Berita Bekasi Nomor Satu

Memperkuat Diplomasi Pertahanan

Radarbekasi.id – MENTERI Pertahanan Prabowo Subianto telah mengunjungi delapan negara sejak dilantik pada 23 Oktober 2019. Mulai Malaysia, Thailand, Filipina, Turki, Tiongkok, Jepang, Prancis, dan terakhir Rusia. Prabowo membawa sejumlah misi. Mulai pembebasan WNI yang disandera kelompok Abu Sayyaf di Filipina hingga peningkatan kerja sama di bidang pertahanan.

Gencarnya lawatan Prabowo tersebut mengundang kritik dari beberapa kalangan seperti anggota DPR dan pengamat, tetapi mendapat pembelaan dari Presiden Joko Widodo. Presiden menegaskan bahwa kunjungan kerja Prabowo tersebut dilakukan dalam rangka menjalankan diplomasi pertahanan.

Salah satu tujuannya adalah memperkuat dan memodernisasi alat utama sistem persenjataan (alutsista) melalui penjajakan kemungkinan pengadaan dari negara produsen alutsista yang tidak bisa dipenuhi industri pertahanan dalam negeri maupun melakukan penawaran yang mampu diproduksi industri pertahanan dalam negeri kepada negara konsumen lainnya.

Diplomasi Pertahanan
Upaya merebut dan mempertahankan kemerdekaan RI melibatkan semua anak bangsa dengan berbagai cara. Misalnya, tentara bersama rakyat mengangkat senjata di medan pertempuran dan para diplomat berjuang di meja perundingan.

Misalnya, Serangan Umum (SU) 1 Maret 1949. Aksi heroik dalam merebut kembali Jogja yang dikuasai Belanda itu juga dimaksudkan untuk menunjukkan kepada dunia internasional bahwa Indonesia dan TNI masih eksis. Keberhasilan SU tersebut menjadi amunisi bagi para diplomat untuk menggetarkan meja perundingan.

Hasilnya, Belanda mengakui kedaulatan Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 27 Desember 1949. Sebab, memang diplomasi pada awalnya dimaksudkan untuk menghilangkan konflik, menghindari perang, dan mengakhiri perang (Simamora, Peluang dan Tantangan Diplomasi Pertahanan: 2013).
Indonesia juga punya pengalaman pernah memiliki alutsista yang tangguh pada masanya. Di antaranya, berbagai jenis pesawat seperti bomber TU-16-KS, pesawat tempur Mig-15/17/19/21, Ilyuhsin, dan helikopter. Juga, KRI Irian kelas destroyer yang menjadi kapal terbesar di kawasan Asia Tenggara yang semua dibeli dari Uni Soviet atau yang saat ini kita kenal sebagai Rusia. Alutsista tersebut digunakan untuk propaganda merebut kembali Irian Barat.

Keunggulan alutsista dimanfaatkan sebagai penunjang diplomasi, di samping kelihaian Presiden Soekarno yang memanfaatkan kedekatannya dengan Uni Soviet sebagai bargaining power untuk menggalang dukungan dari Amerika Serikat (AS), digunakan dengan baik oleh para diplomat hingga akhirnya Irian Barat berhasil direbut. Dengan demikian, diplomasi pertahanan sudah dilakoni para pemimpin negeri sejak awal. Termasuk selama perang kemerdekaan. Meski, memang defence diplomacy sebenarnya merupakan kosakata baru dalam dunia hubungan internasional. Istilah defence diplomacy muncul kali pertama dalam strategic defence review (SDR) Departemen Pertahanan Inggris yang terbit pada 1998.

Fokus utama diplomasi pertahanan versi SDR yang ditujukan terhadap negara-negara bekas Uni Soviet dan bekas anggota Pakta Warsawa adalah melakukan reformasi di bidang keamanan dan pencegahan konflik. Karena itulah, sebagaimana dijelaskan Cottey dan Forster (dalam Sulaimani: 2016), diplomasi pertahanan adalah penggunaan angkatan bersenjata dan infrastruktur yang terkait pada masa damai sebagai alat penunjang untuk mencapai (tujuan) kebijakan luar negeri dan pertahanan negara.

Pasal 1 ayat 1 UU Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara jelas menyatakan bahwa pertahanan negara adalah segala usaha untuk mempertahankan NKRI.

Sebagai negara yang berkomitmen pada pelaksanaan ketertiban dunia dan perdamaian abadi, Indonesia tentu menghindari penggunaan hard power (kekuatan senjata) dalam menghadapi ancaman dari negara lain. Indonesia menempatkan diplomasi sebagai first line defence (garis terdepan pertahanan negara). Ini juga paralel dengan doktrin pertahanan Indonesia yang defensive, bukan offensive.

Namun, diplomasi pertahanan untuk mempertahankan dan mencapai national interest (kepentingan nasional) tidak bisa dilepaskan dari seberapa besar national power (kekuatan nasional) yang dimiliki. Satu di antara sembilan national power, merujuk pada Morgenthau, adalah military capabilities (kemampuan militer). Bahkan, Mearsheimer menyebutkan, militer adalah actual power bagi suatu negara.

Karena itu, kekuatan militer fardhu ain dibutuhkan untuk memperkuat diplomasi dalam pergaulan internasional. Indonesia bisa melakoni diplomasi high profile yang sangat diperhitungkan pada masa Orde Lama, salah satunya tidak lepas dari kekuatan alutsista yang dimiliki seperti yang telah disebutkan di atas.

Perkuat Alutsista
Pada masa awal reformasi setelah jatuhnya Orde Baru, kondisi alutsista kita memprihatinkan. Kita tidak bisa merawat dan memodernisasi alutsista karena diembargo AS yang baru dicabut pada 2005. Karena itulah, pemerintah bertekad memperkuat alutsista kita. Salah satunya dengan minimum essential forces (MEF) yang ditargetkan tercapai 100 persen pada 2024.

Misi diplomasi pertahanan Prabowo dalam muhibahnya ke banyak negara, salah satunya, adalah untuk penguatan alutsista. Termasuk peningkatan hubungan antarnegara melalui kerja sama pertahanan dan peningkatan kapasitas militer untuk memberikan kontribusi bagi operasi-operasi misi perdamaian di negara-negara yang sedang mengalami konflik.

Berbagai kekurangan dalam hal pengadaan alutsista pada masa lalu menjadi pelajaran yang berharga untuk tidak diulangi lagi. Misalnya, ketergantungan alutsista pada satu negara tertentu.

Delapan negara yang dikunjungi Prabowo tersebut bisa menjadi gambaran bahwa pemerintah sedang membangun kerja sama pertahanan yang strategis, termasuk upaya modernisasi alutsista.

Semua dilakukan melalui pengadaan alutsista yang modern dan tepat guna. Namun, ditawarkan pula alutsista produk dalam negeri agar dapat digunakan negara-negara lain untuk membantu percepatan pertumbuhan industri pertahanan dalam negeri.

Merawat dan memulai peta jalan menuju kemandirian industri pertahanan harus dimulai. Sesuai dengan instruksi presiden untuk mengurangi impor alutsista. Namun, untuk produk alutsista yang belum bisa disediakan oleh industri pertahanan dalam negeri, jalan pembelian dari luar negeri harus ditempuh demi kepentingan pertahanan negara yang kuat dan tak diremehkan.

Karena itu, dalam pengadaan alutsista, baik dari dalam maupun luar negeri, Prabowo memegang empat prinsip atau yang saya sebut sebagai politik pengadaan ala Prabowo. Yaitu, tepat guna, geopolitik dan geostrategis, efisiensi anggaran, serta alih teknologi dan offset. (*)

Peneliti senior Institute Kajian Strategis Universitas Kebangsaan Republik Indonesia.