Berita Bekasi Nomor Satu

Ilusi Calon Perseorangan dan Oligarki

Radarbekasi.id – TULISAN ini hendak merespons opini Saudara Fahrul Muzaqqi berjudul Calon Perseorangan dan Antitesis Oligarki yang termuat dalam Jawa Pos edisi 26 Februari 2020.

Saya memergoki ketidakjumbuhan argumentasi yang disajikan penulis dengan realitas formasi politik (lokal) di Indonesia. Faktanya, calon perseorangan tidak serta-merta menjadi antitesis oligarki parpol.

Setidaknya, ada dua hal yang hendak saya problematisasikan dari tulisan tersebut. Pertama, ilusi atas klaim calon perseorangan sebagai antitesis oligarki parpol. Kedua, alih-alih menawarkan terobosan dalam melawan oligarki parpol, tulisan Sdr Fahrul malah terjerat dalam kerangka pikir status quo.

Calon Boneka
Kajian tentang oligarki dimulai dari hasil observasi praktik politik pemerintahan sejak era filsuf Aristoteles yang menunjukkan kondisi extreme material inequality produces extreme political inequality. Oligarki menjadi wujud sempurna adagium tersebut. Karena itu, Winters (2011: 9-10) mendefinisikan oligarki sebagai politik pertahanan kekayaan oleh pelaku yang memiliki kekayaan material (oligark).

Ada dua karakteristik oligarki, yaitu kekuasaan material yang sukar dipecah atau diseimbangkan dan jangkauan kekuasaannya yang sistemis. Sejalan dengan temuan Hadiz dan Robinson (2004: xiv) yang menyatakan oligarki di Indonesia mengalami keretakan dan melemah karena dihantam krisis ekonomi 1998, tapi ia kembali mengorganisasikan kekuasaannya melalui: adaptasi dengan tatanan ekonomi-politik baru, membajak tata kelola institusi baru, dan membentuk aliansi sosial baru.
Sejak 2005, sistem pemilihan kepala daerah (pilkada) tidak lagi dipilih DPRD (assigned), tapi langsung oleh rakyat (elected), namun dengan pasangan calon yang hanya diusung parpol atau gabungan parpol.

Berselang dua tahun sejak pilkada langsung pertama, Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan terobosan bagi demokrasi melalui putusan No 5/PUU-V/2007 yang isinya peserta pilkada termasuk calon perseorangan.

Putusan MK itu menjadikan akses warga negara atas hak dipilih menjadi inklusif, tidak dimonopoli parpol. Pembacaan normatifnya, calon perseorangan merupakan perluasan hak politik warga negara untuk dipilih dan memilih. Saat itu, parpol merespons putusan tersebut dengan sangat keras karena mereka harus berbagi kesempatan dalam merengkuh kekuasaan di tingkat lokal.

Apakah calon perseorangan menjadi antitesis oligarki? Hingga saat ini, sangat sedikit pilkada yang mengikutsertakan, apalagi dimenangkan calon perseorangan. Kalaupun ada, alih-alih mengubah formasi kekuasaan oligarki di tingkat lokal, yang terjadi calon perseorangan terpilih justru terserap dalam jejaring permainan kuasa para oligark.

Hal itu disebabkan calon perseorangan yang mendaftar adalah ’’calon boneka” atau perpanjangan tangan oligarki parpol untuk strategi pemenangan. Jika bukan, keikutsertaan atau kemenangan mereka lebih disebabkan popularitas figur tanpa kekuatan visi-program dan basis aliansi sosial yang solid untuk membawa agenda perubahan tata kelola institusi di daerahnya.

Mencari Terobosan
Dari judulnya, saya sebetulnya menunggu penjelasan Sdr Fahrul tentang antitesis oligarki, tapi hingga kalimat terakhir tidak juga ditemukan. Argumentasi-argumentasi di dalam tulisannya terkesan pesimistis ketimbang menawarkan pilihan jalan keluar. Absennya gagasan untuk keluar dari kebuntuan menunjukkan tulisannya terjerat dalam kerangka pikir status quo.
Calon perseorangan adalah modal awal melawan oligarki parpol. Namun, jikalau rintangan calon perseorangan terhampar dari syarat pencalonan, pembiayaan, hingga saat mereka terpilih harus berhadapan dengan kumpulan parpol di DPRD, tidak berarti terobosan konstitusional lainnya untuk mengikis oligarki parpol menjadi mandek.

Ada empat jalur yang dapat menerobos kebuntuan ini. Pertama, menurunkan jumlah dukungan untuk syarat calon perseorangan. Syarat jumlah dukungan 3–6 persen dari jumlah partisipasi pemilih pada pemilu legislatif (pileg) sebelumnya lebih memenuhi kriteria daya saing antara calon partai dan nonpartai ketimbang aturan yang berlaku saat ini.

Meski demikian, pengetatan verifikasi dukungan dan independensi bakal calon perseorangan diperlukan untuk memastikan mereka bukan ’’calon boneka”.
Kedua, keserentakan pemilu dengan kombinasi pemilu nasional (pilpres, DPR, dan DPD), selanjutnya ada jeda waktu untuk pemilu daerah serentak (pilkada dan DPRD).

Di samping akan menghasilkan paket eksekutif dan legislatif yang tidak saling menyandera, keserentakan pemilu daerah dapat meningkatkan derajat akuntabilitas dengan pemilih. Ruang bagi calon perseorangan mungkin sedikit tertutup. Namun, desain tersebut bisa membatasi praktik kekuasaan oligarki.
Ketiga, mengubah sistem pemilu dengan menggunakan instant-runoff voting (IRV) atau preferential voting. Kelemahan sistem pilkada saat ini adalah terjadinya vote-splitting, pemenang bisa saja calon yang tidak mendapat suara mayoritas pemilih.

IRV dapat menghasilkan kepala daerah berdasar preferensi mayoritas pemilih sehingga memberikan kesempatan bagi calon perseorangan andai tingkat kepercayaan pemilih terhadap parpol di daerahnya rendah.

Keempat, mencantumkan opsi ’’kotak kosong” dalam surat suara pilkada. Mencoblos ’’kotak kosong” dimaknai sebagai aktualisasi hak politik pemilih atas calon-calon yang disediakan parpol. Selama ini ’’kotak kosong” hanya ada dalam surat suara pilkada calon tunggal. Pada beberapa kasus, jika dikampanyekan, akan menjadi penantang serius bagi calon kepala daerah yang diajukan parpol.

Selebihnya, pembentukan aliansi sosial sebagai basis dukungan calon perseorangan sangat diperlukan. Rencana pencalonan Basuki Tjahaja Purnama (BTP) alias Ahok melalui jalur perseorangan dalam pilkada DKI Jakarta adalah contoh kasus yang baik. Bukan hanya karena figur Ahok, melainkan juga dukungan aliansi sosial yang memiliki relasi jaringan kuat di masyarakat dan parpol.

Calon perseorangan antitesis oligarki akan jadi ilusi jika tidak diikuti dengan reformasi sistem pemilu dan konsolidasi aliansi masyarakat sipil. (*)

Dosen Departemen Politik FISIP Universitas Airlangga dan sekretaris eksekutif Center for Security and Welfare Studies (CSWS) FISIP Universitas Airlangga


Solverwp- WordPress Theme and Plugin