RADARBEKASI.ID, JAKARTA – Jangankan menahan, hingga saat ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belum juga berhasil memeriksa tersangka dugaan kasus korupsi e-KTP Paulus Tannos. Gara-garanya, Direktur Utama PT Sandipala Arthaputra itu diduga berada di Singapura.
Hal ini diakui Wakil Ketua KPK Alexander Marwata. “Kami beberapa kali mengirimkan surat panggilan kepada yang bersangkutan. Saya tidak tahu apakah sudah ada balasan, nanti akan kami periksa,” kata Alexander Marwata di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (30/9) malam.
Menurut dia, jika dalam perkembangannya lembaga antirasuah itu tidak bisa memeriksa Paulus Tannos, maka KPK akan meminta bantuan Biro Penyelidikan Praktik Korupsi (Corrupt Practices Investigation Bureau/CPIB) Singapura. Tujuannya, KPK berharap bisa difasilitasi untuk memeriksa Paulus Tannos.
“Karena yang bersangkutan masih di Singapura, tentu kami akan minta bantuan CPIB supaya difasilitasi untuk dilakukan pemeriksaaan. Kami sudah beberapa kali berkoordinasi dengan CPIB untuk melakukan saksi maupun yang menjadi tersangka kami periksa di Kantor CPIB. Itu yang kami lakukan terkait dengan perkembangan perkara e-KTP,” papar dia.
Selain faktor keberadaan di Singapura, pandemi COVID-19 juga menjadi penambah kesulitan KPK memeriksa Paulus Tannos.
“Karena pandemic, penyidik KPK juga belum bisa masuk ke Singapura. Mudah-mudahan kalau sudah ada tanggapan dari Paulus Tannos untuk diperiksa di mana gitu kan, nanti segera kami tindak lanjuti,” katanya.
“Kalau dia maunya diperiksa di CPIB, ya tentu kami ke sana. Apa tidak bisa dilakukan upaya paksa penahanan? Tentu kita tidak punya perjanjian ekstradisi kan dengan Pemerintah Singapura, itu yang terjadi,” kata Alex.
KPK terakhir kali memanggil Paulus Tannos pada Jumat (24/9) lalu. Saat itu, ia dipanggil dalam kapasitas sebagai tersangka.
Diketahui, Paulus Tannos bersama tiga orang lainnya pada 13 Agustus 2019 telah diumumkan sebagai tersangka baru dalam pengembangan kasus korupsi e-KTP.
Tiga tersangka lain itu adalah mantan Direktur Utama Perum Percetakan Negara RI (PNRI) Isnu Edhi Wijaya (ISE), Anggota DPR RI 2014-2019 Miriam S Hariyani (MSH), dan mantan Ketua Tim Teknis Teknologi Informasi Penerapan KTP-el Husni Fahmi (HF).
Empat orang itu disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Dalam konstruksi perkara, KPK menjelaskan bahwa ketika proyek KTP-el dimulai pada 2011, tersangka Paulus Tannos diduga telah melakukan beberapa pertemuan dengan pihak-pihak vendor dan tersangka Husni dan Isnu di sebuah ruko di kawasan Fatmawati, Jakarta Selatan. Padahal Husni dalam hal ini adalah ketua tim teknis dan juga panitia lelang.
Pertemuan-pertemuan tersebut berlangsung kurang lebih selama 10 bulan dan menghasilkan beberapa output diantaranya adalah SOP pelaksanaan kerja, struktur organisasi pelaksana kerja, dan spesifikasi teknis yang kemudian dijadikan dasar untuk penyusunan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) di mana pada 11 Februari 2011 ditetapkan oleh Sugiharto selaku PPK Kemendagri.
Tersangka Paulus Tannos juga diduga melakukan pertemuan Andi Agustinus, Johannes Marliem, dan tersangka Isnu untuk membahas pemenangan konsorsium PNRI dan menyepakati “fee” sebesar lima persen sekaligus skema pembagian beban “fee” yang akan diberikan kepada beberapa anggota DPR RI dan pejabat pada Kemendagri.
Sebagaimana telah muncul di fakta persidangan dan pertimbangan hakim dalam perkara dengan terdakwa Setya Novanto, PT Sandipala Arthaputra diduga diperkaya Rp145,85 miliar terkait proyek e-KTP tersebut.(wsa)