RADARBEKASI.ID, BEKASI – Meskipun pemerintah telah mengeluarkan larangan untuk tidak mudik pada tahun ini, namun masih banyak warga yang nekat mudik ke kampung halaman di tengah pandemi Covid -19. Seperti apa pengakuan mereka?
Laporan : Surya Bagus
MEDANSATRIA
Satu persatu pengendara yang dicurigai akan mudik dihentikan oleh petugas di Pos PAM Terpadu Ketupat Covid-19, tepatnya tidak jauh dari perbatasan Kota Bekasi dan DKI Jakarta. Ciri kendaraan yang akan mudik diantaranya membawa barang terlampau banyak, mengenakan tas ransel besar, hingga membawa beberapa tumpukan kardus. Kelompok selanjutnya yang diberhentikan siang itu adalah mereka yang tak mentaati ketentuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) Kota Bekasi, seperti masih tidak menggunakan masker, hingga berboncengan untuk pengendara roda dua.
Beberapa pengendara yang diberhentikan dan dicurigai hendak mudik terlihat mengenakan atribut berkendara lengkap mulai dari jaket, celana panjang, dan sepatu. Bahkan, ada yang membawa tumpukan kardus dimotornya, tapi bukan berencana untuk mudik, petugas membiarkan si pengendara melanjutkan kembali perjalanannya.
Pantauan Radar Bekasi, pos yang disiagakan untuk menghalau pemudik ini hanya didirikan di lajur dari DKI Jakarta menuju Kota Bekasi, lajur sebaliknya tidak, dilakukan bersama oleh tim gabungan, Polisi,TNI, dan Pemerintah Kota Bekasi. Kegiatan ini sudah dilakukan sejak tanggal 24 April lalu, setelah kebijakan larangan mudik resmi efektif berlaku terutama di area zona merah, Jabodetabek.
Dari kejauhan, petugas sudah mencurigai salah satu kendaraan bermotor yang melaju dari arah Jakarta. Membawa tas ransel besar, satu diantaranya diletakkan dibelakang setir motor. Petugas pun menggiring pengendara bersama dengan satu sanak saudaranya menepi.
Benar saja, keduanya hendak mudik ke kampung halaman di Pemalang, Jawa Tengah. Terpaksa mereka harus mengisi surat teguran tertulis, dan mengurungkan niatnya untuk kembali ke kampung halaman.
Dua orang yang siang itu berboncengan sepeda motor adalah Samtirawan (29) dan Agung (28), keduanya merupakan sanak saudara yang sama-sama merantau di wilayah Tangerang. Berat rasanya untuk bertahan ditengah situasi ini.Samtirawan sehari-hari berprofesi sebagai pengemudi ojek online, sedangkan Agung merupakan salah satu pekerja yang terkena Pemberhentian Hubungan Kerja (PHK) beberapa waktu lalu.
“Kalo kita mati disini siapa yang mau tanggung jawab, yang jamin siapa, nggak ada yang jamin, nggak ada yang kasih kejelasan loh,” ungkap Agung saat polisi memberikan surat teguran tertulis kepada Samtirawan yang saat itu bertindak sebagai pengemudi.
Agung mengaku sudah tidak lagi memiliki pekerjaan. Dia sudah di PHK sejak 12 hari yang lalu sebagai mekanik listrik di salah satu perusahaan di Cikokol, Tangerang. Ia nampak sudah mengerti situasi ini, maka dari itu Agung mengaku bersedia dan siap jika sesampainya di kampung halaman harus menjalani isolasi mandiri terlebih dahulu.
Ya, memang pilihan yang sulit, disisi lain sudah tidak ada sumber penghasilan untuk membiayai hidup di tanah rantau.”Mending saya mati dikampung dari pada mati disini,” lanjutnya meluapkan kekesalan karena diminta putar balik oleh petugas.
Lain dengan Agus, Samtirawan nampak lebih tenang, ia lebih bisa mengendalikan kekecewaan karena dihalau petugas. Ia memilih tidak melampiaskan kekecewaan seperti Agung. Namun, raut wajahnya menggambarkan ketidak percayaan jika niatnya dan pilihan yang semula dianggap paling tepat, kembali ke kampung halaman, harus dihadang di tengah jalan.
Ia menceritakan bahwa persediaan keuangan mereka berdua sudah sangat tipis, penghasilannya sangat berkurang. Mudik dianggap sebagai pilihan paling tepat, lantaran uang miliknya sudah tidak memungkinkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Bantuan sosial yang dijanjikan oleh pemerintah pun tidak juga menuai kejelasan, tidak ada bantuan yang diterima keduanya sejak PSBB mulai dilaksanakan di Tangerang beberapa waktu lalu.”Ya paling sisa kerjanya (gaji) dia (Agung) doang, buat bensin aja sih (selama perjalanan mudik),” ungkapnya.
Samtirawan mengaku saat ini tinggal mengantongi uang Rp 300 ribu, itu pun rencananya digunakan untuk ongkos pulang kampung. Tak bisa ia bayangkan jika harus bertahan di Tangerang, sementara kebutuhan hidup tidak lagi bisa dipenuhi.
Selama lima hari pengetatan dilakukan oleh Polres Metro Bekasi Kota, telah menindak 234 pengendara, didominasi oleh kendaraan roda dua. Ratusan kendaraan tersebut dipaksa putar balik.(*)