RADARBEKASI.ID, BEKASI – Jangan panik, tapi juga jangan sekali-kali meremehkan pandemi korona. Dalam seminggu, Eva Rahmi Salama kehilangan orang-orang tersayang karena SARS-CoV-2. Hingga berita ini ditulis tadi malam, sang adik juga masih menjalani perawatan di rumah sakit.
FERLYNDA PUTRI, Jakarta, Jawa Pos
— EVA tak pernah membayangkan sedikit pun bahwa tahun 2020 akan sekelam ini. Ibunya, Ismy Latifah, meninggal pada Kamis (19/3) lalu hanya sehari setelah didiagnosis Covid-19. Dua hari kemudian, pada Sabtu (21/3), papanya, Taten Syamsir, juga menghadap Yang Mahakuasa karena sakit yang sama. ”Rasanya belum kering air mata ditinggal ibu, papa menyusul,” katanya lewat telepon.
Awal Maret Ismy Latifah didiagnosis tifus. Kondisinya memang sedang tidak baik. Pencernaannya terganggu. Dua minggu lalu sakitnya bertambah. Pencernaan masih bermasalah. Dia juga mulai batuk, pilek, hingga sesak napas. ”Dari sini saya mulai curiga,” ujar Eva yang tinggal di Jakarta.
Eva mengingat waktu itu Ismy dirawat di sebuah rumah sakit (RS) swasta daerah Grogol, Jakarta Barat. Eva membawa ibunya dari rumahnya di Bojong Gede, Bogor, karena kondisinya makin buruk. Hati Eva semakin tak keruan ketika mendengar pengakuan adiknya, Haris, mengikuti acara di klub dansa di Jakarta Selatan. Klub dansa tersebut diumumkan sebagai klaster pertama persebaran Covid-19.
Eva ingin ibunya melakukan tes Covid-19. Apalagi, setelah diingat-ingat, Haris memiliki gejala penderita Covid-19 sejak 28 Februari lalu. Mereka sekeluarga berunding dengan petugas medis di RS swasta tersebut. ”Dokter akhirnya membuat surat kepada dinkes (dinas kesehatan, Red),” ucapnya.
Pada Jumat (13/3) Dinkes Jakarta datang ke ruang perawatan Ismy. Keesokannya RS membuat surat rujukan ke RS Persahabatan. Status Ismy masih pasien dalam pengawasan (PDP). Lima hari keluarga Eva dibuat cemas. Kondisi Ismy tak kunjung membaik. Hasil pun belum keluar.
Di sisi lain, kondisi Taten yang telah bercerai lama dengan Ismy juga menunjukkan penurunan. Beberapa kali Haris menjenguk ayahnya yang sudah 1,5 bulan dirawat di sebuah RSUD di Jakarta Pusat karena jantung itu. Dalam masa perawatan tersebut Taten menunjukkan kondisi yang sama dengan penderita Covid-19.
Pada Rabu (18/3) hasil tes keluar. Ismy dinyatakan positif Covid-19. Pada hari yang sama Ismy juga dinyatakan mengalami gagal organ. Paru-parunya mengempis. ”Kamis (19/3) mama meninggal,” katanya.
Dokter tak mengizinkan jenazah ibunya dibawa pulang. Dokter hanya memberi waktu sembilan jam sampai jenazah dikebumikan. Eva mengabari kerabat terkait berita duka itu. Pengumuman juga disampaikan melalui akun media sosialnya. Tak ada kesempatan untuk takziah. ”Ada yang mau datang, tapi saya larang,” ujarnya. Dia juga mengkhawatirkan kondisi petakziah yang berniat datang ke pemakaman.
Eva menceritakan bahwa perawatan jenazah yang terindikasi Covid-19 berlaku ketat. Setelah dimandikan dan dikafani, jenazah dibungkus plastik. Kemudian dimasukkan ke dalam peti dan kembali dibungkus plastik. ”Ambulans saja masuk ke dalam ruang jenazah. Tidak ada yang boleh ikut dalam ambulans,” ucapnya.
Hari itu hanya tiga orang yang mengantar Ismy ke pemakaman. Hanya Eva, suaminya, dan adik Eva, Hanif. ”Melihat seperti ini, jangan ada lagi yang membuat Covid-19 sebagai bahan bercanda,” tutur Eva.
Sementara itu, Taten masih dirawat di RSUD. Sebelumnya, pada Minggu (15/3) dia di-swab untuk mengambil sampel yang akan diteliti apakah ada Covid-19 atau tidak. Kondisinya semakin hari semakin tidak stabil. Hingga pada Sabtu (21/3) hasil tes keluar. Taten positif Covid-19. Namun, hasil itu tak berguna untuk memilihkan pengobatan. ”Sebab, di hari itu (juga) papa meninggal,” ujarnya.
Hanya beberapa orang dari keluarga papanya yang mengantar ke pemakaman. Eva pun dilarang ikut. Alasannya, pemakaman berlangsung lebih dari sembilan jam setelah jam kematian. Dikhawatirkan virus bisa lebih mudah menyebar.
Melihat kondisi orang tuanya, Haris akhirnya melakukan tes Covid-19. Hasilnya juga positif. Untuk itu Haris melakukan isolasi mandiri di rumahnya. Mungkin Taten tertular dari Haris. Tapi bisa juga dari orang lain yang menjenguknya. ”Kebetulan kolega papa banyak dari luar negeri,” kata Eva.
Eva tak ingin nasib Haris berakhir fatal. Dia mengunggah kondisi Haris yang tercatat sebagai warga Bojong Gede, Bogor, itu ke media sosial. ”Postingan itu mendapat respons dari salah satu pejabat di Bojong Gede yang menawari penjemputan Haris ke rumah sakit untuk perawatan,” cerita Eva.
Eva merasa beruntung adiknya akhirnya mendapatkan perhatian. Padahal, sejak Rabu (18/3) dia menghubungi posko Covid-19 sesuai dengan nomor yang selama ini diumumkan pemerintah, tapi tidak ada respons. Hingga tadi malam Haris masih berada di RS. Di sisi lain, Eva masih bisa bersyukur karena adik bungsunya, Hanif, dinyatakan sehat. ”Hanya, pembantu saya meriang. Saya belum update lagi kondisinya,” ucap dia.
Merasa memiliki kontak dekat dengan tiga keluarganya yang mengidap Covid-19, Eva sadar harus memeriksakan diri. Setidaknya untuk memastikan kondisinya. Kalau positif, dia bisa mengambil tindakan sehingga orang lain yang ditemui tidak tertular. ”Sejauh ini saya masih sehat dan tidak ada gejala apa pun,” ungkapnya.
Dua kali Eva meminta tes di RS Persahabatan. Dua kali itu pula ditolak. Alasannya, RS mengutamakan orang yang punya gejala. ”Mungkin karena alatnya terbatas,” ujarnya.
Eva juga menanyakan kenapa langkah pemerintah terasa lambat. Bahkan untuk memutuskan dilakukannya rapid test. ”Tes rapid itu pakai darah. Adik saya, Haris, tes darah dan foto toraks normal. Namun, begitu swab tesnya positif,” terangnya.
Belum lagi soal respons posko Covid-19. Eva sudah menghubungi posko tersebut melalui chatting via WhatsApp. ”Padahal online terus, tapi sampai sekarang belum dibalas,” cerita Eva.
Yang bisa dia lakukan adalah mengisolasi diri. Eva membatasi bertemu dengan teman dan kolega. Dia tak mau berharap banyak kepada pemerintah.(*/c9/ayi)