RADARBEKASI.ID, BEKASI – PENANGKAPAN Edhy Prabowo (EP) mengagetkan publik. Karena KPK nyaris tidak pernah melakukan pengungkapan kasus raksasa sejak pengesahan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.
Setelah cukup lama KPK seolah mengalami ‘hibernasi’, publik disentakkan oleh berita penangkapan EP dalam kasus dugaan suap terkait perizinan ekspor benih lobster.
Seperti petir di siang bolong atau hujan di tengah kemarau panjang, penangkapan itu memberikan pesan ke publik bahwa KPK masih hidup.
Di sisi lain, penangkapan EP juga mengirimkan sinyal kuat ke istana bahwa reshuffle kabinet tak boleh ditunda terlalu lama lagi. Ada kebutuhan untuk setidaknya mencari pengganti EP, yang untuk keperluan me-make up citra publik dari kabinet Jokowi-Maruf, akan terlalu riskan jika kursi tersebut diberikan lagi kepada politisi an sich.
Momen seperti ini harus menjadi langkah korektif bagi Jokowi untuk mencari figur-figur yang cakap dan profesional guna mengembalikan kepercayaan publik pada pemerintah. Figur cakap dan profesional itu, dapat berasal dari mana saja; parpol, pelaku sektor perikanan, kampus, mapun birokrasi.
Lantas, siapa sosok yang cocok untuk mengisi kekosongan kursi Menteri Kelautan dan Perikanan untuk empat tahun ke depan?
Gerindra yang terpukul dengan penangkapan EP dan tetap berprasangka baik atas peristiwa tersebut (Waketum Sufmi Dasco mengistilahkannya sebagai “musibah”), tentu tidak rela jika posisi lowong tersebut diisi kader partai lain, kecuali dengan “tukar tambah” portofolio kabinet yang dianggap setimpal.
Dari internal Gerindra sendiri mencuat banyak nama. Mulai Sufmi Dasco, Fadli Zon, hingga Sandiaga Uno.
Berbagai informasi yang berkembang di media massa menyebutkan bahwa Gerindra sangat mungkin sedang menyiapkan putra mahkota Prabowo yaitu Sandiaga Uno, untuk menggantikan EP.
Penunjukan Sandiaga yang memiliki latar belakang pebisnis sukses tentu dapat menyelamatkan marwah partai yang telah terkoyak pascapenangkapan EP.
Sandiaga tidak hanya dinilai memiliki ketrampilan yang dibutuhkan untuk memimpin salah satu sektor ekonomi. Ia juga memiliki karisma dan popularitas yang telah terbangun selama masa Pilpres 2019, sehingga diharapkan mampu menyemangati kader Gerindra yang sempat down pasca “musibah” ini.
Meski demikian, penunjukan Sandiaga juga memiliki risiko tersendiri bagi Gerindra, karena penangkapan EP telah memunculkan persepsi bahwa kader Gerindra gagal memimpin sektor kelautan dan perikanan.
Tantangan Sandiaga untuk mengubah “musibah” menjadi “berkah” itu akan sulit. Banyak sorotan akan dialamatkan kepadanya atau siapapun kader Gerindra yang diberi amanah untuk memimpin KKP.
Berbagai kelindan kepentingan antara kebijakan KKP dalam ekspor lobster dan perusahaan pemeroleh izin ekspor yang sebagian memiliki keterkaitan dengan Gerindra sudah kadung terbuka di publik. Sehingga akan terus dikorek-korek oleh media massa.
Jika Gerindra tetap bersikeras mengambil alih kementerian ini, maka Menteri baru akan terus disibukkan oleh isu korupsi ekspor benih lobster selama empat tahun memimpin.
Lebih jauh lagi, jika Sandiaga atau siapapun wakil Gerindra juga dianggap gagal di pos KKP, maka citra partai itu akan semakin terpuruk. Jokowi pun dapat terkena imbasnya, karena dianggap tidak menggunakan kasus EP sebagai momentum untuk memperbaiki keputusan.
Karena itu, jalan keluar yang dianggap aman untuk menentukan KKP-1 ke depan adalah dengan kocok ulang kabinet.
Gerindra harus bersedia melepas kursi Menteri KKP dan bertukar posisi dengan partai atau kelompok kepentingan lain yang memiliki “jatah” di kabinet.
Waketum Gerindra, Fadli Zon menyatakan, kursi kementerian itu selayaknya dijabat profesional yang benar-benar ahli di bidangnya. Pernyataan ini dapat dibaca sebagai persetujuan apabila partainya melepas kursi KKP.
Opsi “tukar tambah”, misalnya dengan menempatkan Sandiaga atau Sufmi Dasco sebagai Menteri Pertanian atau Menteri Koperasi dan UKM, jauh lebih elegan bagi partai berlambang burung Garuda itu.
Jika kursi KKP dilepas Gerindra, PDIP bisa jadi sangat tertarik untuk merebut kembali kementerian itu karena mempunyai kader terbaik di bidang kelautan dan perikanan.
Rokhmin Dahuri, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, tentu memiliki segudang pengalaman berharga untuk mengendalikan “gonjang ganjing” yang terjadi di KKP saat ini.
Rokhmin tak diragukan lagi kapasitasnya dalam memimpin kementerian, namun catatan kecil bahwa ia pernah terjerat kasus KPK di masa lampau tentu menjadi bahan pertimbangan Presiden dalam mengambil keputusan.
Apabila pertimbangan tersebut dikesampingkan demi pembenahan KKP dalam situasi sulit, ditambah jika PDIP ngotot untuk mengambil alih kementerian yang ikut mengurusi nasib “wong cilik” itu, maka dapat dipastikan Rokhmin akan menjadi pilihan teratas untuk pos KKP-1.
Memang, ada nama lain yang saat ini mengemuka dalam perbincangan publik, khususnya di media sosial, yaitu Susi Pudjiastuti. Bagi kalangan netizen dan media massa, Susi adalah kandidat terkuat.
Sejak jadi menteri di kabinet Jokowi-JK, Susi adalah media darling yang memiliki strategi pembangunan opini yang kuat. Ia dianggap sebagai salah satu Menteri Jokowi yang berhasil.
Namun, bukan rahasia pula jika kerap tidak sejalan dengan beberapa anggota kabinet lain, khususnya dengan Luhut Binsar Panjaitan (LBP) yang menjadi Menko Maritim dan Investasi.
Suara-suara kritis Susi dalam menyikapi berbagai kebijakan pemerintah akhir-akhir ini juga memunculkan hambatan psikologis yang kurang memungkinkannya diterima dengan tangan terbuka oleh sebagian anggota kabinet.
Kalangan akademisi juga ikut meramaikan bursa calon Menteri Kelautan dan Perikanan. Salah satunya adalah Rektor IPB Arif Satria.
Profesor lulusan Jepang dalam bidang kebijakan perikanan itu tentu menjadi alternatif yang bisa mengisi kekosongan ini. Apalagi, santer beredar kabar bahwa akademisi asal Pekalongan ini sudah dipanggil ke istana untuk diminta masukan terkait pembenahan sektor kelautan dan perikanan.
Tantangan KKP pasca penangkapan EP ini tentu sangat terjal bagi Arif yang belum banyak memiliki “jam terbang” birokrasi. Tentu akan muncul pertanyaan, mampukan Arif yang masih “muda” meluruskan kemudi biduk kementerian besar bernama KKP yang sedang oleng ini?
Sumber terakhir untuk mencari pengganti EP adalah dari birokrasi pemerintah. Mengingat bahwa saat ini yang diberikan tugas sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan ad interim adalah LBP, maka pengganti EP bisa dipertimbangkan dari salah satu Deputi Menko Maritim dan Investasi.
Jika salah satu Deputi LBP berhasil jadi Menteri Keluatan dan Perikanan yang baru, maka hal tersebut juga akan menjadi kredit tersendiri bagi sang Menko Marves.
Tudingan sinis bahwa ia adalah “menteri segala urusan” akan terjawab dengan keberhasilannya melakukan pengkaderan anggota kabinet, khususnya dengan mengorbitkan KKP-1 baru yang profesional, nonpolitisi, dan menawarkan kesegaran.
Deputi Menko Maritim dan Investasi yang penting dan berpeluang untuk menjadi KKP-1 adalah Deputi Bidang Koordinasi Sumber Daya Maritim, Safri Burhanuddin.
Doktor lulusan Prancis ini dianggap berpengalaman di birokrasi dan mampu bekerja sama dengan LBP. Di internal Kemenko Maritim dan Investasi, ia dianggap sosok yang mumpuni, pekerja keras, dan mampu mengimbangi ritme kerja Menko Marves yang tinggi.
Beberapa pekerjaan besar seperti penanganan sungai Citarum dan pemulihan ekonomi nasional melalui Indonesia Coral Reef Garden dipercayakan LBP kepada Safri. Bisa jadi, Safri akan menjadi kuda hitam dalam pencarian pengganti EP. Tapi, akankah garis tangan berpihak pada pria Makassar itu?
Saat ini, KKP membutuhkan menteri yang tidak hanya resourceful tapi mampu bekerja secara cepat untuk mengendalikan dampak penangkapan EP dan membangkitkan kembali moral segenap insan kementerian agar “badai segera berlalu”.
Mari kita tunggu: apa keputusan yang diambil oleh Jokowi dengan pertimbangan dari LBP dan partai-partai koalisi di kabinet. (*)
Dosen FEB UNPAD.