Ketika khalifah pertama Abu Bakar Siddiq selesai dilantik, sesaat setelah itu ia mengumumkan dua program prioritas yang akan dilakukannya. Program prioritas yang pertama adalah memerangi orang-orang yang murtad, keluar dari agama Islam dan kembali menyembah selain Allah SWT. Program prioritas yang kedua adalah memerangi orang-orang kaya yang tidak lagi mau menunaikan zakat.
Dalam salah satu pidatonya yang sangat keras, Abu Bakar Siddiq menyatakan “Aku akan perangi siapapun yang memisahkan antara kewajiban sholat dan kewajiban zakat“. Begitu keras dan tegasnya Abu Bakar Siddiq, membuat sahabat Umar bin Khattab menelisik pernyataan tersebut. Setelah mendapatkan penjelasan, Umar bin Khattab pun memahami alasan begitu keras dan tegasnya Khalifah Abu Bakar Siddiq terkait peersoalan zakat.
Bertolak dari kisah tersebut, semakin jelas bagi umat Islam bahwa persoalan zakat sejatinya memang dikelola oleh negara/pemerintah. Tidak hanya di awal berkembangnya Islam, namun terus berkembang hingga saat ini, di mana negara/pemerintah memiliki otoritas yang sangat dominan dalam menentukan sukses atau tidaknya pengelolaan zakat di suatu wilayah.
Zakat sebagai salah satu rukun Islam, telah menjadi bagian dari hukum nasional sejak disahkannya UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat yang telah diperbarui dengan UU No.23 Tahun 2011. Dalam UU tersebut dijelaskan kedudukan BAZNAS bersama dengan LAZ sebagai Amil zakat yang diberi amanah oleh negara (Pemerintah).
Pengertian Amil Zakat dalam berbagai literatur, baik peraturan perundang-undangan, fatwa MUI maupun pendapat para ulama Timur Tengah menegaskan, amil zakat haruslah seseorang/lembaga yang diberikan tugas/mandat oleh pemerintah. Pemberian mandat yang dikeluarkan oleh pihak non pemerintah, seperti yayasan, organisasi, DKM menjadi tidak dimungkinkan berdasarkan aturan maupun fatwa tersebut.
Dalam tulisan ini, penulis mencoba mengkaji persoalan hukum zakat, khususnya terkait masalah amil zakat. Banyak perdebatan dalam masyarakat terkait anjuran pemerintah untuk menunaikan zakatnya melalui BAZNAS. Sebagai salah satu lembaga resmi yang diamanahi untuk mengelola zakat di Indonesia, maka kedudukan BAZNAS ada pada level sebagai lembaga resmi yang mewakili pemerintah.
Dalam kajian kitab klasik, istilah pemerintah disebut dengan kata ‘‘Imam‘‘. Dijelaskan bahwa pengelolaan zakat yang dilakukan oleh “Imam“ lebih diutamakan dibandingkan dikelola oleh masing-masing individu atau bahkan kelompok masyarakat. Alasan yang dijelaskan dalam kitab tersebut adalah bahwa “Imam“ lebih mengetahui orang-orang yang masuk kategori Mustahik (penerima zakat yang berhak) tidak hanya fakir/miskin dan memiliki kemampuan untuk menyebarluaskan manfaat zakat tersebut ke pelosok daerah (negeri). Meskipun “Imam“ memiliki kedudukan yang lebih utama dalam mengelola dana zakat menurut pandangan ulama pengarang kitab ini, bukan berarti tanpa ada pengawasan yang ketat. Manakala disinyalir ada penyimpangan/penyelewengan yang dilakukan oleh “Imam“ saat melakukan pengelolaan dana zakat, maka para inidvidu/lembaga muzakki berhak dan lebih dianjurkan untuk menyalurkannya sendiri.
Adanya kewajiban audit keuangan melalui Kantor Akuntan Publik serta audit syari’ah melalui Kantor Kementerian Agama merupakan upaya pemerintah memasang rambu-rambu yang tegas bagi BAZNAS sebagai perwakilan resmi pemerintah (Imam) untuk senantiasa bertindak sesuai dengan falsafah serta nilai-nilai syariah. Menjadi peringatan yang sangat keras kepada pemerintah (Imam) ketika tidak lagi dipercaya oleh masyarakat Muzakki, maka pengelolaan dana zakat dapat dilakukan secara masing-masing.
Tingkat kepercayaan masyarakat Indonesia saat ini terhadap lembaga zakat, baik BAZNAS maupun LAZ, dilihat dari trend pengumpulannya terlihat terus mengalami peningkatan meskipun belum maksimal. Kepercayaan yang mulai bersemi dan berkembang tersebut harus mampu dijaga oleh BAZNAS maupun LAZ agar tidak masuk dalam kategori sebagai amil zakat yang zholim.
Penyalahgunaan asnaf (golongan) demi kepentingan pribadi maupun kelompok menjadi hal serius yang harus diperbaiki ke depannya. Fleksibiltas penafsiran salah satu asnaf penerima zakat, yakni Fi sabilillah, haruslah mampu dibuatkan rambu-rambu yang tegas, atau dengan kata lain harus dibuat rumusan yang baku sehingga tidak setiap unsur BAZNAS maupun LAZ dapat menafsirkan sesuai dengan seleranya masing-masing.
Kitab klasik yang memiliki pemahaman konservatif terkadang dianggap terlalu kaku dalam menfasirkan problem masyarakat saat ini yang sangat kompleks. Sebaliknya, para pemerhati kitab turats juga berfikiran, buku zakat produk ulama kontemporer seperti Wahbah al-Zuhaili, terlalu elastis dan melebar dalam menafsirkan ayat maupun hadis tentang zakat. Kedua kelompok pemahaman tersebut menimbulkan kebingungan di kalangan masyarakat awam terkait persoalan zakat.
Jika ditelusuri secara mendalam, antara kitab klasik dan kitab kontemporer sesungguhnya memiliki dasar falsafah yang sama, yakni zakat hanya dapat diberikan kepada para mustahik. Oleh karena itu yang harus menjadi catatan bersama adalah bahwa unsur pengelola zakat di BAZNAS maupun LAZ ialah individu yang mengerti tentang fikih zakat dan tata kelola keuangan yang akuntabel, serta transparan, baik berdasarkan kriteria keuangan publik ataupun syariah.
Berkaitan dengan telah berakhirnya masa jabatan pimpinan BAZNAS di beberapa wilayah, menjadi tugas berat bagi tim seleksi untuk dapat menyaring calon-calon pimpinan yang memiliki integritas kuat dalam pengelolaan zakat, tidak hanya sebatas teori namun juga aplikasi di lapangan.
Akhirul kalam, kepercayaan yang telah tumbuh dan berkembang di masyarakat kepada Pemerintah yang diwakili oleh BAZNAS, harus dijaga dan dioptimalkan sebagai salah satu upaya mengentaskan kemiskinan di Indonesia. (*)