RADARBEKASI.ID, BEKASI – DPRD Kota Bekasi tengah menunggu hasil fasilitas Pemprov Jawa Barat terkait Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Adaptasi Tatanan Hidup Baru (ATHB) yang telah dibahas. Pada waktu yang sama, DPRD juga mengirim raperda tersebut ke Kejaksaan Negeri Bekasi.
Ketua DPRD Kota Bekasi, Chairoman Juwono Putro mengatakan, raperda yang dibahas Pansus 12 DPRD Kota Bekasi ini masih menunggu perbaikan dalam fasilitas oleh gubernur Jawa Barat.
“Sementara dalam waktu yang sama kita juga mengirimkan ke kejaksaan untuk mendapatkan legal opinion terkait dengan sanksi pidana ataupun perdata agar dia tidak bertentangan dengan sanksi-sanksi dalam kaitan dengan berkaitan dengan itu,” katanya kepada Radar Bekasi.
Politikus PKS ini menyatakan, pembahasan raperda tersebut terkesan relatif lamban karena sejumlah hal administrasi yang perlu ditempuh dalam membuat suatu peraturan.
“Pertama harus diakui secara peraturan, Peraturan Pemerintah (PP) – nya mengakui sendiri bahwa setiap peraturan perda harus ada naskah akademisnya, nah ini belum ada. Kan darurat ya, darurat tapi membutuhkan produk hukum itu harus ada. Sehingga secara bertahap, paralel, sambil membahas mereka membentuknya,” ujarnya.
Dalam pembahasan raperda tersebut, pihaknya juga mengundang masyarakat dari berbagai unsur. “Jangan sampai nanti masyarakat terjadi berbagai penolakan, ternyata hampir semuanya seragam, setuju dengan kontennya. Dari buruh juga sama, pengusaha juga sama, forum RW juga kita undang, KONI, advokat,” kata Chairoman.
“Pada akhirnya prosedur normalnya harus dipenuhi, de facto-nya darurat, tapi de jure-nya nggak darurat,” sambungnya.
Sebelumnya, Pansus 12 DPRD Kota Bekasi telah mengirim raperda ATHB ke Gubernur Jawa Barat melalui Biro Hukum Pemprov Jawa Barat pada Oktober 2020 lalu.
Ketua Pansus XII DPRD Kota Bekasi, Haeri Parani mengatakan, dalam fasilitasi tersebut raperda akan dikaji dari berbagai aspek. Seperti yuridis, sosiologis dan filosofis.
“Dari aspek yuridis, apakah menyalahi aturan atau ketentuan yang di atasnya. Demikian juga tentu ada pandangan-pandangan sosiologis maupun aspek filosofisnya. Mereka akan kaji dengan biro hukum kantor gubernur, sesudah itu akan dikembalikan apakah ada koreksi atau tidak setelah dikembalikan kepada pansus,” kata Haeri, Senin (19/10).
Dia menjelaskan, raperda tersebut disusun dengan memperhatikan kondisi masyarakat di tengah pandemi covid-19. “Banyak hal terkait dengan sosial, ekonomi, budaya, pariwisata, Pendidikan. Karena ATHB ini dilihat semua dampak-dampak terkait dengan Covid-19,” katanya.
Di dalam raperda tersebut, kata dia, juga terdapat peraturan tentang sanksi yang dibagi dalam dua klaster. Yakni, klaster perorangan dan klaster perusahaan. Nantinya warga yang melanggar peraturan akan dikenakan sanksi sebesar Rp200 ribu sampai sanksi kurungan.(sur/neo)