Apakah buzzer itu ada?
Ada.
Siapa mereka?
Sudah diketahui.
Itulah hasil penelitian serius yang berlangsung sejak tahun lalu. Yang hasil permulaannya segera terbit di Insight Indonesia.
Penelitian itu dilakukan bertolak dari keprihatinan atas kemerosotan kualitas demokrasi di Indonesia. Yang melakukan penelitian adalah LP3ES.
“Kami bekerja sama dengan Universiteit van Amsterdam (University of Amsterdam), Universiteit Leiden (Leiden University), dan beberapa lembaga lainnya,” ujar Dr Wijayanto, direktur Center for Media and Democracy Lembaga Penelitian Pendidikan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) Jakarta.
Dr Wijayanto
Lembaga itu berulang tahun ke- 50. Kamis kemarin. Peringatannya dirayakan dengan Webinar. Lebih 25 orang jadi pembicara, termasuk para pendirinya yang masih hidup: Nono Anwar Makarim (ayahanda Mendikbudristek Nadiem Makarim) dan Ismet Hadad. Juga alumni LP3ES seperti Menko PMK Prof Muhadjir Effendy serta Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN Dr Sofyan Djalil. Atau juga murid didikan LP3ES seperti saya.
Wijayanto juga menyerahkan buku baru untuk hadiah ulang tahun emas itu. Judulnya: Demokrasi Tanpa Demos. Itu merupakan tulisan 100 ilmuwan terpilih. Termasuk lebih 10 orang Indonesianis dari banyak negara.
Di masa otoriter Orde Baru LP3ES telah jadi lembaga yang kritis. Mereka berhasil ikut melahirkan civil society. Mereka itulah yang kemudian menjadi penggerak reformasi. Terutama lewat majalah bulanan mereka yang menjadi lambang intelektualitas saat itu: Prisma. Di situlah dipublikasikan hasil-hasil penelitian independen LP3ES.
Reformasi ternyata memakan anaknya sendiri: LP3ES kehilangan relevansi pasca reformasi. Lembaga itu lantas kelihatan seperti vakum bertahun-tahun.
Tiga tahun lalu muncul pemikiran baru untuk mengaktifkan kembali LP3ES. Prof Dr Didik J. Rachbini terpilih sebagai pimpinan. Direkrutlah ilmuwan-ilmuwan muda. Salah satunya Wijayanto tadi –saat itu 35 tahun.
Begitu masuk LP3ES, Wijayanto mendirikan center yang dipimpinnya itu. Yang menerbitkan buku tadi. Yang melakukan penelitian tentang buzzer tadi.
Wijayanto orang Demak. Ia alumnus SMAN 2 kota itu. Lalu masuk FISIP di Universitas Diponegoro, Semarang. Ilmu politiknya itu diperdalam di Amerika Serikat. Yakni di University of Wyoming. Sampai lulus S2 bidang media dan politik.
Dari Amerika Wijayanto masuk S3 di Universitas Leiden, Belanda. Penelitiannya dilakukan di Indonesia. Disertasinya tentang media: Hubungan Harian Kompas dengan Pemerintah. Sejak Kompas dilahirkan di tahun 1965 sampai 2015.
Pun sampai sekarang Wijayanto masih mengamati Kompas. Ia memang doktor yang terus mendalami persoalan media dan politik.
Kompas, kata Wijayanto, pernah menulis berita utama berjudul: Pilkada Tidak Langsung Akan Jadi Warisan Buruk SBY.
Waktu itu pemerintahan SBY memang lagi mengajukan RUU baru: agar Pilkada tidak perlu lagi secara langsung. Cukup kembali lewat DPRD.
SBY, kata Wijayanto, merenungkan berita utama Kompas itu. Lalu membatalkan RUU tersebut. Semua itu ia ketahui lewat wawancara orang-orang dekat SBY.
Tahun lalu, kata Wijayanto, Kompas juga memuat berita utama dengan judul mirip itu: Revisi UU KPK Akan Jadi Warisan Buruk Jokowi.
Hasilnya: UU KPK tetap saja direvisi.
Di media saat ini, kata Wijayanto telah terjadi “manipulasi opini publik”. Hasil nyata dari manipulasi opini publik itu salah satunya revisi UU KPK tersebut. Termasuk lewat penciptaan tagar #KPKdanTaliban. Itu untuk menggambarkan citra buatan bahwa di dalam KPK penuh dengan ekstremis.
Opini publik, kata Wijayanto, begitu terpengaruh. Ketika Kompas melakukan jajak pendapat, hasilnya mengejutkan: yang setuju revisi 44,9 persen. Sedang yang mempertahankan UU KPK hanya 39,9 persen.
LP3ES telah melakukan penelitian mendalam soal itu. Termasuk melakukan SNA –sosial network analisis.
Dalam ”organisasi” buzzer, kata Wijayanto, ada yang disebut front liner, koordinator, dan tangan kanan politikus. “Kami sampai mengetahui siapa mereka,” ujar Wijayanto.
Di barisan front liner, katanya, terdiri dari berbagai bidang. Ada yang tugasnya menciptakan meme, grafik, narasi kata-kata, mem-posting, dan memperbanyak. Mereka ini umumnya orang yang direkrut lewat bayaran antara Rp 2 juta sampai Rp 3 juta per bulan. Atau ratusan ribu rupiah per minggu.
Di atas mereka adalah koordinator. Tapi para front liner itu tidak tahu siapa nama koordinator mereka.
“Di atas koordinator itu belum langsung si politikus. Tapi tangan kanan politikus,” ujar Wijayanto. “Akhirnya kami tahu tagar apa arahnya ke politikus dari mana,” tambahnya.
Di luar itu ada yang disebut influencer. “Buzzer pasti tidak pakai nama asli. Kalau influencer menggunakan nama asli,” ujar Wijayanto.
Influencer itu mainnya halus. Buzzer-lah yang memanfaatkannya habis-habisan. Bisa jadi antara influencer dengan buzzer tidak ada hubungan sama sekali.
Misalnya ketika ramai KLB Partai Demokrat. “Pak Mahfud pernah bilang, Pak SBY kan juga melakukan hal yang sama ketika Muhaimin mengambil alih PKB dari Gus Dur,” ujar Wijayanto. “Lalu buzzer memanfaatkan ucapan itu dengan menciptakan #SbyKenaKarma,” katanya.
Tapi mengapa kualitas demokrasi menurun?
Uh. Terlalu berat untuk terus dibaca hari ini. Besok saja. Lebih enak nonton dulu siaran langsung akad nikahnya Lesti. Atau perceraiannya Luna Maya. (Dahlan Iskan)