Berita Bekasi Nomor Satu
Opini  

New Normal dan Pendapatan Pemerintah

Pandemi Covid-19 membuat rakyat Indonesia ‘dipaksa’ menempuh normal baru (New Normal). Memakai masker, mencuci tangan dan menjaga jarak. Termasuk saat di pasar, pusat perkantoran, transportasi hingga di rumah ibadah. Semuanya mengikuti protokol kesehatan Covid-19.

Saat ini, memang belum semua kota/kabupaten memberlakukan normal baru. Sebagian masih menjalani Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

Meski begitu, jumlah kasus infeksi positif Covid-19 totalnya sudah mencapai lebih dari 35 ribu orang. Pernah pula dalam sehari, ada seribu lebih pasien terkonfirmasi positif.

Lonjakan kasus positif ini masih bisa dibilang sangat dini di tengah upaya pemerintah menerapkan kebijakan normal baru. Artinya, kebijakan normal baru belum diikuti dengan landainya jumlah kasus terkonfirmasi positif. Angkanya masih terus menanjak.

Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi, menyatakan kebijakan normal baru yang akan diterapkan pemerintah masih terlalu dini. Lantaran pemerintah belum mampu mengendalikan penyebaran Covid-19, karena kurva positif belum melandai. Bahkan kurva positif masih meningkat dan sudah menginjak angka seribu.

Dosen Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat dari Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran, Dr. Panji Hadisoemarto MPH, menyatakan keputusan normal baru harus diberlakukan setelah asesmen bukan sebelum asesmen. Dan tidak bisa diberlakukan untuk seluruh wilayah Indonesia.

“Keputusan harus mempertimbangkan data yang ada di setiap daerah dengan kondisi dan keadaan yang berbeda-beda,” sarannya.

Lain lagi dengan pendapat Anggota DPR Deddy Yevri Sitorus. Dia merespon baik upaya pemerintah untuk menerapkan  kebijakan normal baru. “Normal baru adalah upaya menyelamatkan hidup warga dan menjaga agar negara tetap bisa berdaya menjalankan fungsinya,” katanya.

Dengan kebijakan tersebut akan membuka kembali aktivitas ekonomi, sosial dan kegiatan publik dengan mengikuti protokol sesuai kesehatan.

Negara sangat berperan aktif dan banyak menggelontorkan dana untuk menangani shock Covid-19. Sudah tiga bulan Indonesia menjalani hari-hari dengan stay at home, work from home (WFH) sehingga mengakibatkan perlambatan perekonomian serta pendapatan negara.

Dilansir www.kemenkeu.go.id Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan pendapatan negara dan hibah pada akhir Triwulan I 2020 telah mencapai Rp375,95 triliun. Capaian pendapatan negara tumbuh sebesar 7,75%. Namun demikian, melihat refleksi penerimaan negara di bulan Maret yang tumbuh 7,7% terlihat cukup baik dibandingkan tahun lalu yang tumbuh 4,46%, meskipun basis supporting-nya bukan basis ekonomi secara luas.

Hal ini menunjukkan dukungan berbagai sumber pendapatan negara dalam upaya memperkuat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) di tengah tekanan ekonomi akibat pandemi Covid-19.

Realisasi Pendapatan Negara yang bersumber dari Penerimaan Perpajakan dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) masing-masing secara nominal telah mencapai Rp279,89 triliun dan Rp95,99 triliun.

Kemudian, seiring adanya aturan terkait WFH baik untuk sektor pemerintah maupun sektor swasta, maka mulai terjadi perlambatan kegiatan usaha di akhir Maret 2020 yang berpotensi menurunkan penyerahan dalam negeri yang kemudian akan menekan penerimaan Pajak Pertambahan Nilai Dalam Negeri (PPN DN) di bulan April 2020.

Sejalan dengan penerapan WFH dan PSBB tersebut, Pemerintah memberikan fasilitas perpajakan berupa relaksasi pembayaran PPh Pasal 29 OP dan pelaporan SPT PPh OP, yang mana berimbas pada belum optimalnya realisasi penerimaan PPh Pasal 29 OP.

Kebijakan WFH, Stay At Home dan PSBB telah memperlambat pendapatan negeri lebih lagi dari sektor perpajakan. Sri Mulyani pun memprediksi bahwa pendapatan negara akan mengalami penurunan sebesar 10%.

Sebab, sepanjang Covid-19 sampai di Indonesia, pemerintah telah banyak menggelontorkan dana insentif pajak besar-besaran untuk mendukung dunia usaha dan pribadi yang terdampak perlambatan perekonomian akibat Covid-19. Akibatnya pemerintah mengalami defisit.

Dari sisi perpajakan, sejumlah insentif yang digelontorkan pemerintah untuk badan usaha antara lain penurunan Pajak Penghasilan (PPh) Badan dari 25% menjadi 22% untuk tahun pajak 2020 dan 2021. Sementara di tahun 2022, tarif PPh Badan kembali turun menjadi 20%.

Maka dari itu pemerintah berupaya untuk menaikan kembali pendapatan negara agar tidak semakin menurun dan masih bisa berjalan roda perekonomian dengan baik di saat masa pandemi Covid-19. Dengan menerapkan kebijakan normal baru diharapkan bisa memperbaiki perekonomian yang tertekan akibat Covid-19.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartanto mengatakan kebijakan normal baru bertujuan agar roda perekonomian masyarakat bisa produktif kembali namun tetap aman sesuai protokol kesehatan dan dapat memperbaiki kondisi ekonomi nasional.

Masyarakat juga diminta harus patuh terhadap kesehatan sehingga dapat memutus mata rantai penyebaran Covid-19.

Terkait penurunan perekonomian pasca Covid-19, Airlangga menyebut perlu dilakukan restart engine ekonomi. Agar Indonesia mampu menahan lonjakan PHK dan kondisi masyarakat yang berada di near poor menjadi poor. (*)