Berita Bekasi Nomor Satu

Dewas KPK Tak Setuju Napi Koruptor Dibebaskan

Dewan Pengawas KPK Syamsuddin Haris.

JAKARTA, RADARBEKASI.ID- Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyesalkan wacana dibebaskannya 300 narapidana yang berumur 60 tahun. Hal ini sebagai upaya mitigasi pencegahan penyebaran virus korona atau Covid-19, di dalam Lembaga Pemasyarakatan (Lapas).

“Saya kira tidak tepat jika napi koruptor, meskipun telah berusia 60 thn ke atas dan telah menjalani 2/3 masa hukuman, memperoleh hak pembebasan dengan alasan kemanusiaan karena wabah Covid-19,” kata anggota Dewan Pengawas, Syamsuddin Haris dikonfirmasi, seperti dilansir Jawapos.com, Sabtu (4/4/2020).

Pernyataan Syamsuddin berbeda pendapat dengan Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron yang menyambut positif wacana dibebaskannya koruptor dari balik jeruji besi. Namun, Syamsuddin menyebut pelaku korupsi masuk ke dalam bagian kejahatan luar biasa atau extraordinary crime.

Menurutnya, para koruptor pun tidak pernah memikirkan dampak dari kerugian negara yang ditimbulkannya. Sehingga tak beralasan untuk membaskan koruptor dari dalam tahanan.

“Jadi wacana revisi PP Nomor 99 Tahun 2012 saya kira tidak tepat,” jelas Syamsuddin.

Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron menyambut baik wacana Menteri Hukum dan HAm Yasonna Laoly yang akan membebaskan 300 narapidana korupsi. Menurutnya, langkah Yasonna merupakan hal yang positif sebagai upaya pencegahan penyebaran virus korona atau Covid-19 di dalam Lembaga Pemasyarakatan (Lapas).

“Kami menanggapi positif ide pak Yasonna, sebagai respon yang adaptif terhadap wabah virus Covid-19, mengingat kapasitas pemasyaratan kita telah lebih dari 300 persen. Sehingga penerapan sosial distance untuk warga binaan dalam kondisi saat ini tidak memungkinkan, mereka sangat padat sehingga jaraknya tidak memenuhi syarat pencegahan penularan Covid-19,” kata Ghufron dikonfirmasi, Kamis (2/4).

Ghufron menyampaikan, wacana dibebaskannya 300 narapidana korupsi merupakan pertimbangan kemanusiaan. Menurutnya, wacana yang dilontarkan Yasonna harus adanya revisi Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.

“Itu semua harus dengan perubahan PP 99/2012 tersebut yang berperspektif epidemi. Namun juga tidak mengabaikan keadilan bagi warga binaan lainnya dan aspek tujuan pemidanaan,” ucap Ghufron.

Untuk diketahui, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Hamonanga Laoly mengusulkan adanya revisi Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Keputusan ini tak lepas dari kondisi Lapas di Indonesia yang sudah melebihi kapasitas sehingga rawan terhadap penyebaran virus korona.

Yasonna merinci, setidaknya empat kriteria narapidana yang bisa dibebaskan melalui proses asimilasi dan integrasi melalui mekanisme revisi PP tersebut.

Kriteria pertama, narapidana kasus narkotika dengan syarat memiliki masa pidana 5 sampai 10 tahun yang sudah menjalani dua pertiga masa tahanan. Diperkirakan akan ada 15.442 terpidana narkotika yang akan dibebaskan.

Kriteria kedua, usulan pembebasan itu berlaku bagi narapidana kasus tindak pidana korupsi yang berusia 60 tahun ke atas dan sudah menjalani 2/3 masa tahanan. Rencananya akan ada sekitar 300 koruptor yang akan dibebaskan.

Kriteria ketiga, bagi narapidana tindak pidana khusus yang mengidap sakit kronis dan telah menjalani 2/3 masa tahanan. Namun harus ada pernyataan dari rumah sakit.

Terakhir, berlaku bagi narapidana warga negara asing (WNA) sebanyak 53 orang. Namun, wacana ini harus mendapat persetujuan dari Presiden Joko Widodo. (rbs)