RADARBEKASI.ID, KABUL-Taliban harus memutar otak. Mereka memang telah mengalahkan pemerintah Afghanistan dan mengambil alih kekuasaan. Namun, membentuk pemerintahan adalah masalah lain yang harus mereka selesaikan. Terlebih aliran uang ke Afghanistan telah terhenti. Aset pemerintah di luar negeri kini bahkan dibekukan.
BBC melaporkan bahwa para pemimpin Taliban di pengasingan mulai pulang sejak Selasa (17/8). Salah satunya adalah Abdul Ghani Baradar yang selama ini tinggal di Qatar. Mereka tiba di Kandahar dan segera menuju Kabul guna menentukan langkah selanjutnya. Salah satunya adalah pembentukan pemerintahan.
Baradar adalah salah satu tokoh yang melakukan negosiasi dengan pemerintahan mantan Presiden AS Donald Trump. Saat itu, dia menginginkan agar semua pasukan asing ditarik dari Afghanistan. Baradar diyakini bakal menjadi salah satu pemimpin Afghanistan di era Taliban. Tapi, jalan ke sana tidak mudah. Banyak konsolidasi yang harus dilakukan.
“Mereka (Taliban, Red) tidak punya PNS, tidak ada kader di pemerintahan. Mereka akan membutuhkan bagian dari pemerintahan lama untuk menjaga sistem ini tetap utuh dan bakal ada pembahasan tentang transisi,” tegas dosen senior di Departemen Studi Perang King’s College London Rudra Chaudhuri.
Di lain pihak, mantan Gubernur Bank Sentral Afghanistan Ajmal Ahmady mengungkapkan, Taliban bakal mengalami gejolak finansial. AS telah membekukan aset Bank Sentral Afghanistan senilai USD 9,5 miliar atau setara Rp 136,6 triliun. Ahmady menjelaskan bahwa selama ini cadangan dolar di negaranya bergantung pada pengiriman AS. Nah, AS sudah menghentikan pengiriman dan yang tersisa di Bank Sentral sebentar lagi habis. Bank juga tengah membatasi penarikan uang.
“Itu akan memicu kenaikan inflasi, lonjakan harga pangan, dan kontrol modal,” tegas pejabat yang berhasil lari dari Kabul pada Minggu (15/8) lalu tersebut seperti dikutip Financial Times. Afghanistan telah berubah banyak. Menjalankan pemerintahan saat ini tentu tidak mudah. Apalagi, Taliban sudah 20 tahun tidak berkuasa. Beberapa anggota Taliban juga masuk dalam daftar Kantor Kontrol Aset Asing AS.
Presiden Afghanistan Ashraf Ghani kini berada di Uni Emirat Arab (UEA). Kementerian Luar Negeri UEA menegaskan bahwa mereka menerima Ghani dengan alasan kemanusiaan.
Duta Besar Afghanistan untuk Tajikistan Zahir Aghbar menuding Ghani membawa lari uang USD 169 juta (Rp 2,4 triliun) ketika kabur dari Kabul. Tudingan serupa dilontarkan Kedutaan Besar Rusia untuk Afghanistan.
Aghbar menegaskan bahwa Ghani telah mengkhianati tanah air dan negaranya karena melarikan diri. “Kedutaan bakal mengakui Wakil Presiden Amrullah Saleh sebagai presiden sementara,” terang Aghbar dalam sesi konferensi pers di Dushanbe, Tajikistan.
Saleh juga mengeluarkan pernyataan bahwa kini dirinya adalah presiden sementara Aghanistan. Dia juga menegaskan bahwa perang dengan Taliban belum berakhir.
Sementara itu, proses evakuasi warga asing terus berlangsung. Pun demikian penduduk Afghanistan yang ingin lari dari pemerintahan Taliban. Bandara Internasional Hamid Karzai di Kabul mulai beroperasi kembali. AS mengevakuasi 9 ribu orang per hari. Hingga kemarin AS sudah mengevakuasi 3.200 orang. Negara lain seperti Jerman, Inggris, Prancis, dan India juga berusaha memulangkan penduduknya sebanyak-banyaknya.
Sementara itu, demo anti-Taliban mulai mencuat di Jalalabad. Mereka menolak bendera Afghanistan diturunkan dan diganti dengan banner milik Taliban. Imbas dari aksi tersebut, setidaknya tiga orang dilaporkan meninggal. Puluhan orang lainnya luka-luka. Aksi serupa kini menjalar ke kota-kota lain di sekitarnya. Babrak Amirzada, reporter kantor berita lokal, mengungkapkan bahwa dirinya dan kameramennya dipukuli oleh Taliban karena berusaha meliput aksi protes tersebut.
Terpisah, remaja putri di Herat kembali sekolah seperti biasa. Hingga kemarin Taliban masih memenuhi janjinya untuk membiarkan perempuan mengenyam pendidikan. Herat selama ini dikenal sebagai kota kosmopolitan. Perempuan dan remaja putri berjalan bebas di jalan, bersekolah, dan kuliah. Ia berbeda dengan beberapa wilayah lain yang lebih konservatif. Tapi, sampai kapan mereka bisa sekolah, hanya Taliban yang tahu. Sebab, ketika Taliban berkuasa lebih dari dua dekade lalu, perempuan dilarang sekolah dan bekerja. (jpc)