RADARBEKASI.ID, BEKASI – Pandemi Covid-19 membuat kegiatan belajar mengajar dilakukan secara daring (online). Padahal, tidak semua siswa dan guru siap dengan metode pembelajaran jarak jauh tersebut. Karena itu, pemerintah kini menyusun kurikulum darurat untuk memudahkan proses pembelajaran.
Kurikulum darurat tersebut merupakan hasil pembahasan bersama antara Kemenag, Kemendikbud, dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Dengan adanya kurikulum darurat itu, proses pembelajaran di rumah diharapkan bisa berjalan dengan lancar. Tanpa banyak pengaduan dari orang tua seperti saat ini.
Data KPAI menyebutkan, ada 246 pengaduan terkait dengan proses pendidikan jarak jauh di masa pandemi Covid-19. Pengaduan itu diajukan siswa maupun orang tua. Pengaduan paling tinggi ada di jenjang SMA, yakni 125 pengaduan. Disusul SMK (48 pengaduan), madrasah aliyah (24), SMP (33), madrasah tsanawiyah (3), SD (11), bahkan TK (3).
Direktur Kurikulum, Sarana, Kelembagaan, dan Kesiswaan (KSKK) Kemenag Ahmad Umar menjelaskan, kurikulum darurat itu bukan menggantikan kurikulum yang berlaku saat ini. Kurikulum darurat digunakan ketika ada kondisi darurat seperti wabah, bencana alam, atau kondisi darurat lainnya.
’’Jadi, ketika terjadi kondisi darurat kembali, sudah ada pegangan,’’ jelasnya kemarin (30/4), seperti diberitakan Jawa Pos.com (Group Radar Bekasi).
Umar mengatakan, bentuk konkret kurikulum darurat sampai sekarang masih dibahas bersama antara Kemenag, Kemendikbud, dan pihak terkait lain. Secara pribadi, dia menyebut kurikulum darurat lebih cocok mengatur proses dan alat pembelajaran. Bukan pada konten atau materi pembelajaran.
Dengan adanya kurikulum darurat itu, proses pembelajaran yang dilakukan di rumah akan tetap menyenangkan. ’’Agar siswa tidak malah stres,’’ katanya. Menurut Umar, tujuan kurikulum darurat itu adalah menciptakan proses pembelajaran dalam situasi darurat.
’’Bukan sekadar memindahkan proses belajar di sekolah ke rumah,’’ ucapnya. Menurut Umar, keluhan atau pengaduan pelaksanaan pembelajaran online atau jarak jauh sekarang ini muncul karena siswa merasa tertekan. Dia menegaskan, dalam situasi darurat seperti saat ini, sekolah atau guru tidak perlu memaksakan pembelajaran seperti di sekolah untuk diterapkan di rumah.
Proses belajar di rumah tidak harus dilakukan dengan pembelajaran online melalui streaming atau setiap hari memberikan tugas ke siswa. Sebab, tidak semua siswa memiliki jaringan internet. Sebaliknya, proses belajar dari rumah bisa menekankan pelajaran hidup atau karakter kepada siswa. Contohnya, siswa diarahkan membantu orang tua, membantu belajar adik-adiknya di rumah, atau belajar mandiri seperti membaca buku dan sejenisnya.
Umar mengatakan, pengaduan belajar dari rumah di madrasah lebih rendah dibanding di sekolah umum. Sebab, sejak awal, Kemenag memiliki pola bahwa pembelajaran di masa darurat menekankan pembentukan karakter atau akhlak murid.
Komisioner KPAI Bidang Pendidikan Retno Lisyarti menyampaikan, rakornas antara pihaknya dengan Kemenag dan Kemendikbud menghasilkan sembilan poin. Salah satunya adalah pemerintah menyusun dan menetapkan kurikulum darurat.
Retno juga mengungkapkan sejumlah masalah yang dialami guru, siswa, dan orang tua dalam proses pendidikan jarak jauh (PJJ) saat ini. Misalnya, keterbatasan peralatan atau gadget yang dimiliki guru. Ada juga keluhan soal biaya membeli kuota internet. ’’Bahkan muncul persoalan PJJ yang tidak bisa dilakukan di daerah 3T (terdepan, terluar, tertinggal, Red),’’ katanya. Sebagai gantinya, guru yang datang ke rumah-rumah siswa. Proses pembelajaran dilakukan secara berkelompok dengan lima orang siswa.
Retno menambahkan, sekolah swasta mengalami masalah karena siswanya tidak mampu lagi membayar SPP. Penyebabnya, keluarga siswa terdampak wabah Covid-19. Akibatnya, guru tidak menerima honor yang selama ini diambil dari SPP. Parahnya lagi, guru tersebut harus keluar biaya internet untuk menjalankan PJJ.
Sementara itu, belum banyak keterangan dari Kemendikbud soal tindak lanjut kesepakatan penyusunan kurikulum darurat. Saat dihubungi tadi malam, Plt Dirjen PAUD Dikdasmen Kemendikbud Hammid Muhammad memberikan sedikit komentar. Padahal, saat rakornas dengan Kemenag dan KPAI, dia mewakili Kemendikbud.
’’Sampai saat ini Puskur (Pusat Kurikulum, Red) masih melakukan kajian,’’ katanya. Hamid meminta informasi detail ditanyakan langsung kepada Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kemendikbud Totok Suprayitno. Saat dihubungi, Totok juga belum bersedia menjawab. Begitu pula Kepala Puskur Awaluddin Tjalla.
Sementara itu, Menteri Agama (Menag) Fachrul Razi mendukung rekomendasi penyusunan kurikulum darurat tersebut. Meskipun begitu, dia menyadari prosesnya tidak mudah. Dia juga sependapat bahwa PJJ tidak semata-mata memindahkan kurikulum dari sekolah ke rumah. Karena itu, diperlukan penyederhanaan dan kemudahan akses pembelajaran dalam kurikulum darurat.
Menurut Menag, kurikulum harus memiliki keselarasan sehingga dapat dijalankan di semua wilayah. Kurikulum darurat juga harus mempertimbangkan keselamatan siswa dan guru di tengah pandemi Covid-19. ’’Kita coba (kurikulum, Red) secara sederhana, tetapi kami sependapat memang perlu ada keseragaman yang pas,’’ kata dia.
Selain itu, Menag menyatakan bahwa konten belajar dalam kurikulum darurat harus dapat menambah pengalaman belajar siswa. Misalnya, meningkatkan budaya literasi, numerasi, serta aktivitas positif lainnya bersama keluarga. Menurut dia, pembelajaran dari rumah perlu ditekankan pada aspek pendidikan tentang kecakapan hidup. Terutama kecakapan dalam masa pandemi Covid-19. ’’Harus ada juga penguatan nilai karakter dan akhlak bersama keluarga,’’ jelasnya. Masa belajar di rumah, menurut Fachrul, merupakan kesempatan strategis bagi siswa untuk belajar bersama orang tua. (oke/jpc)