Radarbekasi.id – TAK diragukan, Iran dipandang sebagai sumber ancaman terbesar bagi kepentingan Amerika Serikat (AS) dan sekutu-sekutunya di Timur Tengah. Namun, AS dan para sekutunya sejauh ini selalu gagal menggebuk rezim Iran.
Tekanan ekonomi sejak beberapa tahun lalu memang sempat membuat ekonomi Negeri Para Mullah menghadapi situasi yang sangat berat. Tapi, Iran mampu bangkit, setidaknya mampu bertahan hingga sekarang.
Langkah lain juga diambil. Skenario menghabisi tangan-tangan Iran di kawasan juga terus mengalami kegagalan. Perang Syria yang sangat destruktif selama sekitar delapan tahun juga tak mampu menjatuhkan sekutu Iran di Levant. Rezim Bashar Al Assad masih mampu bertahan kendati korban tragedi kemanusiaan dan kehancuran sudah tak terhitung lagi.
Diperkirakan, restorasi Syria jika lancar pun membutuhkan waktu beberapa dekade. Iran memberikan dukungan besar kepada rezim Assad untuk bertahan.
Usaha AS dan sekutunya gagal memotong tangan Teheran di Syria. Mereka menjadi pecundang dalam perang Syria itu meskipun sang pemenang juga tak memperoleh apa-apa.
Di Yaman, serangan udara yang membabi buta dari para sekutu AS juga gagal memotong tangan-tangan Iran. Kelompok Houthi justru berhasil menguasai ibu kota negara yang tertimpa bencana kelaparan hebat itu.
Di tengah kelesuan harga minyak dunia, dana besar jelas telah dihambur-hamburkan oleh Arab Saudi, Uni Emirat Arab (UEA), dan lainnya untuk membiayai perang supermahal guna memotong tangan Iran di Yaman.
Faktanya, dua negara itu tekor hebat. Sedangkan Houthi masih mampu bertahan kendati bencana kelaparan hebat dan wabah penyakit menimpa rakyat Yaman.
Demikian pula pada tingkat tertentu, usaha AS dan sekutu-sekutunya untuk melucuti kekuatan Iran di Iraq, Lebanon, dan negara lain sejauh ini mengalami kegagalan.
Strategi AS untuk mendorong perlawanan dari rakyat sipil di Iran sampai saat ini juga gagal. Sebagian rakyat Iran memang sangat kecewa dengan situasi di negerinya, terutama terkait dengan masalah kesejahteraan dan keadilan serta minimnya kebebasan. Sebagian dari mereka memprotes situasi tersebut.
Pada titik itulah AS dan para sekutunya berupaya mendorong perlawanan dari rakyat Iran. Yang mereka harapkan mungkin jatuhnya rezim melalui people power sebagaimana yang terjadi di negara-negara Arab Spring. Usaha itu pada mulanya tampak membuahkan hasil dengan makin luasnya para pemrotes yang turun ke jalan. Faktanya, gerakan protes itu pun padam, setidaknya untuk sementara ini.
Langkah-langkah lunak dan proxy sudah dilakukan oleh AS dan sekutunya untuk melemahkan rezim Iran. Faktanya, rezim tersebut masih malang melintang di Timur Tengah dan makin membahayakan kepentingan AS serta sekutunya.
Serangan terhadap kilang minyak milik Arab Saudi beberapa waktu lalu membuktikan hal tersebut. Serangan itu dianggap telah melewati garis merah bagi AS dan para sekutunya. Diyakini, aksi tersebut didalangi Iran kendati asal senjata itu diperkirakan dari arah utara (Iraq).
Karena itulah, langkah baru diambil AS untuk melemahkan Iran. Yaitu, melalui aksi pembunuhan terhadap tokoh kunci dalam militer Iran. Jenderal Qasem Soleimani merupakan tokoh terpenting yang merajut kekuatan-kekuatan poros Syiah di kawasan tersebut.
Tokoh itu juga jadi andalan untuk operasi Iran di luar negeri. Jam terbangnya dalam berbagai perang yang melibatkan Iran di kawasan juga sulit ditandingi. Di samping itu, dia dituduh bertanggung jawab atas kematian ratusan tentara AS dan sekutunya.
Karena itu, langkah brutal diambil AS untuk menghabisi Soleimani. Tokoh yang digelari Ayatullah Ali Khamenei sebagai al syahid al hay (syahid yang hidup) itu harus kehilangan nyawa dalam kondisi mengenaskan gara-gara diterjang rudal di Bandara Baghdad.
Eskalasi
Lantas, apakah pembunuhan Soleimani akan efektif untuk melemahkan Iran? Jawabannya tentu benar. Kematian tokoh itu mengurangi kekuatan dalam barisan militer Iran. Sebab, posisi dan peran Soleimani selama ini sangat sentral.
AS barangkali juga berhasil menebar ketakutan di sebagian kalangan petinggi militer Iran bahwa mereka bisa menghadapi situasi yang sama dengan Soleimani jika melakukan tindakan yang membahayakan kepentingan AS.
Namun, itu jelas tak akan efektif untuk meredakan situasi. Aksi balas sebagaimana yang dijanjikan oleh sejumlah pemimpin Iran, termasuk pemimpin tertinggi, akan diambil. Iran barangkali tak akan melakukan aksi balasan dalam waktu cepat.
Tapi, ketegangan jelas meningkat antara Iran dan kekuatan dalam orbit Syiah versus AS, Israel, Arab Saudi, dan sekutu-sekutu lainnya. Bila situasi ini tak terkendali, bukan tidak mungkin opsi perang kemudian terpaksa diambil salah satu atau kedua pihak.
Meskipun, penulis cukup yakin bahwa pengambil kebijakan pertahanan di Teheran sangat rasional dalam bertindak. Mereka tentu tidak akan gegabah untuk mendeklarasikan perang melawan negara adidaya.
Di tengah ketegangan yang meningkat itu, provokasi sedikit saja bisa berakibat fatal. Karena itu, harapan kita, kedua pihak mampu menahan diri setidaknya untuk sementara waktu agar eskalasi ini dapat mereda. Wallahu a’lam. (*)
Pemerhati Timur Tengah dan dunia Islam, dosen UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta