Berita Bekasi Nomor Satu

Hikmah Ibadah yang Telah Lama Hilang

Habibah Auni
Habibah Auni

Radarbekasi.id – Sudah 30 hari lamanya kita lewati bulan Ramadan, bulan penuh berkah yang memiliki nilai kebaikan tiada kentara. Untuk mendapatkan kenikmatan tersebut, tiap manusia harus melewati ujian yang panjang dan lama.

Misalnya puasa, amalan wajib di bulan suci yang wajib dilaksanakan dari sebelum matahari terbit hingga azan magrib berkumandang. Dan selama sebulan penuh. Tentu hal ini menunjukkan bahwa puasa Ramadhan tidak mudah dilakukan, terlebih lagi puasa Ramadhan dikerjakan secara sendiri-sendiri.

Selain itu untuk menambah pahala sebanyak-banyaknya di bulan Ramadhan, setiap individu harus tekun meningkatkan amalan ibadah yang sifatnya transedental. Mulai dari tilawah, menahan dari perkataan kasar, bersedekah, dan amal-amal saleh lainnya.

Tentu saja diperlukan motivasi yang tinggi untuk giat beramal. Alhasil bisa dikatakan bahwa ibadah-ibadah ini hanya bisa dilakukan oleh mereka yang mempunyai kemawasan diri dann siap bertanggung jawab atas apa yang dikerjakan.

Kesadaran atas aspek spiritualitas di bulan Ramadhan, akan mengantarkan intelektualitas manusia menuju ke tingkatan yang lebih tinggi. Ibadah-ibadah yang dilakukan manusia, semakin mendekatkan manusia kepada alam metafisik. Ketika manusia sudah berada di pusat kesadaran dirinya, manusia akhirnya menyadari bahwa segala aktivitas di dunia adalah ibadah.

Sebaliknya, ketidaksadaran atas hakikat puasa Ramadhan atau ibadah lainnya kerap memincangkan nalar berpikir manusia. Ibadah-ibadah tersebut hanya dipandang sebagai kewajiban yang harus digugurkan. Kalau menurut Prof. Dr. H. Abd. Majid, M.A., Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia, formalisme dalam beribadah disebabkan kurangnya penghayatan seseorang dalam melakukannya. Puasa Ramadan dan amalan-amalan sunnah yang menyertainya hanya dianggap sebagai acara seremonial yang diadakan tiap tahun.

Belakangan ini, kita lihat banyak kasus yang menunjukkan tingkat kesadaran warga Indonesia dalam mengimplementasikan nilai-nilai ibadah di bulan Ramadan. Menjelang hari lebaran, sontak ramai warta mengenai gegap gempita masyarakat saat membeli baju di pasar dan memenuhi ruang satu gedung mall.

Tanpa mematuhi protokol kesehatan, yaitu menjaga jarak dan menggunakan masker. Padahal menghindari mudharat seperti ini juga ibadah. Apakah Ramadhan begitu keringnya di hati mereka hingga esensinya terbaikan?

Belum lagi dengan cerita mereka yang mudik, yang saat balik dari kampung halamannya sangat berpotensi menyebarkan virus Covid-19. PT Jasa Marga (Persero) Tbk. saja mencatat ada 37.878 kendaraan meninggalkan ibu kota pada Senin (25/05). Di hari yang sama, jumlah pasien positif Covid-19 bertambah 479 orang, menjadi 22.750 orang. Setelah lebaran, penyebaran virus Covid-19 dipastikan semakin meluas seiring derasnya arus balik mudik/migrasi.

Ketua Tim Pakar Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Wiku Adisasmito mengatakan bahwa kondisi setelah lebaran menjadi tantangan dalam penanganan kasus Covid-19. Ditambah lagi, Direktur RSUD Al Ihsan Bandung, Dewi Basmala Gatot memprediksi adanya lonjakan kasus Covid-19 pasca-Lebaran. Bukankah ini menunjukkan bahwa kegiatan hari Lebaran justru membawa mudharat yang begitu besar, sebab membahayakan bangsa dan negara?

Hal ini, setali tiga uang dengan Sarkowi (2015) di dalam tulisannya yang berjudul Membangun Kesadaran Kolektif), disebabkan oleh kurang kuatnya pegangan seseorang pada ajaran agama. Banyaknya anggota masyarakat yang melanggar, menunjukkan bahwa perilaku ini pun turut menular selayaknya virus Covid-19. Dengan demikian, pelanggaran yang dilakukan masyarakat menggarisbawahi kurang kuatnya pemahaman esensi peribadatan di bulan Ramadhan dan hari Lebaran.

Masyarakat sepatutnya memahami bahwa bulan Ramadhan dan hari Lebaran itu sama-sama memiliki komponen peribadatan yang saling melengkapi. Ibadah pada bulan Ramadhan umumnya tidak disukai, sangat menguji kesabaran, dan sifatnya individual.

Sedangkan ibadah pada hari Lebaran adalah momen kemenangan atas perjuangan manusia, disucikannya manusia dari dosa-dosa, dan sifatnya sosial. Keduanya sama-sama berupaya membentuk moral setiap anggota masyarakat, agar tercipta kesalehan pribadi dan kesalehan sosial.

Harapannya setelah lebaran, semua orang lebih mawas diri terhadap setiap langkah yang akan diambil. Mulai mematuhi protokol kesehatan dan mengedepankan kepentingan bersama. Sebab lebaran telah membuat kita berjanji untuk tidak mengulangi kesalahan-kesalahan yang dilakukan selama bulan ramadhan.

Sesuai dengan pendapat Fuad (2011) dalam jurnalnya yang berjudul Makna Hidup di Balik Tradisi Mudik Lebaran, yang menyatakan bagaimana lebaran mampu menyalakan semangat transformatif seseorang.

Dengan kesadaran kolektifnya, seyogyanya masyarakat juga mulai memulihkan keadaan agar kembali seperti sedia kala. Dalam artian merestorasi fisik dan psikir agar utuh lagi. Memperbaiki paradigma berpikir atas ibadah-ibadah yang kerap dipandang sebatas perayaan.

Perlahan-lahan mulai membangun kembali kekokohan masyarakat yang berlandaskan solidaritas organik, dengan menggaet hikmah ibadah yang telah lama hilang. (*)

Mahasiswa Semester 8 Teknik Fisika UGM