SEBENARNYA saya ingin berhenti dulu menulis tentang Afghanistan. Tunggu perkembangan yang jelas dulu. Tapi, kemarin, saya mendapat nomor kontak Agustinus Wibowo. Yang sudah menjelajah Afghanistan sampai pojok-pojoknya. Yang sudah menulis buku berjilid-jilid.
Agustinus ternyata kelahiran Lumajang, Jatim. Sampai SMA pun masih di Lumajang –SMA Negeri di sana. Nama Tionghoanya Weng Hongming (???).
Setelah tamat SMA itulah Agustinus ke Beijing. Kuliah di universitas terbaik di sana: Tsinghua University. ”MIT”-nya Tiongkok. Ambil jurusan komputer. Sampai lulus S-1.
Ayahnyalah, seorang pedagang telur di Lumajang, yang meminta Agustinus sekolah di Beijing. Padahal waktu itu, ia sudah kuliah di ITS Surabaya. Baru semester pertama. Jurusan informatika.
Selama kuliah di Beijing itu Hongming selalu ingin melakukan perjalanan. Dengan cara backpacker yang sangat hemat. Terutama ketika masa kuliahnya lagi libur.
Perjalanan pertama ia lakukan ke Monggolia. Dari Beijing. Naik kereta rakyat.
Liburan berikutnya ia ingin sekali ke Afghanistan. Yang menantangnya ke Afghanistan justru karena semua orang takut ke sana.
Hongming juga naik kereta api. Dari Beijing ke Kashgar –kota besar kedua di Provinsi Xinjiang. Di pojok barat daya Tiongkok. Kashgar sudah lebih dekat ke perbatasan Uzbekistan atau Pakistan.
Dari Kashgar ini –saya sendiri tidak pernah bisa melupakan enaknya kambing bakar di Kashgar dan manisnya buah-buah di sana– Hongming naik bus ke perbatasan Pakistan. Lewat pegunungan terjal di sepanjang perjalanan. Berhari-hari.
Itu tahun 2003.
Memang sejak dulu sudah ada bus umum jurusan Pakistan–Tiongkok. Lewat puncak Khyber. Hubungan kedua negara sangat mesra. Sejak dulu.
Tiba di Pakistan, Hongming langsung mengarah ke kota Peshawar. Ganti-ganti bus. Di situlah ia mendatangi konsulat Afghanistan. Minta visa turis. Berhasil. Meski hanya boleh dua minggu.
Dari Peshawar-lah Agustinus memasuki Afghanistan. Langsung menuju Kandahar ”ibu kota” Taliban. Lalu ke Kabul.
Hongming merasakan negeri itu seperti penuh misteri. Masih asli. Seperti belum pernah tersentuh peradaban baru.
Visa habis, Agustinus pun kembali ke Beijing. Menyelesaikan kuliahnya. Begitu lulus ia langsung berangkat ke Afghanistan lagi. Kali ini ia lewat rute yang lebih rumit lagi: Beijing–Tibet–Nepal–India–Pakistan–Afghanistan.
Itu tahun 2006. Ketika India-Pakistan belum tegang lagi. Berarti Hongming menyeberangi perbatasan India-Pakistan di Wagah. Yang setiap sore dilakukan upacara militer yang lucu sekali itu. Yang saya juga tertawa-tawa menyaksikannya.
Kali ini Agustinus berbulan-bulan di Afghanistan. Dengan sangu hanya 300 dolar. Ia menyelami budaya lokal Afghanistan yang mengesankan. Terutama budaya kedai tehnya.
Boleh dikata kedai teh adalah pusat kebudayaan di sana. Agustinus sendiri menikmati budaya kedai teh itu. Di situ rakyat ngobrol tentang apa saja. Termasuk politik.
“Apakah kira-kira sama dengan kultur chaguan di Tiongkok lama?” tanya saya.
“Ya seperti itu. Tapi kedai teh di Afghanistan lebih seru. Siapa pun boleh sampai tertidur di situ,” ujar Hongming.
“Anda juga sampai tertidur?” tanya saya.
“Justru saya selalu tidur di kedai teh seperti itu. Tidak pernah tidur di hotel,” jawabnya.
Agustinus pun memutuskan belajar bahasa Parsi di Afghanistan. Mengapa bukan bahasa Pastun? “Karena bahasa Parsi dipakai lebih luas di kawasan itu. Termasuk di negara sekitar Afghanistan,” katanya.
Di kedai-kedai teh itu pun Agustinus pakai bahasa Parsi. Ternyata umumnya mereka bisa bahasa Parsi. Dan memang Afghanistan adalah wilayah pusat kekaisaran Parsi di masa lalu.
Dari pergaulan sampai di tingkat akar rumput itulah Agustinus tahu betapa sulit hubungan antar suku di sana. Orang Pastun benci orang suku Tajiks. Juga sebaliknya. Demikian juga orang Pastun benci orang Hazaras. Dan sebaliknya.
“Mana yang kurang akurnya lebih berat, Pastun-Tajiks atau Pastun-Hazaras?” tanya saya.
“Pastun-Hazaras,” jawabnya.
Secara fisik orang Pastun dan Tajiks masih mirip: sama-sama tinggi-besar. Orang Hazaras lebih kecil dan pendek. Seperti saya.
“Seperti saya juga,” ujar Hongming. “Saya sering dikira orang Hazaras,” tambahnya.
Tentu Agustinus lebih aman di sana, dibanding orang Hazaras yang Syiah. Agustinus memang bukan Islam tapi juga bukan Kristen, bukan Buddha, bukan Hindu, dan bukan pula Konghucu. “Saya orang bebas,” katanya.
Agustinus sulit percaya Taliban 2.0 akan sebaik yang diucapkan pemimpin mereka seusai menguasai ibu kota Kabul hari Minggu lalu. “Taliban berubah? Terhadap wanita? Belum ada bukti sama sekali,” katanya. “Hubungan antar suku di sana benar-benar sulit,” tambahnya.
Bagaimana dengan bentuk negara Emirat?
“Emirat itu mungkin hanya istilah. Bukan berarti gabungan emir-emir. Tidak ada emir-emir lokal di Afghanistan,” katanya.
“Bukankah ada pemimpin-pemimpin lokal yang sangat ditakuti di setiap gunung di sana?”
“Memang begitu. Tapi mereka bukan emir. Berbeda dengan di Emirat Arab,” katanya.
Bentuk negara Emirat itu, kata Hongming, mungkin hanya karena kepala negaranya akan disebut Emir, Amiril Mukminin –pemimpin kaum beriman.
Memang di masa Taliban 1.0 bentuk negara Afghanistan sudah disebut Emirat. Tapi, waktu itu, jelas bukan sebagai koordinator para emir di daerah. Itu mirip disebut kerajaan karena ada raja. Maka disebut Emirat karena pemimpin negaranya disebut Emir (Amiril Mukminin).
Agustinus masih ke Afghanistan lagi setelah itu. Lama lagi tinggal di sana. Untuk kali yang ketiga. Sampai tahun 2009.
Setelah itu Afghanistan sudah tidak aman lagi. Agustinus pindah jelajah ke negara-negara lain. Termasuk ke Suriname.
Terakhir ini Agustinus ke Papua Nugini. Tulisannya lagi dimuat secara serial di Harian Kompas. Tercapailah cita-cita Agustinus menjadi wartawan. Ia akan terus menjelajah dunia. Ia lupakan ijazah komputernya dari salah satu universitas terbaik tingkat dunia. Ia lupakan bisnis ayahnya –diteruskan oleh sang adik satu-satunya.
Kini Agustinus benar-benar jadi penulis. Hidup dari menulis. Bahagia dari menulis.
Ia begitu asyik menulis. Berjilid-jilid buku sudah ia terbitkan. Sampai pun, di umurnya yang 40 tahun ini, ia tidak punya waktu untuk cari pasangan hidup.
Afghanistan, kelihatannya, adalah cinta sejatinya. (Dahlan Iskan)