SAYA lupa kalau hari ini ulang tahun Disway. Saya baru ingat ketika hari sudah senja kemarin: ketika mendapat kiriman artikel mas Joko Intarto: Nostalgia Disway.
Ups, saya telanjur menulis tentang pupuk. Sudah setengah jalan. Maka biarlah, tulisan ”bidan” Disway itu saja yang dipakai untuk menandai ulang tahun kali ini.
Mas Joko tidak hanya “bidan” Disway. Ia juga bidan harian Radar Sulteng di Palu: ketika ia masih perjaka 24 tahun.
Ia juga bidan untuk bisnisnya sendiri: Jagaters. Perusahaan penyelenggara webinar. Yang kini terbesar di Indonesia. Yang awalnya, selama tiga tahun, tertatih-tatih.
Lalu Jagaters booming. Itu bersamaan dengan masuknya pandemi ke Indonesia: semua kegiatan harus online.
Saya beberapa kali meninjau perusahaannya yang sangat maju. Tapi, lain kali saja saya menulis tentang “Sang Bidan”.
Kali ini biarlah artikel yang telanjur ditulis ini yang terbit.
Saya pun sudah lupa: berapa umur subsidi pupuk itu. Saya buka artikel Prof Dwi Andreas Santoso dari IPB: sudah 53 tahun!
Itulah jenis subsidi yang paling panjang umurnya dalam sejarah kita. Kalau ada yang punya ide menghapusnya pasti Bharatayuddha! Jangankan menghilangkannya, usaha menguranginya pun bisa babak belur. Jangankan sekadar memotong, merasionalkan pun ribut.
Petani pasti diuntungkan dengan subsidi pupuk itu. Tapi sebenarnya ada pihak lain yang lebih menikmati keuntungannya: Anda sudah tahu siapa. Anda bisa bilang: sudah rezekinya mereka.
Pemerintahan yang sekarang ini termasuk pemberani: berani memasuki wilayah sensitif ini.
Empat tahun lalu, petani pemilik sawah di atas 2 hektare tidak bisa lagi mendapat pupuk bersubsidi. Memiliki sawah lebih 2 hektare pastilah bukan miskin.
Heboh.
Pemerintah tidak mundur. Subsidi itu untuk orang miskin.
Kini tidak ada lagi yang menghebohkannya.
Lantas pemerintah mengubah sistem subsidi: by name, by address. Penerima subsidinya jelas: siapa, di mana, luasan tanahnya berapa, perlu pupuk apa saja, berapa jumlahnya.
Menurut pendapat saya, inilah perubahan paling mendasar dalam sistem pemberian subsidi ke petani.
Juga heboh.
Pemerintah bergeming. Sudah tiga tahun ini sistem tersebut berjalan. Kian baik.
Itu bisa terjadi karena melibatkan teknologi tabulasi di komputer. Tanpa komputer tak mungkin terlaksana. Dari situ diterbitkanlah kartu pupuk. Tiap petani punya kartu: berisi kuota pupuk bersubsidi.
Seharusnya kartu itu selalu disimpan di dompet petani. Tapi petani pilih menaruhnya di kios, milik agen pupuk. Password-nya pun ditulis di kartu itu. “Daripada kartunya hilang, dan password-nya lupa,” ujar mereka.
Akibat perubahan sistem itu, petani sudah harus memasukkan permintaan jatah pupuknya setahun sebelumnya. Dari situ diketahui: berapa ton pupuk bersubsidi tahun depan. Pemerintah lantas menyiapkannya.
Sistem ini akhirnya berjalan lancar. Tidak ada lagi kegaduhan.
Ups… Masih ada.
Pembaca Disway, seminggu terakhir, terus mendesak agar saya menulis ini: terjadinya kelangkaan pupuk Sp36 dan ZA. Sampai saya lupa ulang tahun.
Ternyata benar. Pupuk jenis Sp36 dan ZA sulit didapat. Di tingkat petani. Khususnya yang bersubsidi.
Saya baru bisa menduga: pemerintah sengaja mengeremnya.
Belakangan ini biaya produksi pupuk memang naik drastis. Harga pupuk di seluruh dunia melonjak tajam. Terutama pupuk yang bahan dasarnya gas bumi.
Itu terkait dengan harga gas dunia yang tidak pernah berhenti mengejar harga minyak mentah. Harga gas sekarang ini di sekitar USD 12. Naik dari sekitar USD 6.
Kalau distribusi pupuk bersubsidi tidak dikendalikan, nilai subsidi akan membengkak.
Tapi pemerintah tidak mungkin mengurangi jatah pupuk NPK dan urea. Juga organik. Maka yang harus dikurangi adalah Sp36 dan ZA.
Apakah itu tidak membahayakan pertanian kita? Bisa menurunkan produksi beras kita secara nasional?
Kelihatannya tidak.
Kandungan Sp36 dan ZA sudah tercakup di NPK, urea, dan organik. Khususnya untuk penanaman padi. Sp36 dan ZA memang diperlukan sebagai tambahan: khususnya untuk jenis tanah yang PH-nya tinggi. Itu tidak banyak.
Persoalannya: petani sudah terbiasa menggunakan semua itu. Mereka kurang pede tanpa Sp36 dan ZA.
Padahal sebenarnya tidak terlalu ada hubungannya dengan pertumbuhan padi maupun pembuahannya.
Mungkin sosialisasinya yang kurang berhasil.
Di masa lalu, memang terjadi jor-joran‘ penggunaan pupuk. Penggunaan pupuk di Indonesia termasuk tinggi di dunia: 100 ton/hektare. Per tahun.
Sekitar 70 persen pupuk itu ”hilang” menguap. Yang diserap tanaman hanya sekitar 30 persennya. Itu karena teknik pemupukan kita masih lama: disebar-sebarkan.
Begitu banyak perubahan yang sudah dilakukan. Tapi masih begitu jauh untuk mencapai tahap modern.
Selamat ulang tahun pembaca Disway! Selamat ulang tahun, ulang tahun, ulang tahun, ulang tahun, kepada pembaca Disway sejak 4 tahun lalu. (Dahlan Iskan)