Berita Bekasi Nomor Satu
Bekasi  

Perizinan Belum Lengkap

REKLAMASI KAWASAN INDUSTRI : Pembangunan gudang di atas tanah reklamasi di Kawasan Industri Marunda Center Tarumajaya Kabupaten Bekasi, Rabu (15/9). Pemerintah Kabupaten Bekasi dan Provinsi Jawa Barat menghentikan paksa proses reklamasi tersebut, karena belum melengkapi perizinan. ARIESANT/RADAR BEKASI

RADARBEKASI.ID, TARUMAJAYA – Pemerintah Kabupaten Bekasi bersama Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Barat menghentikan paksa aktivitas reklamasi di Pantai Muara Tawar, Desa Pantai Makmur dan Desa Segara Makmur Kecamatan Tarumajaya, Rabu (15/9). Proyek seluas 50 hektar itu disetop karena pengembang belum mengantongi izin yang disyaratkan.

Penjabat Bupati Bekasi, Dani Ramdan mengatakan, secara kewenangan Dinas Lingkungan Hidup Jawa Barat telah memberikan izin lingkungan. Namui, karena kegiatan ini terkait fungsi transportasi pelabuhan, maka harusnya ditempuh perizinan ke Kementerian Perhubungan. Sementara ini, pihak pengembang belum mendapatkan izin tersebut.

“Jadi ini yang belum tuntas. Namun kegiatan tetap berjalan, atas dasar itu maka DLH mengeluarkan Keputusan Gubernur (Kepgub) yang ditanda tangani oleh kepala dinas sesuai kewenangannya untuk menghentikan sementara secara paksa, sampai seluruh perizinan teknisnya terpenuhi,” ujarnya kepada Radar Bekasi usai melakukan penghentian.

Penghentian paksa ini berdasarkan Keputusan Gubernur Jawa Barat nomor 4.780/Kep.Gub/HL.01/DLH tentang Sanksi Administrasi Paksaan Pemerintah Kepada PT Tegar Primajaya. Dalam putusan itu disebutkan bahwa revitalisasi lahan terabrasi seluas 50 hektar yang dilakukan PT Tegar Primajaya tidak dilengkapi dengan perizinan berdasarkan peraturan terkait.

Pantauan Radar Bekasi di lokasi, Penjabat Bupati bersama Forkopimda dan Dinas Lingkungan Hidup Jawa Barat, serta Bidang Kelautan pada Dinas Perikanan dan Kelautan Jawa Barat, datang ke lokasi secara berbarengan. Sesampainya dilokasi, Pj langsung mendatangi pihak pengembang, dan meminta aktivitas reklamasi dihentikan.

Kemudian, DLH Jawa Barat meminta dua alat yang sedang melakukan pengurugan reklamasi diminta berhenti dan pergi dari lokasi pengerjaan yang sudah berjalan 30 persen ini.

Tidak hanya itu, pemberhentian paksa aktivitas reklamasi ini juga ditandai dengan adanya pemasangan spanduk bertuliskan, “Area ini dalam pengawasan terhadap ketaatan peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup.

Barang siapa yang sengaja memutus, membuang atau merusak penyegelan suatu benda oleh atau atas nama penguasa umum yang berwenang atau dengan cara lain menggagalkan penutupan dengan segel diancam dengan pidana penjara paling lama 2 tahun 8 bulan (pasal 232 ayat 1 KUHP)”.

Dani menegaskan, jika pihak pengembang memaksakan untuk menjalankan aktivitas reklamasi kembali, tanpa memenuhi seluruh persyaratan perizinan, sama saja melakukan pelanggaran pidana. Oleh karena itu, dirinya menugaskan masyarakat, desa, maupun camat, untuk membantu mengawasi.

“Ya nanti bisa pidana kalau misalkan setelah dihentikan masih ada kegiatan. Kalau ada kegiatan sedikit saja pasti sampai ke kita,” tuturnya.

Perihal keresahan nelayan terhadap reklamasi ini, dirinya meminta untuk diselesaikan bagaimana berkomunikasi dengan nelayan. “Carikan solusinya agar nelayan tidak dirugikan dengan kegiatan ini. Itu harus menjadi bagian dari penyelesaian masalah ini,” ungkapnya.

Menurutnya, peruntuhan tanah ini untuk mendukung kegiatan pelabuhan. “Peruntuhan tanah ini untuk mendukung kegiatan pelabuhan, khusus kawasan dan perekonomian di Kabupaten Bekasi dan sekitarnya,” ucapnya.

Kepala Bidang Penaatan Hukum DLH Jawa Barat, Arif Budiyanto menuturkan, lokasi reklamasi ini izinnya hanya dari sisi lingkungan saja, yang diajukan ke DLH Jawa Barat pada 2019 lalu. Maka dari itu harus ditindak lanjuti dengan izin-izin yang lain.”Jadi kalau izinnya lingkungan, tiba-tiba ngebangun itu tidak bisa. Harus ada izin-izin lainnya,” tuturnya.

Menurutnya, izin lingkungan itu bukan izin teknis. Artinya, masih izin yang bersifat dari sisi perencanaan umum di bidang lingkungan, sehingga harus ditindak lanjuti dengan izin-izin yang lain. Dalam perizinan lingkungan itu diakuinya, harus ada komitmen dari perusahaan terkait Analisis Mengenai dampak lingkungan (Amdal), ukl/upl dan komitmen lainnya untuk ditindaklanjuti.

Setelah dilakukan penghentian paksa ini, dirinya menjelaskan pihak pengembang wajib melaporkan setiap 45 hari. Kemudian nanti akan melakukan cek close, pengawas lingkungan hidup akan turun kembali, untuk melihat progresnya. Artinya, yang sudah dilakukan terhadap izin-izin tersebut, apabila dalam jangka waktu 90 hari tidak bisa lakukan, tanpa ada alasan khusus, berarti akan dilakukan peningkatan status.

“Kalau dalam jangka waktu 90 hari mereka tidak bisa melakukan, tanpa ada alasan khusus untuk memperpanjang, berarti kita lakukan peningkatan status, kita bekukan izinnya. Kalau masih bandel juga kita cabut izinnya,” tukasnya.

Sementara itu, Kepala Bidang Kelautan pada Dinas Perikanan dan Kelautan Jawa Barat, Diah Ayu menambahkan izin yang diajukan untuk aktivitas pelabuhan juga ditujukan ke Kementerian Perikanan dan Kelautan. Tetapi untuk aktivitas reklamasi adanya di DLH, dan itu belum ada izinnya sehingga harus diselesaikan.

“Berkaitan dengan izin pelabuhan, perusahaan juga wajib Mengajukan Amdal, Rehabilitasi lingkungan, dan rencana kerjanya seperti apa dalam pelabuhan tersebut,” tuturnya.

Menyikapi itu, Perwakilan nelayan Pantai Makmur, Samsur mengungkapkan apabila reklamasi itu diperuntuhkan untuk pelabuhan, otomatis harus membuat alur baru. Dampaknya, semua nelayan terancam akan kehilangan mata pencarian. “Kalau memang untuk pelabuhan semua nelayan Muara Tawar terancam kehilangan mata pencarian,” ungkapnya.

Untuk sekarang saja, dirinya membeberkan penghasilan nelayan menurun drastis dengan adanya reklamasi ini. Menurutnya, di Muara Tawar ini ada macam-macam nelayan. Seperti nelayan gogoh udang rajungan, serog, jaring, dan ada juga nelayan pencari cacing untuk umpan mancing.

“Sebelum reklamasi penghasilan nelayan minimal Rp200 ribu. Setelah adanya reklamasi penghasilan menurun drastis, maksimal perhari Rp100 ribu,” tuturnya.

Sementara itu, tidak ada satu pun pihak pengembang yang mau memberikan keterangan. Bahkan sempat terjadi kericuhan ketika petugas keamanan proyek melarang wartawan meliput ke lokasi. (pra)