Saya tidak kenal Kapolda Sumsel Irjen Pol Eko Indra Heri –sampai kemarin siang.
Namun, saya melihat ia telah menjalankan model komunikasi modern –di saat tertimpa masalah sumbangan Rp 2 triliun.
Ia minta maaf secara terbuka. Terutama kepada masyarakat Sumsel. Juga kepada orang se-Indonesia.
Persoalan pun seperti hati panas disiram es.
Semua orang harus ingat langkah Kapolda Sumsel itu. Siapa pun yang tertimpa masalah jangan banyak dalih.
Jangan menghindar sampai putar-putar. Kadang memutarnya sampai wisma atlet. Pun ada yang sampai cari kambing hitam.
Langsung saja: minta maaf. Selesai. Toh tidak ada masalah hukum di situ. Tidak ada unsur kejahatan.
Namun, di banyak kasus, banyak orang terlihat sangat berat untuk minta maaf.
Bahkan Irjen Eko tidak berhenti dengan minta maaf. Ia masih pula ziarah ke makam Akidi Tio dan istri. Kemarin.
Ia pergi ke permakaman Tionghoa Palembang, di Talang Kerikil. Hanya bersama istri. Dan ajudan. Tanpa ada awak media.
Saya tahu kunjungan ziarah itu dari teman Palembang yang punya keluarga di makam itu. Lalu saya berusaha mencari siapa yang memotret ziarah itu. Akhirnya saya dapat fotonya, tetapi tidak sempurna.
Tidak seperti kalau wartawan foto yang memotret. Momentum foto itu juga kurang tepat: Kapolda tidak sedang berdoa. Kapolda hanya terlihat berdiri di antara dua makam suami-istri Pak Tio. Itu, kelihatannya, adegan Kapolda sudah akan meninggalkan makam.
Ziarah itu dilakukan pukul 10.00 pagi kemarin. Atau sekitar jam itu. Tidak dalam pakaian dinas.
Saya tidak tahu apa yang ada dalam pikiran Irjen Pol Eko. Namun, dalam ilmu komunikasi modern, ziarah seperti itu sangat berarti.
Jangan-jangan itu kunjungan pertama bagi kapolda ke sebuah makam Tionghoa.
Sebenarnya saya sudah menugaskan wartawan untuk memotret makam itu. Seminggu yang lalu. Namun, wartawan foto Sumatera Ekspres tertegun. Sang wartawan rupanya juga belum pernah ke sebuah makam Tionghoa –yang begitu luas.
Setengah hari penuh sang wartawan mencari mana Akidi di makam itu. Tidak ketemu. Ia periksa satu per satu. Tidak ada nama itu. Dari satu makam ke makam lainnya. Nihil. Tidak ada satu pun batu nisan yang bertulisan Akidi Tio.
Ia pun memotret banyak makam. Dikirim ke saya. Ia tahu, saya bisa berbahasa Mandarin. Saya diminta memeriksa foto itu satu per satu. Siapa tahu ada huruf Mandarin yang berbunyi Akidi.
Sayang fotonya diambil dari jarak terlalu jauh. Saya tidak bisa membaca jelas huruf Mandarin yang ada di situ. Saya coba besarkan foto itu. Khususnya di bagian tulisan. Kabur.
Baru dari foto ziarah Kapolda itu saya tahu siapa nama Mandarin Akidi Tio. Foto itu kurang baik secara foto-jurnalistik, tetapi baik sebagai sumber informasi.
Dari situ diketahui ternyata Akidi Tio bermarga Zhang. Membaca huruf kanji di nisan itu harus pakai cara lama: dari kanan. Berarti nama lengkap Akidi Tio adalah Zhang Ji Ya.
Lalu ada kata Fu Gong di sebelah namanya. Itu menandakan ia seorang suami. Dari situ juga diketahui bahwa Akidi Tio menggunakan bahasa Tiochu.
Tidak tahu bagaimana ketika di-Indonesia-kan nama Zhang Ji Ya itu menjadi Akidi Tio.
Namun, kata Tio di situ menunjukkan ia dari suku Tiochu –dari kota Shantou. Yakni satu kabupaten paling timur-laut provinsi Guangdong. Di perbatasan dengan provinsi Fujian.
Itu juga terlihat dari dua kata besar di nisan itu. Ada menandakan asal-usulnya dari Guangdong.
Foto itu menjawab penasaran saya selama seminggu: siapa nama Mandarin Akidi Tio. Lebih sepuluh orang Tionghoa Palembang saya tanya: tidak tahu.
Saya pun hubungi Bupati Aceh Timur Rocky Hasbalah. Saya pernah tidur di rumahnya di Aceh Timur. Tentu ia tahu soal Akidi Tio. Kan Akidi orang Tionghoa Aceh –dari Langsa. Ternyata Bupati Rocky tidak tahu. Yang ia tahu adalah: ia punya teman, yang punya teman lagi, yang kenal dengan temannya anak Akidi Tio.
Saya pun menelusuri dari teman ke teman Ricky itu. Anak sulung Akidi memang lahir di Langsa. Anak sulung itu bernama entah siapa, tetapi selalu dipanggil Ahok. Ia, si Ahok itu, punya pabrik kecap di Langsa, Aceh Timur.
Saat Eko Indra Heri berpangkat letda (letnan dua) bertugas di Langsa. Itulah tugas pertama Eko setelah tamat dari Akabri. Saat di Langsa itulah Eko Indra kenal dengan Ahok.
Ahok pun tahu Eko Indra ternyata berasal dari Palembang. Ahok pun bercerita bahwa ayahnya, Akidi Tio, tinggal di Palembang.
Ahok minta agar Eko Indra –bila sedang pulang kampung– berkunjung ke rumah sang ayah di Palembang.
Saya pun menghubungi salah satu personel Polda Sumsel. Mengapa Kapolda ziarah ke makam Akidi.
“Beliau ingin mendoakan Pak Akidi agar hidupnya di alam sana tenang,” ujar staf itu.
“Kapolda memang merasa sedih, tetapi Pak Akidi tentu merasa lebih sedih lagi,” katanya.
Nama Akidi memang lebih banyak disebut justru setelah 12 tahun dimakamkan di Talang Kerikil. Itu karena putri bungsunya, Heryanty (Ahong), menyumbang Kapolda Sumsel Rp 2 triliun demi memenuhi wasiat sang ayah. Sumbangan itu ternyata bodong –setidaknya sampai hari ini.
Tentu Ahong yang mestinya segera minta maaf ke kapolda. Juga ke masyarakat Sumsel. Justru kapolda yang ke makam Akidi Tio.
Bahkan, kata staf Polda itu, istri kapolda sudah pula menelepon Heryanty, putri bungsu Akidi. “Bu Kapolda sudah memaafkan apa yang dilakukan Heryanty pada suaminya,” ujarnya.
Istri Kapolda Sumsel itu asli Aceh. Wanita Pidie.
Sedang Kapolda yang lahir, SD, SMP dan SMA di Palembang berdarah Jawa dari seorang ayah anggota TNI-AU di Talangbetutu, Palembang.
Demikian juga Kapolda ternyata sudah ke rumah Prof Dr dr Hardi Darmawan. Kapolda memaafkan sang profesor.
Kenapa Kapolda yang ke rumah Prof Hardi? Bukan sebaliknya? “Kapolda menganggap Prof Hardi itu lebih senior,” ujar staf tersebut.
“Kapolda bilang kepada sang profesor, anggap saja ini ada dua profesor yang terkecoh”.
Kapolda Eko Indra ternyata juga seorang guru besar. Ia profesor ilmu sumber daya manusia di PTIK (Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian). Sejak tahun lalu –di wisuda tiga bulan lalu. Gelar doktornya juga di ilmu SDM –dari Universitas Negeri Jakarta, dahulu IKIP.
Semua orang pernah mengalami musibah, tetapi tidak semua orang tahu bagaimana mengatasinya. (*)