Berita Bekasi Nomor Satu
Bekasi  

Pedagang Sembako Bekasi Tolak PPN

Illustrasi : Pedagang menunggu pembeli di lapaknya Pasar Baru Bekasi, Kamis (10/6). Pedagang menolak rencana pemerintah menjadikan bahan pokok atau sembako sebagai obyek pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 12 persen. RAIZA SEPTIANTO/RADAR BEKASI

RADARBEKASI.ID, BEKASI – Sejumlah pedagang di Pasar Baru, Bekasi Timur Kota Bekasi keberatan lantaran rencana pemerintah untuk mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas bahan pokok yang selama ini mereka jual kepada masyarakat. Kekhawatiran ini semakin menjadi di tengah ketidakpastian situasi ekonomi sejak pandemi Covid-19, tanpa PPN saja saat ini mereka mengaku penjualan tengah menurun.

Dewasa ini rencana pemerintah untuk mengenakan PPN menjadi perbincangan publik. PPN rencananya dikenakan pada bahan pokok dari sektor Pertanian, Perkebunan, Kehutanan, Peternakan, dan Perikanan. Perbincangan PPN ini bermula dari berkas Rancangan Undang-undang (RUU) perpajakan.

Salah satu pedagang sembako, Sam (40) mengaku PPN ini sangat berat oleh pengusaha kecil sepertinya.”Kalo pengusaha kecil sih keberatan ya,” katanya.

Terutama tarif PPN yang diusulkan sebesar 12 persen, menurutnya pengenaan pajak dengan nilai persentase tersebut terlalu besar. Jika benar-benar diberlakukan, maka pengenaan tarif ini akan semakin menekan aktifitas usahanya yang tergolong tak menentu pada sisi omzet yang diterima.

Belum lagi ditambah dengan biaya lain-lain yang harus ia keluarkan untuk menjaga usahanya tetap berjalan.”Saya pengeluaran sehari hampir Rp200 ribu, kadang-kadang engga ketemu (tidak seimbang antara pengeluaran dengan pendapatan). Dihitung-hitung sudah habis sama bayar karyawan dan kontrakan aja,” tambahnya.

Belakangan ia terpaksa merumahkan satu dari empat karyawannya lantaran pendapatannya nurun selama pandemi. Belum lagi harga beli berbagai macam bahan pokok yang ia jual tidak menentu.

Hal yang sama juga dikeluhkan oleh pedagang buah, Mat Nawi (55), terang-terangan ia menyatakan keberatannya jika pemerintah benar-benar memberlakukan pengenaan PPN 12 persen. “Kalau 12 persen ya keberatan. Dampaknya jelas, orang sekarang aja sama dulu kalau ambil untung harganya nggak turun nggak laku,” katanya.

Diperkirakan oleh pria yang telah lebih dari 20 tahun menjual buah ini, pengenaan PPN akan menekan penjualan buah lantaran kemampuan konsumsi masyarakat yang juga akan ikut menurun. Sementara, sejak pandemi Covid-19 saja penjualannya sudah menunjukkan tren penurunan.”Ya paling nggak kalah dua persen masih bisa ini (bertahan) lah, yang malam buah aja sekarang kan menengah keatas, yang menengah kebawah sudah nggak mikirin buah,” tukasnya.

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengaku bingung dengan kondisi tersebut. Pasalnya, draf tersebut bocor sebelum Presiden Jokowi menyerahkan ke DPR. Padahal, pembahasan antara pemerintah dengan DPR belum sama sekali dilakukan. Idealnya, setelah pembahasan rampung, pemerintah baru bisa memberikan penjelasan dan sosialisasi ke masyarakat.

“Dari sisi etika politik belum bisa memberikan penjelasan ke publik. Karena ini belum kami sampaikan ke DPR. Situasinya jadi agak kikuk. Jadi kami tidak dalam posisi bisa menjelaskan keseluruhan rencana pajak kita,” terangnya, Kamis (10/6).
Menurutnya, dengan bocornya draf tersebut, banyak informasi yang diterima hanya sepotong dan tidak tersampaikan secara lengkap. Karena yang diterima hanya sepotong, lanjut Sri Mulyani, sehingga pemerintah dinilai tidak memperhatikan kondisi masyarakat pada saat sekarang.

Ia juga meminta masyarakat sabar menunggu kelanjutan dari pembahasan kenaikan pajak tersebut. Yakni menunggu selesai pembahasan antara pemerintah dengan DPR.“Akan dilihat waktunya. Apakah bisa dibahas sekarang, pondasinya seperti apa, dan siapakah dalam perpajakan yang disebut gotong royong. Siapa yang pantas dipajaki, itu semua perlu dijelaskan secara lengkap,” bebernya.

Ia melanjutkan, dalam pembahasan nantinya, juga akan dibahas pasal per pasal. Sehingga alasan kenapa usulan tersebut disampaikan harus jelas dan bisa dipahami.Sri Mulyani juga menambahkan, jika rencana kenaikan pajak tersebut tidak dilakukan dalam waktu dekat. Alasannya, belum ada pembahasan antara pemerintah dengan DPR.“Pemerintah tidak mungkin melakukan kebijakan perpajakan tanpa diskusi dengan DPR. Itu saja dulu jawabannya,” tandasnya.

Anggota Komisi IV DPR RI Renny Astuti mengatakan, seharusnya pemerintah memberikan kebijakan yang pro rakyat. Ia menegaskan, sembako merupakan kebutuhan dasar rakyat. Jika nantinya PPN dilekatkan kepada sembako, maka harga sembako jadi semakin melambung.

Tentu, rakyat akan semakin sulit memenuhi kebutuhan dasarnya dan semakin menurunkan daya beli masyarakat.Hal tersebut akan membuat masyarakat semakin berhemat, sehingga perputaran ekonomi menjadi terhambat. Oleh sebab itu, ia berharap di tengah pandemi ini, pemerintah membuat kebijakan yang tidak menyengsarakan rakyat.

Menurut Renny, pengenaan PPN ini bisa dialihkan ke bidang lainnya, seperti minyak dan gas.“Saya pikir kebijakan pengenaan PPN ini masih ada bidang-bidang lainnya seperti minyak dan gas masih bisa dikenakan PPN. Janganlah sembako, itu kan kebutuhan dasar rakyat. Ini bukan saat yang tepat untuk mengeluarkan kebijakan tersebut,” ujarnya, Kamis (10/6).

Sebagai informasi, saat ini Pemerintah sedang mengajukan untuk menerbitkan Revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP). Berdasarkan Pasal 4A RUU KUP tersebut, sembako akan dihapus dalam kelompok jenis barang yang tidak dikenai PPN.

Selain itu, ada 13 kategori sembako pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 116/PMK.010/2017 yang akan dilekatkan PPN, di antaranya beras dan gabah, jagung, sagu, kedelai, garam konsumsi, daging, telur, susu, buah, sayur, ubi-ubian, bumbu, dan gula konsumsi. (sur/khf/fin)

Solverwp- WordPress Theme and Plugin