Berita Bekasi Nomor Satu
Bekasi  

Bekasi Sasaran Rokok Ilegal

ilustrasi rokok
Illustrasi Rokok

RADARBEKASI.ID, BEKASI SELATAN – Peredaran rokok ilegal naik hingga 1,9 persen selama masa pandemi Covid-19. Selain dilatarbelakangi oleh kenaikan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) dua tahun terakhir, juga disebabkan turunnya daya beli masyarakat sehingga memilih alternatif dengan mencari rokok lebih murah. Selama 28 hari, operasi gabungan Dana Bagi Hasil Cukai Tembakau (DBHCT), pemerintah mengamankan 52 merk rokok yang beredar di Kota Bekasi, belasan ribu bungkus rokok ini berpotensi merugikan negara lebih dari Rp100 juta.

 

Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) Badan Pusat Statistik( BPS) awal tahun kemarin, sebesar 26,44 persen masyarakat Kota Bekasi merokok, sama dengan 672 ribu jiwa. Perokok terbesar ada di kelompok pengeluaran rumah tangga 40 persen ke bawah.

 

Sementara rata-rata batang rokok yang dihisap oleh masyarakat Kota Bekasi 72,87 batang dalam sepekan. Konsumsi batang rokok terbanyak ada di kelompok pengeluaran rumah tangga 20 persen teratas, yakni 78 sampai 79 batang rokok selama sepekan.

 

Catatan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) tahun 2020 lalu, total 448,07 juta batang rokok Barang Hasil Penindakan (BHP) dengan total nilai Rp370,67 miliar. Sampai dengan bulan Agustus kemarin, total 213,15 juta batang rokok BHP dengan total nilai Rp207,94 miliar diamankan.

 

Di Kota Bekasi, selama 28 hari petugas operasi gabungan mengamankan total 232.100 batang rokok diamankan dengan total potensi kerugian Rp156 juta. Kerugian ratusan juta ini dihasilkan dari 52 merk rokok ilegal, rokok ilegal didapati di kios hingga toko kelontong di 12 wilayah kecamatan.

 

“Justru banyak itu di warung-warung kecil, dititipin, mereka ada yang ngirim,” terang Kepala Bagian (Kabag) Perekonomian Setda Kota Bekasi, Eka Hidayat Taufik, Selasa (9/11).

 

Di toko besar atau agen di pasar tradisional, Eka menyebut tidak ada rokok ilegal yang beredar. Dari tarif CHT rokok ini, Pemerintah Kota (Pemkot) Bekasi mendapatkan dana bagi hasil meskipun relatif kecil lantaran bukan daerah produsen, dalam satu tahun berkisar Rp4 miliar.

 

Puluhan merek rokok ilegal ini datang dari luar daerah Jawa Barat, bahkan sebagian kecil berasal dari luar negeri. Kota Bekasi dijadikan pasar oleh produsen rokok ilegal dengan harga yang ditawarkan lebih murah dibandingkan rokok legal, kehadirannya menjadi alternatif bagi perokok untuk tetap merokok dengan harga murah, imbasnya merugikan negara.

 

“Mudah-mudahan bisa dilakukan tiap tahun ya, kalau melihat dari operasi yang kemarin itu cukup besar,” tambahnya.

 

Dua tahun terakhir pemerintah memutuskan CHT, tahun 2020 harga cukai rokok naik 23 persen, awal tahun kemarin cukai rokok kembali diputuskan Baim 12,5 persen.

 

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Tauhid Ahmad menyampaikan bahwa kenaikan tinggi CHT diiringi dengan naiknya peredaran rokok ilegal. Kenaikan CHT yang dinilai terlalu tinggi pada tahun 2020 ikut menyeret naiknya peredaran rokok ilegal hingga 4,86 persen, lebih tinggi dari tahun sebelumnya.

 

Kenaikan CHT tinggi disebut akan memperbanyak celah pelaku usaha membuat rokok ilegal dengan pita cukai palsu, pita cukai bekas, hingga menggunakan pita cukai tidak sesuai golongannya.

 

“Disisi lain orang ingin mencari rokok yang lebih murah, saya kira itu problematikanya. Memang hasil data saya juga menyimpulkan semakin tinggi harga cukai rokok, itu semakin membuka peluang rokok ilegal naik,” paparnya.

 

Tauhid memperkirakan peredaran rokok ilegal tahun merugikan negara sampai Rp4,8 triliun, asumsi ini akan berbeda hasilnya dengan hasil perhitungan kerugian negara oleh DJBC yang dihitung berdasarkan jumlah BHP. Pemerintah perlu tetap memperhatikan aspek pengendalian, berkaitan dengan dampak kesehatan.

 

Kedua, aspek industri termasuk tenaga kerja, hingga penerimaan negara. Diperlukan keputusan kenaikan CHT lebih moderat, hasil perhitungan secara teoritis maksimal kenaikan CHT berkisar 14 sampai 15 persen dinilai terlalu tinggi.

 

“Mungkin di angka 9 sampai 10 persen itu masih relatif moderat, dan mempertimbangkan variabel hal-hal diatas,” ungkapnya.

 

Bahan baku mudah didapat dan mudahnya membuat rokok membuat peredaran rokok ilegal tetap berjalan, tidak berhenti pada penindakan yang dilakukan oleh pemerintah.

 

Tauhid mengakui naiknya harga jual rokok berbanding lurus dengan turunnya konsumsi rokok, dua tahun terakhir angka perokok anak juga semakin menurun. Namun fakta lainnya, jumlah industri rokok semakin bertambah, bergerak di level Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).

 

“Data perhitungan saya, ujicoba data hubungan kausalitasnya semakin tinggi harga rokok, maka memang prevalensi anak semakin menurun,” tukasnya. (Sur)


Solverwp- WordPress Theme and Plugin