RADARBEKASI.ID, AFGHANISTAN-Negin Khpalwak sedang duduk di rumahnya di Kabul ketika mendengar kabar bahwa Taliban telah tiba di pinggiran ibu kota Afghanistan itu. Konduktor musik berusia 24 tahun yang pernah menjadi ikon orkestra perempuan Afghanistan itu langsung panik.
Para anggota orkestra Zohra sebelumnya mengisahkan bagaimana mereka harus menyembunyikan peralatan musik dari keluarga mereka yang kolot, dicaci maki dan diancam dengan pukulan. Bahkan ada penentangan dari kalangan muda Afghanistan.
Khpalwak ingat sebuah kejadian di Kabul ketika sekelompok anak laki-laki berdiri mengawasi pertunjukan mereka. Ketika membereskan alat-alat musiknya, dia mendengar mereka saling bicara, “sungguh memalukan, gadis-gadis ini bermain musik”, “bagaimana bisa keluarga mengizinkan mereka?”, “anak perempuan harusnya di rumah”.
Hidup di bawah kekuasaan Taliban bisa menjadi lebih buruk daripada ucapan yang menghina, kata Nazira Wali, seorang mantan pemain cello Zohra berusia 21 tahun. Wali, yang sedang belajar di AS ketika Taliban merebut Kabul, mengatakan dirinya melakukan kontak dengan anggota orkestra di negaranya yang takut jika ditemukan.
Mereka menghancurkan alat musik dan menghapus profil mereka dari media sosial. “Hati saya bergetar membayangkan mereka, sebab kini Taliban berada di sana dan kita tak bisa menduga apa yang akan terjadi pada mereka nanti,” katanya. “Jika mereka masih seperti dulu, tak akan ada lagi musik di Afghanistan,” imbuhnya.
Khpalwak berhasil melarikan diri dari Kabul beberapa hari setelah Taliban datang, menumpang penerbangan evakuasi bersama sekelompok jurnalis perempuan Afghanistan. Puluhan ribu orang memenuhi bandara Kabul untuk pergi dari negara itu, menyerbu landasan pacu. Di beberapa kasus, ada yang bergantungan pada bagian pesawat yang tinggal landas. Sejumlah orang tewas dalam kekacauan itu.
Khpalwak masih terlalu muda untuk mengingat kehidupan di bawah aturan Taliban ketika berkuasa dulu, namun datang ke ibu kota untuk bersekolah sewaktu kecil masih tertanam dalam ingatannya. “Yang saya ingat adalah reruntuhan, rumah roboh, lubang bekas tembakan di tembok. Itulah yang saya ingat. Dan itulah gambaran yang ada di pikiran saya ketika mendengar nama Taliban,” kata dia.
Di sekolah musik itu dia menemukan pelipur lara. Di antara para anggota orkestra Zohra, mereka lebih dekat daripada keluarga. “Tak pernah sehari pun menjadi hari buruk di sana, karena selalu ada musik, penuh dengan warna dan suara merdu. Tapi kini hanya ada kesunyian. Tak ada lagi sesuatu terjadi di sana,” ratapnya. (jpc)