Berita Bekasi Nomor Satu
Bekasi  

Tantangan Islam Wasathiyah Di Indonesia

Dr. Ekawati, MA

RADARBEKASI.ID, BEKASI – Muslim moderat adalah mereka yang hidup dan bekerja “dalam” masyarakat, mengusahakan perubahan dari bawah, menolak ekstremisme agama, dan menganggap kekerasan dan terorisme sebagai sesuatu yang haram. Sering kali, dalam cara yang beragam, mereka menafsirkan dan menafsirkan ulang Islam guna merespon secara lebih efektif realitas-realitas agama, sosial dan politik dalam masyarakat dan dalam urusan internasional.

Ekstrimisme dalam Beragama
Ada bahaya besar yang menghadang umat Islam, jika dakwah gagal untuk mengangkat standar pengetahun Islam penerimanya, khususnya kaum muda. Bahaya tak terelakkan berupa muncul dan tersebarnya ekstremisme agama akan segera menjadi nyata. Ekstremisme (qulluw) secara empatik membahayakan atau bahkan bertentangan dengan Islam.

Indikasi pertama ekstremisme adalah fanatisme dan sikap tidak toleran. Ekstremisme tampak pada orang yang menolak untuk mengubah pendapatnya dan berpegang teguh pada prasangka serta kekakuan. Ini membuat dirinya tidak bisa melihat kepentingan orang lain dan tujuan syariat. Orang yang demikian, yang bukan hanya mengklaim bahwa dia benar tapi juga seenaknya mengatakan orang lain salah dan bodoh.
Persoalan ini menjadi lebih kritis dan mengejutkan lagi ketika orang itu mengembangkan kecenderungan untuk menuduh orang lain sebagai bid’ah, kufur, dan sesat.

Tak perlu dikatakan lagi bahwa salah satu penyebab utama ekstremisme adalah kurangnya pengetahuan dan wawasan tentang tujuan, semangat dan esensi din (ajaran Islam). Abu Ishaq Al-Syatibi secara tetap menyinggung dalam bukunya Al-I’tisam, “Kurangnya pengetahuan agama dan kesombongan adalah akar-akar bid’ah serta perpecahan umat, dan pada akhirnya dapat menggiring ke arah perselisihan internal dan perpecahan perlahan-lahan.”

Untuk mencegah ekstremisme seperti itu, dan untuk menanamkan keseimbangan dalam beragama, penerimaan dan toleransi dalam umat Islam, hal utama yang diperlukan adalah keefektifan dakwah kepada kaum Muslim sendiri. Karena bagaimana mungkin kita bisa mengajak orang lain untuk mengikuti ideal-ideal Islam seperti tasamuh (toleransi), tawassuth (moderasi), dan ‘adl (keadilan), jika kita sendiri gagal memperlihatkan nilai-nilai tersebut dalam hubungan internal kita.

Persoalan dasar dakwah Islam yang hanya berorientasi dogmatis
Sejujurnya, kebanyakan dai kita lebih menekankan penjagaan dan pertahanan dari bentuk-bentuk dogma agama tertentu atau mazhab pemikiran tertentu ketimbang upaya untuk menghidupkan keimanan sejati dan jalan hidup Islami yang sepenuhnya. Dengan melakukan itu, dai secara tidak sadar menjadi bagian dari mesin yang memperkuat akar-akar faksionalisme sektarian yang tidak melayani tujuan utama dakwah itu sendiri. Kesatuan umat harus selalu menjadi perhatian utama kita jika kita ingin menarik orang lain ke arah ideal Islam.

Persoalan lain yang sering menghampiri kerja dakwah adalah kurangnya pemahaman akan pandangan dunia para penerima dakwah. Dakwah yang efektif membutuhkan pendekatan yang berubah-ubah dan metodologi yang sesuai dengan sejarah dan budaya komunitas sasaran. Dengan kata lain, pesan Islam perlu dirancang sesuai untuk masing-masing kelompok orang. Perancangan khusus ini tidak berarti merendahkan pesan Islam.

Memahami arus mendasar dalam masyarakat tertentu merupakan modal dalam mengomunikasikan pesan-pesan Islam. Sering kali kurangnya atau tidak memadainya informasi tentang penerima dakwah membuat kerja dakwah menjadi tidak memuaskan. Kisah sukses para dai-awal bermula dari kebijakan mereka untuk tidak menghancurkan kebudayaan asli dan menggantikannya dengan kebudayaan Arab. Hal ini karena keragaman budaya merupakan salah satu kekuatan dasar Islam. Para dai-awal tidak hanya menghormati kebudayaan lain tetapi juga mencari cara untuk memperkuatnya. Adalah jelas bahwa penyebaran Islam di Asia Tenggara, misalnya, disebabkan oleh kemampuan para dai untuk menghormati norma-norma budaya lokal selama budaya tersebut tidak bertentangan dengan ajaran dasar Islam. Oleh karena itu, adalah penting bagi para dai Islam yang baru untuk belajar dari sejarah para pendahulu mereka yang mendasarkan dakwah mereka pada titik persamaan ketimbang perbedaan.

Salah satu dimensi dakwah yang banyak terabaikan adalah pengembangan masyarakat. Umat Islam masa kini telah berjumlah lebih dari satu miliar orang yang diharapkan akan berlipat tiga dalam tiga dekade mendatang. Banyak bagian dari dunia Muslim terdapat di wilayah yang tertinggal secara teknologi. Mereka membutuhkan kerja sama mendesak untuk membantu di bidang pengembangan masyarakat. Pembangunan seperti itu mencakup dan tidak terbatas pada lapangan kerja bagi kalangan muda berpendidikan, keterampilan yang tidak bisa dikaryakan, kemiskinan, buta huruf, rendahnya tingkat kesehatan, rendahnya kualitas fasilitas sanitasi, sumber daya alam yang tidak dilestarikan, penyalahgunaan obat, korupsi, dan lain-lain. Untuk menanggulangi masalah- masalah ini, kerja dakwah menjadi wajib. Negara-negara Islam harus bekerja sama dengan berbagai organisasi Islam untuk membentuk masa depan pendidikan dan pembangunan umat Islam. Lagi pula, tujuan akhir dakwah adalah kesejahteraan umat manusia di bumi dan di kemudian hari.(*)