Berita Bekasi Nomor Satu
Bekasi  

Wajah Intervensionis Negara dalam Kisruh Internal Parpol

RADARBEKASI.ID, BEKASI – Secara historis, kekisruhan yang kerap melanda internal partai politik (parpol) di Indonesia dalam realitasnya tidak dapat dipisahkan dari adanya kecenderungan intervensi yang dilakukan oleh negara.

Hal ini dikarenakan kekisruhan yang terjadi dalam internal partai politik secara konkret merupakan persoalan yang secara langsung turut memengaruhi eksistensi dan peranan negara mengingat keduanya memiliki keterkaitan yang erat.

Keterkaitan yang dimaksud dalam hal ini dapat merujuk pada fungsi dan peranan yang dimiliki oleh partai politik secara umum sebagai mitra strategis negara dalam menjalankan segala tugas dan fungsinya.

Terlebih hal tersebut juga diperkuat dengan konteks yang berlaku di negara-negara demokrasi dewasa ini yang kemudian menunjukkan bahwa partai politik merupakan salah satu institusi yang memiliki peranan penting dalam membantu negara untuk menjalankan tugas-tugasnya.

Bahkan jika dilihat dalam realitasnya secara konkret, partai politik justru merupakan pihak yang memegang dan sekaligus menjalankan kekuasaan negara melalui pembentukan terhadap suatu pemerintahan yang berdaulat.

Alhasil, dapat dikatakan apabila terjadi suatu persoalan dalam internal sebuah partai politik maka hal tersebut setidaknya berpotensi turut berimbas pada bagaimana pemerintah menjalankan tugas-tugasnya.

Pasalnya, tatkala kader-kader partai politik yang di saat bersamaan memiliki posisi dan tanggung jawab dalam menjalankan kekuasaan negara turut terlibat dalam persoalan yang terjadi di internal partainya, maka hal itu akan berpotensi menimbulkan persoalan lainnya seperti konflik kepentingan dan penyalahgunaan kekuasaan.

Adapun dalam menjelaskan persoalan-persoalan lain yang berpotensi muncul dari adanya kekisruhan pada internal sebuah partai politik, salah satu kecenderungan yang umumnya dapat dijumpai adalah terkait dengan adanya kemungkinan intervensi dari negara.

Dalam hal ini, adanya kemungkinan intervensi yang dilakukan oleh negara tersebut biasanya kerap dilakukan dalam berbagai bentuk, seperti dengan memihak kepada salah satu kelompok atau faksi hingga kemudian memberikan pengesahan terhadap kubu kepengurusan yang dianggap lebih mendukung pemerintah yang tengah berkuasa.

Pasalnya, kecenderungan-kecenderungan tersebut umumnya dilakukan oleh pemerintah yang tengah berkuasa dengan dalih agar dapat mengatasi segera kekisruhan yang terjadi dalam internal sebuah partai politik.

Namun, dalih itu nyatanya seringkali diiringi dengan kepentingan-kepentingan praktis tertentu yang biasanya ditujukan untuk mengamankan dukungan dari partai politik yang tengah mengalami kisruh tersebut.

Terlebih, apabila partai politik tersebut dalam realitasnya kerap memiliki pandangan dan sikap yang berseberangan dengan penguasa maka hal itu cenderung akan semakin mendorong kemungkinan adanya intervensi yang dilakukan oleh rezim pemerintahan yang tengah berkuasa.

Selain itu, apabila dalam kekisruhan tersebut akhirnya dihasilkan kelompok atau faksi-faksi yang pragmatis maka hal itu justru akan berpotensi semakin menguatkan kepentingan negara untuk melakukan intervensi dengan cara memanfaatkan eksistensi dari kelompok atau faksi tersebut, sehingga kepentingannya dapat terwujud.

Untuk itu, kesan yang seringkali dapat diidentifikasi dari adanya kecenderungan-kecenderungan tersebut setidaknya menunjukkan bahwa negara tidak tampil sebagai mediator konflik yang netral, melainkan menjelma menjadi pihak oportunis dan pragmatis yang senantiasa berusaha untuk memperoleh keuntungan dari adanya kekisruhan dalam internal sebuah partai politik.

Lebih lanjut dalam menjelaskan kecenderungan tersebut, realitas yang terjadi dalam beberapa kasus konflik internal partai politik di Indonesia setidaknya dapat dijadikan sebagai rujukan.

Pertama, seperti yang terjadi pada era kekuasan rezim Orde Baru di saat terjadi dualisme kepengurusan dalam internal Partai Demokrasi Indonesia (PDI) antara kubu Soerjadi (yang belakangan lebih diakui oleh rezim penguasa saat itu) dengan kubu Megawati Soekarnoputri hingga kemudian berujung pada insiden Kudatuli (Kerusuhan dua puluh tujuh Juli) tahun 1996.

Pada awalnya, kasus tersebut bermula dari adanya ketidakpuasan rezim penguasa saat itu terhadap hasil kongres PDI tahun 1993 di Surabaya yang menunjuk Megawati Soekarnoputri sebagai ketua umum.

Adapun, adanya ketidakpuasan itu disinyalir sebagai bentuk kekhawatiran rezim Orde Baru terhadap ketokohan Megawati yang merupakan putri dari proklamator dan presiden pertama Indonesia, Soekarno. Apalagi, status PDI kala itu seringkali diasosiaskan dengan pihak-pihak yang kerap memiliki pandangan yang berbeda dengan rezim penguasa, sehingga hal itu membuat intervensi yang dilakukan oleh pemerintah saat itu menjadi sesuatu yang tidak dapat terbantahkan.

Kedua, merujuk pada kekisruhan dalam internal partai-partai politik pasca bergulirnya Reformasi, seperti yang pernah mencuat pada kasus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) di masa kepemimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), kasus Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), hingga polemik yang terjadi pada internal Partai Demokrat baru-baru ini di era kekuasaan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Dalam hal ini, jika merujuk pada kasus-kasus kekisruhan yang terjadi dalam internal partai-partai politik tersebut setidaknya dapat dikatakan bahwa hal itu juga tidak dapat dipisahkan dari adanya kecenderungan intervensi yang dilakukan oleh negara.

Pasalnya jika merujuk pada kasus PKB, dapat dikatakan bahwa kekisruhan berawal dari adanya perbedaan dalam menyikapi dinamika politik menjelang dan pasca kejatuhan Gusdur sehingga akhirnya melahirkan dua kubu antara kubu Matori Abdul Djalil dengan kubu Gusdur.

Kemudian, polemik itu berlanjut pada masa kepresidenan SBY dimana timbul perbedaan mengenai arah dukungan PKB sehingga akhirnya kembali memunculkan dua kubu antara kubu Gusdur dengan kubu Muhaimin Iskandar. Pada saat polemik ini mencuat, banyak kalangan berspekulasi termasuk merujuk pada pernyataan yang disampaikan oleh Gusdur sendiri bahwa konflik dalam internal PKB saat itu tidak dapat dipisahkan dari adanya campur tangan rezim penguasa saat itu.

Kemudian, spekulasi serupa juga kembali mencuat tatkala terjadi kekisruhan dalam internal Partai Golkar, PPP dan Partai Demokrat di era kepresidenan Jokowi yang menganggap bahwa polemik yang dialami oleh partai-partai politik tersebut juga tidak dapat dipisahkan dari adanya andil tangan-tangan tak terlihat (invisible hand) yang kerap dikait-kaitkan dengan rezim penguasa yang saat itu dianggap masih belum memiliki fondasi kekuatan politik yang memadai.

Adanya kecenderungan intervensi yang dilakukan negara dalam konteks kekisruhan pada internal partai-partai politik tersebut setidaknya mencerminkan bahwa partai-partai politik di Indonesia dewasa ini masih belum memiliki aspek pelembagaan yang kuat.

Selain itu, jika merujuk pada pandangan yang disampaikan oleh pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Prof. Dr. Lili Romli dalam karyanya yang berjudul “Koalisi dan Konflik Internal Partai Politik Pada Era Reformasi” dapat dikatakan bahwa adanya kecenderungan konflik internal dalam partai politik di Indonesia bukan disebabkan oleh adanya perbedaan mengenai visi/misi, platform serta ideologi, melainkan lebih dipengaruhi oleh adanya pragmatisme atas pilihan koalisi partai politik untuk mendukung pemerintahan serta kepentingan untuk meraih kekuasaan.

Prof. Dr. Lili Romli juga menyatakan bahwa faktor pilihan koalisi atau menjadi oposisi juga turut menjadi variabel penting dalam menjelaskan konflik dalam internal partai politik. Hal inilah yang kemudian seolah menjadi celah bagi negara untuk melakukan intervensi agar dapat mewujudkan kepentingannya dalam meraih dukungan dari partai-partai yang tengah terlibat konflik.

Bahkan, kecenderungan yang berkembang kemudian ditandai dengan timbulnya perpecahan yang akhirnya dapat berujung pada lahirnya partai-partai baru ataupun kepengurusan ganda sebagaimana yang terjadi pada kasus-kasus kekisruhan dalam internal partai-partai politik di Indonesia. (*) Mahasiswa Program Magister Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia.