RADARBEKASI.ID, BEKASI – Masyarakat Kota Bekasi dihebohkan dengan temuan struktur batu bata yang tersimpan di bawah tanah kawasan Stasiun Bekasi saat tengah dilakukan revitalisasi, belum lama ini. Bermacam asumsi sementara ini dikemukakan menunggu penelitian yang rencananya dilakukan oleh para ahli pekan depan. Pemerintah perlu lebih memperhatikan cagar budaya yang telah ditetapkan di wilayah sekitar maupun lokasi bersejarah yang tersimpan di wilayah Bekasi.
Sebelumnya, Pemerintah Kota Bekasi menetapkan delapan situs cagar budaya pada 2017 lalu, melalui keputusan wali kota. Lokasi tersebut diantaranya adalah Rumah Adat Bekasi dan Sumur Kembar di kawasan Kranggan, Kecamatan Jatisampurna, Sumur Batu di kawasan Kecamatan Bantargebang, Tugu Perjuangan Kali Bekasi, Tugu Perjuangan Rakyat Bekasi, Tugu Bambu Runcing, dan Tugu Perjuangan.
Setelah menetapkan delapan cagar budaya tersebut, dijelaskan bahwa Rumah Adat di Bekasi telah dihuni oleh sembilan generasi dan difungsikan sebagai balai pertemuan warga. Sementara Sumur Batu, disebutkan pada saat itu bahwa sumur tersebut diyakini sebagai sumur karomah, tempat orang-orang Bekasi pada zaman lampau mangambil wudhu untuk salat.
Pantauan Radar Bekasi, sejumlah situs yang menjadi cagar budaya tidak terawat dengan baik. Gedung Papak misalnya, gedung sejarah di area kantor pemerintahan Jalan Ir H Juanda tampak kumuh dan tidak terawat, meskipun bangunan masih nampak kokoh. Penampakan di area Gedung Papak juga cukup membuat jenuh mata setiap yang melihat, di sekelilingnya dipenuhi kendaraan lantaran menjadi area lokasi parkir kendaraan di kantor pemerintahan yang berada di komplek tersebut.
Gedung Papak ditetapkan sebagai cagar budaya sesuai keputusan Wali Kota Bekasi nomor 431 Kep.255-Porbudpar/VI 2011. Gedung Papak merupakan bangunan bersejarah pada saat revolusi fisik, berada di area pertempuran RI dengan Belanda. “Dulu punya tuan tanah pada jaman Belanda, kalau lihat trend (bentuk bangunan)nya, gedung papak itu ada tahun 1930-an,” kata Sejarawan Bekasi, Ali Anwar.
Pada monumen lainnya yang telah ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya, yakni Tugu Perjuangan Rakyat Bekasi di kawasan Stadion Patriot Candrabhaga melalui keputusan Wali Kota Bekasi tahun 2011. Area lingkungan tugu nampak tertata, beberapa warga terlihat berada di kawasan ini. Monumen ini didirikan pada 1975.
Selanjutnya adalah Monumen Tugu Perjuangan, yang juga ditetapkan berdasarkan keputusan Wali Kota Bekasi di tahun 2011, monumen ini berdiri untuk mengenang pembakaran besar-besaran rumah dan gedung di wilayah Bekasi oleh sekutu. Keberadaan monumen ini masih dalam keadaan baik, hanya saja berada tengah-tengah persimpangan jalan, dibangun secara gotong royong oleh masyarakat pada 1949.
Monumen selanjutnya ditetapkan pada 2017 melalui keputusan wali kota adalah Tugu Perjuangan Kali Bekasi. Lokasi 90 tentara Jepang dihabisi oleh pejuang rakyat Bekasi, dan jasadnya dibuang ke Kali Bekasi.
Terakhir adalah monumen perjuangan Rakyat Bekasi, terletak di Alun-alun Bekasi, berdiri pada 1955. Monumen ini menceritakan resolusi rakyat Bekasi untum bergabung dengan NKRI, bukan distrik federal Jakarta, maupun Negara Pasundan.
Untuk mengingat sejarah, lokasi bersejarah di wilayah Bekasi disebutkan oleh Ali Anwar sedikitnya berada di 40 titik, namun sampai dengan saat ini tidak ada bangunan monumental yang ditujukan untuk mengingat peristiwa di lokasi tersebut.
“Dulu kami sempat mengusulkan waktu itu di tahun 90-an, untuk membuat semacam penanda, misalkan dulu disini terjadi pertempuran, yang meninggal siapa saja, bikin semacam monumen kecil, tapu entah bagaimana pemerintah daerah nggak mampu mewujudkan,” katanya.
Di wilayah Kabupaten, terdapat beberapa lokasi bersejarah, diantaranya Gedung Juang 45 Bekasi dan Monumen Perjuangan Bekasi di wilayah Kecamatan Tambun, Tugu Bambu Runcing di kawasan Cikarang Barat, Monumen KH Noer Alie, dan Bangunan di area Polsek Kedung Waringin, yang konon menjadi area beristirahat prajurit pada masa pergerakan kemerdekaan.
Selain itu, peninggalan sejarah yang juga kental di Bekasi adalah kereta dan rel kereta lori atau dogong. Kereta ini menghubungkan area perkebunan di pelosok Bekasi dengan stasiun Bekasi, saat ini masyarakat tidak bisa lagi menjumpai peninggalan kendaraan untuk pengangkut hasil kebun ini.”Cibarusah sampai stasiun Lemah Abang itu ada jalur dogong, tapi semuanya sudah habis, tidak ada yang bisa dijumpai. Dan tidak ada museumnya,” paparnya.
Kemarin, Wakil Wali Kota Bekasi, Tri Adhianto melakukan pemasangan plank pada tujuh sumur di wilayah Kranggan, Kecamatan Jatisampurna. Konon dalam cerita yang berkembang di wilayah sekitar, sumur ini erat kaitannya dengan kerajaan Padjajaran. Terhadap tujuh sumur ini, sejarawan tengah melakukan penelitian lebih dalam untuk memastikan sumur tersebut dapat ditetapka sebagai cagar budaya.
Rencananya, kawasan ini akan ditetapkan sebagai kawasan cagar budaya setelah dilakukan serangkaian penelitian. Menurut Ali, harus dilakukan penelitian lebih serius untuk menjadikan kawasan ini sebagai kawasan cagar budaya oleh sejarawan, antropologi, dan arkeologi.
Bekasi merupakan kawasan yang masih memegang erat budaya yang telah berlangsung sejak masa lampau, yakni dikenal dengan babaritan. Babaritan pada masa Hindu Budha disebut oleh Ali berlangsung tidak hanya dikawasan tersebut saya, melainkan di seluruh wilayah Bekasi.
Pihaknya akan kembali meneliti semua bangunan yang telah ditetapkan sebagai cagar budaya oleh pemerintah daerah, termasuk sumur batu dan wilayah Kranggan untuk membuktikan perjalanan sejarah.”Dalam penelitian sejarah itu harus jelas data dan faktanya,” tukasnya.
Peninggalan sejarah kerajaan di wilayah Bekasi ini sudah dilakukan penelitian pada tahun 1960 oleh arkeolog, di wilayah Situs Buni, Babelan, Kabupaten Bekasi. Namun situs tersebut disebut pernah ia ajukan kepada pemerintah untuk menjadi kawasan cagar budaya, namun tidak kunjung terealisasi.
Diketahui masyarakat di wilayah tersebut bahkan telah memiliki kemampuan mencetak batu bata dan emas. Bekasi dijelaskan erat berkaitan dengan kerajaan Mataram dan Tarumanagara, disebut dalam sebuah catatan pada abad ke-17 bahwa raja Mataram mengutus sekelompok orang untuk membuka lahan di area Kali Bekasi.
“Dan ternyata itu diceritakan juga ada intelegen VOC, menyaksikan sendiri ada sekelompok. Masyarakat disitu, pas ditanya buat apa, ternyata hanya sekedar membuka ladang. Tapi ternyata cerita dari Sultan Agung ini strategi militer, terus apakah memang itu masyarakat di Bekasi pada saat itu, apakah pada saat pertempuran penyerbuan tentara Sultan Agung ke Batavia kemudian tentaranya kalah lantas mereka tidak boleh pulang nah menetap di daerah-daerah situ,” terangnya.
Sementara prasasti pada era kerajaan Tarumanagara ditemukan di kawasan Cilincing, wilayah ini sebelum 1974 merupakan bagian dari wilayah Bekasi. Setelah 1974 menjadi bagian dari wilayah Provinsi DKI Jakarta. (Sur)