “didengar”. Akibatnya, orang tua lebih suka didengarkan dari pada mendengarkan. Oleh karena itu, orang tua harus dapat memposisikan diri sebagai pendengar ucapan sang anak dengan penuh antusias dan responsif sebagaimana anak mendengarkan ucapan orang tua.

Kedua, menghadirkan fisik dan mental. Maksudnya, mendengarkan keluhan anak dengan sepenuh hati. Memberikan waktu dan perhatian penuh ketika anak sedang berbicara. Meninggalkan hal-hal yang dapat membuyarkan fokus seperti televisi, gadget, dan lain-lain. Anak dapat merasakan kehadiran orang tua, yang hadir sekadar fisik dan yang hadir dengan keduanya (fisik dan spikis).

Ketiga, tidak terburu-buru merespons. Artinya, mendengarkan pendapatnya hingga tuntas. Tidak memotong atau mengintervensi ucapannya. Memberikan kesempatan kepada anak berbicara sampai selesai berarti menumbuhkan kepercayaan (trust) mereka bahwa orang tua benar-benar peduli dengan apa yang mereka sampaikan.

Keempat, tidak mengkritik. Jadi, orang tua legowo dengan apa yang diutarakan anaknya. Meskipun tentang hal-hal yang bertolak belakang dengan mindset orang tua. Meluruskan pendapat anak yang kurang benar dengan bijak akan lebih mudah diterima daripada sekadar mengkritik. Kritikan tanpa dasar hanya menyebabkan anak tidak berani menyampaikan pendapatnya.

Akhirnya, orang tua yang terbiasa mendengarkan keluhan atau pendapat anak, otomatis akan mengetahui kondisi kejiwaan anaknya. Orang tua akan mengetahui apa yang mereka pikirkan, rasakan, dan alami. Dengan “mendengar” akan tercipta komunikasi yang sehat, dan hubungan antara orang tua dan anak menjadi lebih dekat.

Pertanyaan-nya, kapan terakhir kali kita mendengarkan anak dengan tulus dan bijak? Jangan-jangan emang tak pernah sama sekali. Nauzubillahi min dzalik. (*)

Guru SMPIT Annur, Cikarang Timur, Bekasi. Anggota Pendidik Penulis Bekasi Raya (PPBR)


Solverwp- WordPress Theme and Plugin