Berita Bekasi Nomor Satu
Bekasi  

Penetapan Ganti Rugi Janggal

Illustrasi Perumahan

RADARBEKASI.ID, BEKASI TIMUR – Puluhan Kepala Keluarga (KK) pensiunan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) menolak hasil penetapan harga tanah yang akan dibebaskan oleh Kantor Jasa Penilaian Publik (KJPP). Tidak hanya nilainya, proses penyampaian kepada warga juga dinilai tidak transparan. Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Bekasi belum memberikan jawaban atas kekecewaan warga ini.

 

Wilayah tempat tinggal pensiunan dan janda pensiunan Kementerian PUPR ini, rencananya akan digunakan sebagai lokasi pembangunan Instalasi Pengelolaan Air Sistem Penyediaan Air Minum (IPA-SPAM) regional Jatiluhur 1 untuk mensuplai kebutuhan air minum 1,9 juta jiwa warga DKI Jakarta dan Jawa Barat.

 

Sekira lebih dari 3 hektar tanah akan menjadi lokasi IPA-SPAM dengan total nilai investasi sistem hulu Rp1,7 triliun. Salah satu lokasinya adalah Komplek Perumahan Pengairan Bendung BTB 45, Jalan M Hasibuan, RT 04/24, Kelurahan Margahayu, Kecamatan Bekasi Timur, Kota Bekasi. Total ada 21 KK, mereka adalah pensiunan dan keluarga pensiunan Kementerian PUPR yang telah meninggal dunia.

 

Kabar pembangunan proyek ini sebelumnya telah sampai di telinga warga tahun 2015 silam, hingga keluarnya Keputusan Walikota nomor 593/Kep-288a/DPKPP/VI/2021 tentang penetapan lokasi, hingga penilaian ganti rugi pembebasan lahan oleh KJPP.

 

“Sampai akhirnya di tahun 2021 ini baru direalisasikan, tapi yang sangat tidak bisa kami terima, ketika harga yang dinilai oleh KJPP itu sangat tidak wajar. Kami dinilai dibawah NJOP kami,” kata salah satu keluarga pensiunan, Drajat Luhur Pambudi, Selasa (14/12).

 

Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) tanah di lokasi warga tercatat Rp3.745.000,00. Namun, saat warga pemilik Sertifikat Hak Milik (SHM) menghadiri undangan pertama forum musyawarah penetapan bentuk ganti kerugian, pergantian nilai tanah yang diterima warga hanya Rp3.500.000,00 per meter. Nilai ini lebih kecil dibandingkan blok lain yang berada di bagian belakang komplek perumahan, NJOP di lokasi tersebut Rp2.013.000,00, diganti empat kali nilai NJOP atau sebesar Rp8 juta.

 

Tidak hanya itu, kejanggalan lainnya adalah proses penetapan ganti rugi di salah satu rumah makan di Bekasi Selatan. Di lokasi tersebut, warga satu per satu memasuki bilik, dibalik bilik terdapat tiga petugas yang akan berhadapan dengan warga, mereka adalah petugas satu petugas KJPP, dan dua petugas dari BPN Kota Bekasi.

 

Warga menyayangkan teknis penetapan ganti rugi yang dinilai tidak transparan. Menurutnya disampaikan secara terbuka, ditambah dengan format surat yang dinilai oleh warga ditulis dengan ukuran font kecil, menyulitkan warga untuk membaca secara detail, tanpa tanggal dan tanda tangan petugas yang bertanggung jawab. Dari teknis pelaksanaan dan nilai yang diterima, warga menolak.

 

Hari berikutnya 18 November 2021, warga pemilik SHM bersama dengan warga pemilik buku hijau kembali datang ke lokasi lantaran belum membubuhkan tandatangan pada hari sebelumnya. Dalam waktu satu hari, harga ganti rugi tanah mereka disosialisasikan naik menjadi Rp5 juta per meter.

 

Lagi-lagi warga merasa tidak puas, kenaikan harga hanya disampaikan lisan, tidak dalam bentuk tertulis.”Ini lisan pak, saya butuh yang tertulis, karena tadi kalau tidak saya sampaikan ke PPK tidak berubah. Nah yang aneh ini kenapa dalam waktu sehari bisa berubah, artinya harga masih bisa bermain (berubah-ubah) disitu,” tambahnya seraya menirukan pembicaraan di dalam bilik.

 

Sementara itu salah satu pemilik tanah dengan bukti kepemilikan buku hijau atau warga yang sudah lunas cicilan tanahnya kepada negara, Edi Sumaedi (67 tahun) sempat mempertanyakan dasar penilaian KJPP terhadap tanahnya. Jawaban yang ia peroleh, lingkungan tempat tinggal ia dan pensiunan lainnya tidak masuk kendaraan roda empat.

 

Sementara pada saat Radar Bekasi mengunjungi lokasi, nampak satu bangunan atap dibangun dengan ukuran kendaraan roda empat, tepat di depan rumah warga, digunakan untuk tempat parkir kendaraan, ditambah kondisi tempat tinggal mereka disebut dalam kategori kumuh. Ia mengaku sudah tinggal di lokasi tersebut sejak tahun 1976, rumah yang dibangun oleh Kementerian PUPR untuk pegawai-pegawainya.

 

Sejak ia mendengar kabar ini di tahun 2015, baru terlihat ada kegiatan persiapan pembebasan lahan mulai akhir tahun 2020. Ia bersama warga lain yang mengaku tidak mempunyai keinginan menjual tanah dan pindah tempat tinggal akhirnya setuju untuk kepentingan negara dengan catatan penetapan harga yang wajar, pembayaran dilakukan secara tunai, serta pemberian waktu enam bulan sejak pembayaran untuk warga bersiap pindah.

 

“Kemudian ada persiapan penetapan lokasi, akhirnya kami sepakat. Kami tidak ingin menghambat proyek nasional, proyek negara,” katanya.

 

Keberatan telah diajukan oleh puluhan KK kepada KJPP, kantor BPN Kota Bekasi, Dirjen Cipta Karya Kementerian PUPR, hingga kepala BPPW Jawa Barat. Namun, belum ada jalan keluar atas keberatan mereka.

 

Jawaban kedua dari KJPP tidak lagi tentang kendaraan roda empat dan wilayah yang sebelumnya dinilai kumuh. Melainkan lingkungan tempat tinggal puluhan KK ini masuk dalam zona hijau.”Surat-surat kami lengkap, SK penempatan ada dari pak menteri, lengkap, jadi (rumah) kami ini bukan bangunan liar,” tukasnya.

 

Warga sekitar mengaku telah kooperatif selama proses pembebasan lahan hingga keluarnya nilai ganti rugi tanah. Mereka mengaku telah mempersilahkan pemerintah untuk menggunakan tanah yang selama ini menjadi tempat tinggal mereka,  asalkan diganti dengan harga yang wajar meski dinilai tempat tinggal mereka cukup strategis. Dari 21 KK tersebut, diantaranya berstatus SHM, Buku Hijau, Rumah Negara Golongan (RNG) 2 dan 3, non golongan, hingga rumah dinas.

 

Beberapa kelompok KK lainnya masih belum mendapat kepastian berapa besar ganti rugi yang akan mereka dapatkan, mereka adalah warga yang tempat tinggalnya berstatus RNG. Mereka baru mendapat pernyataan lisan mengenai ganti rugi bangunan, mobilisasi dan pembongkaran, sewa rumah satu tahun, hingga perhitungan ikatan emosional terhadap rumah atau solatium.”Iya sampai dengan saat ini belum ada kejelasan sama sekali, itu kekhawatiran kami,” kata warga yang tinggal berstatus RNG, Asep Taswara (69).

 

Meski tanah dan bangunan belum menjadi hak milik, Asep selama ini membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Ia berharap bisa mendapat ganti rugi yang wajar sehingga bisa mendapat tempat tinggal baru, minimal dengan tipe bangunan yang sama dengan yang ia tinggali saat ini.”Padahal diumumkan dulu yang bayar PBB itu yang punya rumah,” tukasnya.

 

Sebagai pelaksana pengadaan tanah, belum ada jawaban apapun dari BPN Kota Bekasi terkait dengan hasil penetapan nilai ganti rugi yang dikecewakan  warga, termasuk tata ruang yang sempat diinformasikan kepada warga bahwa tempat tinggalnya berstatus zona hijau.

 

Dalam Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/KBPN) nomor 19 tahun 2021, undangan musyawarah penetapan bentuk ganti kerugian disampaikan kepada Lurah atau kepala desa, atau nama lain yang dibuktikan dengan tanda terima undangan paling lama lima hari sebelum musyawarah dilaksanakan. Permen ATRKBPN ini berisi ketentuan pelaksanaan PP 19 tahun 2021 tentang penyelenggaraan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum.

 

BPN Kota Bekasi belum bisa memberikan jawaban permohonan wawancara Radar Bekasi lantaran pejabat terkait sedang berada dalam perawatan RS.”Dengan pak kasi pengadaan, tapi beliau sekarang di rumah sakit,” ungkap Humas BPN Kota Bekasi, Mega menjawab permintaan wawancara.

 

Sementara itu, Kepala BPN Kota Bekasi Andi Bakti melalui pesan singkat juga tidak memberikan jawaban kepada Radar Bekasi terkait permasalahan ini, termasuk permintaan wawancara Radar Bekasi.

 

Besok, Kamis (16/12) puluhan pensiunan dan janda pensiunan Kementerian PUPR ini akan memulai perkara mereka di Pengadilan Negeri (PN) Bekasi. Warga telah menyampaikan keberatannya kepada PN Bekasi dengan menunjuk KJPP lain sebagai opsi kedua terkait dengan nilai tanah yang sesuai dengan nilai pasar.”Kita sudah mengajukan keberatan, waktu itu di 30 November, kami mengajukan keberatan ke PN Bekasi dan sidang pertama tanggal 16,” terang Kuasa hukum warga, Gita Paulina T Purba.

 

Diketahui, IPA-SPAM Regional Jatiluhur 1 beberapa waktu lalu disebut sebagai solusi larangan penggunaan air tanah di Jakarta dan sekitarnya. Perjanjian kerjasama resmi dilakukan dengan skema Kerjasama Pemerintah Badan Usaha (KPBU) bulan Februari lalu, ditarget selesai dalam jangka waktu 2,5 tahun. (Sur)


Respon (3)

  1. KJPP menilai rumah seluas apapun, segemerlap apapun bangunan atau marmernya kalau tidak berlantai lebih dari 1, tidak dikategorikan sebagai rumah mewah. Mereka beralasan dengan dasar perhimpunan penilai properti NASIONAL. Saya tidak tahu itu benar tertulis atau tidak, mereka tidak menunjukkan secara tertulis. “Saya cuma bisa berkata, ini KJPP nya yang salah mengerti isi pasal, atau memang asosiasi penilai properti yang bermasalah?? Kok bisa ada pasal gak logis seperti itu” Saya orang awam tidak paham mengenai properti, tapi satu yg saya tahu, KJPP memang benar tidak transparan.

    Yg paling mengecewakan adalah pernyataan Itjen PU pada waktu pertemuan dengan warga yang semuanya adalah pensiunan dan janda pensiunan Ditjen PU.
    Tidak menghargai jasa pensiunan PU dan Sungguh sangat merendahkan pensiunan PU yang sudah membangun infrastruktur negeri ini, dengan mengatakan “masih syukur dulu PU memberikan rumah kepada kalian, ….”

    Sungguh sangat merendahkan pensiunan PU.

    Kami keluarga pensiunan PU dipaksa harus menerima hasil KJPP oleh itjen PU, dengan angka lebih rendah dari angka jual rumah normal.
    Kami keluarga pensiunan PU juga merasakan kekecewaan dengan jajaran PU saat ini.
    Mohon dirombak jajarannya yang sekarang dan suruh duduk saja di meja kosong.
    Dan mohon dikirimkan orang lagi, untuk menghitung kembali semua ganti rugi gusuran proyek SPAM.

  2. KJPP menilai rumah seluas apapun, segemerlap apapun bangunan atau marmernya kalau tidak berlantai lebih dari 1, tidak dikategorikan sebagai rumah mewah. Mereka beralasan dengan dasar perhimpunan penilai properti NASIONAL. Saya tidak tahu itu benar tertulis atau tidak, mereka tidak menunjukkan secara tertulis. “Saya cuma bisa berkata, ini KJPP nya yang salah mengerti isi pasal, atau memang asosiasi penilai properti yang bermasalah?? Kok bisa ada pasal gak logis seperti itu” Saya orang awam tidak paham mengenai properti, tapi satu yg saya tahu, KJPP memang benar tidak transparan.

    Yg paling mengecewakan adalah pernyataan Itjen PU pada waktu pertemuan dengan warga yang semuanya adalah pensiunan dan janda pensiunan Ditjen PU.
    Tidak menghargai jasa pensiunan PU dan Sungguh sangat merendahkan pensiunan PU yang sudah membangun infrastruktur negeri ini, dengan mengatakan “masih syukur dulu PU memberikan rumah kepada kalian, ….”

    Sungguh sangat merendahkan pensiunan PU.

    Kami keluarga pensiunan PU dipaksa harus menerima hasil KJPP oleh itjen PU, dengan angka lebih rendah dari angka jual rumah normal.
    Kami keluarga pensiunan PU juga merasakan kekecewaan dengan jajaran PU saat ini.
    Mohon dirombak jajarannya yang sekarang dan suruh duduk saja di meja kosong.
    Dan mohon dikirimkan orang lagi, untuk menghitung kembali semua ganti rugi gusuran proyek becakayu.

  3. Salah satu sisi gelap Proyek Skala Nasional yang harus diperhatikan oleh pemimpin bangsa ini… Rakyat jadi korban dengan dalih untuk kepentingan umum.

Komentar ditutup.

Solverwp- WordPress Theme and Plugin