Hampir saja saya tidak sempat menulis untuk edisi hari ini. Begitu sulit cari waktu menulis.
Kemarin, sebenarnya saya sudah terbangun jam 02.00 dinihari. Ternyata ada beberapa email penting yang harus saya balas dini hari itu: dari Shanghai, dari Singapura, dan Amerika.
Lalu saya harus tahu apa keputusan dewan juri dalam perkara Ahmaud Arbery di Georgia itu.
Saya pun membaca media-media Amerika: ternyata tiga orang kulit putih yang jadi terdakwa pembunuhan seorang kulit hitam itu dinyatakan bersalah.
Bukan dibebaskan seperti remaja kulit putih yang menembak mati dua orang kulit hitam di Wisconsin lima hari sebelumnya itu.
Padahal masyarakat kulit hitam telanjur pesimistis. Apalagi dari 12 juri di perkara itu hanya seorang yang kulit hitam.
Akhirnya saya tidak sempat menulis ide awal: tentang kisah wakil bupati yang insyaf dari dunia politik.
Setelah subuh saya harus menuju tempat senam dansa. Biar kurang tidur harus tetap olahraga.
Habis senam dansa saya sudah ditunggu istri: harus berangkat ke Blitar. Harus mampir Kediri pula.
Begitu sampai Blitar grup senam-dansa kami sudah menunggu di makam Bung Karno.
Sudah lebih 20 tahun saya tidak ke makam proklamator itu. Ternyata sudah berubah total. Menjadi sangat bagus. Terutama sejak Ibu Megawati menjadi Presiden Indonesia.
Kampung sebelah makam itu sudah dibebaskan. Menjadi plasa, museum, dan perpustakaan Bung Karno.
Toilet yang di dekat makam itu juga sudah jadi guest house dua kamar. Khusus untuk keluarga Bung Karno. Agar memudahkan mereka untuk ziarah dan semedi di tengah malam sekali pun.
Dulu saya selalu membanggakan toilet umum di dekat makam itu: sistem airnya bagus sekali. Toilet itu serba alumunium: anti lumut dan anti genangan. Kini toiletnya pindah ke sebelah gapura –toilet yang biasa-biasa saja.
Makam Bung Karno yang sekarang ini sudah tergolong layak bagi seorang presiden yang juga proklamator. Bagus. Gagah. Terhormat. Elegan.
Sudah berbeda dengan awalnya dulu.
Saya sudah ke museum banyak presiden Amerika. Makam Bung Karno ini tidak kalah. Hanya saja terlalu banyak spanduk dan banner di sini. Kesannya semrawut. Apalagi di banner-banner itu ada foto tokoh. Kesannya bisa mengurangi fokus ke Bung Karno. Di zaman digital ini spanduk dan banner ternyata masih penting.
Setelah tahlil di makam Bung Karno, kami mampir ke Istana Gebang. Tempat lahir Bung Karno. Saya sering ke situ. Duluuuuu. Ketika saya masih berstatus reporter. Waktu itu belum disebut istana. Hanya disebut rumah Bu Wardoyo.
Rumah ini juga sudah berubah. Sebelah rumah Istana ini sudah dibebaskan. Menjadi tempat parkir yang lapang.
Saya tidak sempat masuk Istana Gebang. Tidak cukup waktu. Janji ketemu seorang pengusaha cengkeh dan durian sudah mepet. Saya pun ke arah timur Blitar. Ke rumah pengusaha itu.
Lalu mampir lagi ke rumah pengusaha muda yang lagi bangkit dari kesulitan besar. Umurnya baru 29 tahun. Pengalaman terpuruknya sudah begitu dalam. Lalu bisa bangkit: memproduksi pasir kucing. Yakni pasir buatan, yang cocok untuk tempat kucing: agar air kencing kucing piaraan tidak berceceran. Menyatu dengan pasir. Saya pun meninjau pabriknya.
Tidak terlalu lama di situ. Saya sudah ditunggu di suatu desa lebih ke timur lagi: Desa Cokelat. Saya harus ceritakan desa ini -entah kapan. Saya salut dengan terobosan di desa ini. Juga salut pada pemilik idenya. Saya dibawa keliling “desa” itu. Sampai jam 15.30. Itulah saatnya acara senam dansa dimulai.
Di desa cokelat itu. Rombongan senam kami dari Surabaya pun sudah berjajar rapi. Hampir 100 orang. Tinggal menunggu saya.
Seru. Semangat. Berkeringat. Berarti sehari kemarin itu saya menjalani senam dua kali: pagi di Surabaya, sore di Blitar.
Dengan keringat yang masih mengalir saya harus berdialog dengan sekitar 30 pengusaha kecil se-Blitar di desa itu. Saya tidak mau ceramah. Saya hanya mau dialog. Mereka lebih pinter dari saya: lebih tahu dunia nyata di lapisan bawah.
Benar saja. Enam orang yang saya minta naik panggung ternyata tergolong pengusaha kecil yang tangguh. Mereka bisa bercerita bagaimana harus eksis di tengah pandemi. Bagaimana harus bangkit setelah ditipu orang. Bagaimana harus cari akal ketika perijinan yang dia hadapi begitu sulit.
Maghrib pun tiba. Hujan mulai turun. Saya harus segera menuju desa lain: 20 Km dari Kampung Cokelat: berdialog dengan guru-guru madrasah.
Dalam perjalanan 20 Km itulah naskah ini saya tulis. Seadanya. Kalau tidak layak dibaca, ya, jangan dibaca. Tidak ada lagi waktu menulis. Setelah dialog dengan guru-guru itu pun saya masih dijadwalkan ke desa lain lagi: untuk hadir di Lailatul Ijtima’ di situ. Yang diadakan oleh pengurus ranting Nahdlatul Ulama desa itu.
“Yang di atas biar saja ramai bertempur di Muktamar NU. Yang di ranting harus tetap membumikan NU,” ujar pengurus ranting itu.
Akhirnya perjalanan 20 Km ini selesai. Saya tiba di tempat dialog dengan guru. Maka saya akhiri tulisan ini. Di sini.
Tidak ada lagi waktu menambahkannya nanti. Admin Disway sudah memberi peringatan: jangan sampai tulisan telat. Terutama juga karena akan terbit di edisi cetak.
Kalau pun menunggu sampai jam 22.00 juga tidak bisa. Saya masih ada acara lain lagi.
Inilah tipikal weekend saya: antara perjalanan dan durian.(Dahlan Iskan)