Berita Bekasi Nomor Satu
Bekasi  

Pencairan JHT Nunggu Tua

ILUSTRASI: Petugas keamanan berjaga di depan pintu masuk kantor BPJS Ketenagakerjaan (BPJAMSOSTEK) di Jalan Pramuka Kelurahan Marga Jaya Kecamatan Bekasi Selatan Kota Bekasi, Kamis (9/7/2022). EKO ISKANDAR/RADAR BEKASI

RADARBEKASI.ID, BEKASI – Pekerja yang akan mencairkan Jaminan Hari Tua (JHT) BPJS Ketenagakerjaan, kini harus menunggu usia 56 tahun. Hal ini setelah keluarnya Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) nomor 02 tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran JHT.Masyarakat pekerja di Bekasi menolak aturan tersebut karena dinilai sesuai dengan Undang-undang (UU) nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).

Permenaker kedua yang dikeluarkan pada tahun 2022 ini mencabut Permenaker nomor 19 tahun 2015. Ada beberapa perbedaan mendasar, yang pertama adalah usia pencairan atau pembayaran manfaat JHT bagi peserta yang telah memasuki masa pensiun, mengundurkan diri dari pekerjaan, dan menjadi korban Pemberhentian Hubungan Kerja (PHK).

Perbedaan yang pertama ini mendapat sorotan paling tajam. Permenaker 19 mengatur manfaat JHT bisa dibayarkan tunai dan sekaligus bagi peserta yang telah memasuki masa pensiun, untuk peserta yang mengundurkan diri dan ter-PHK hanya butuh melewati masa tunggu 1 bulan sejak surat pengunduran diri diterbitkan dari perusahaan atau di PHK. Sedangkan Permenaker yang akan berlaku tiga bulan setelah diundangkan 4 Februari lalu, diberikan setelah berusia 56 tahun.

Perbedaan yang kedua adalah pencairan JHT bagi pekerja yang meninggalkan Indonesia selama-lamanya. Pada Permenaker nomor 19, pembayaran secara tunai dan sekaligus berlaku bagi pekerja berstatus Warga Negara Indonesia (WNI) dan Asing (WNA), tenaga kerja WNA menyertakan tambahan persyaratan fotokopi Paspor. Sedangkan pekerja berstatus WNI, menyertakan tambahan persyaratan Fotokopi Visa.

Sementara Permenaker yang baru, JHT yang meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya hanya diberikan kepada pekerja berstatus WNA, diberikan sebelum atau setelah meninggalkan Indonesia. Tagar Jaminan Hari Tua juga menjadi trending topic di media sosial akhir pekan kemarin, petisi online penolakan telah mendapat 281.868 tanda tangan.

Suara penolakan Permenaker nomor 2 tahun 2022 juga muncul dari Bekasi, aturan yang keluar di tengah masa pandemi dinilai tidak tepat momentumnya. Pemerintah dinilai tidak peka terhadap kondisi yang saat ini dirasakan oleh masyarakat buruh saat ini.

“Tentu masyarakat pekerja di Bekasi bereaksi untuk mendapat penolakan, kenapa, karena ini bukti dari pemerintah tidak peka terhadap masalah yang dihadapi buruh saat ini,” kata Sekretaris DPC KSPSI Kota dan Kabupaten Bekasi, Fajar Winarno, Minggu (13/2).

Saat ini pekerja yang di PHK dibuat sulit terkait dengan uang pesangon, perusahaan bersikukuh menggunakan UU nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja atau Omnibus Law. Saat UU Omnibus Law dinyatakan Inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dan mesti diperbaiki, Permenaker nomor 2 tahun 2020 menambah daftar regulasi yang harus dikawal oleh serikat pekerja atau buruh.

Selama masa pandemi, rata-rata pekerja yang ter-PHK rata-rata berusia 40 tahun. Setelah resmi diberlakukan, maka dibutuhkan masa tunggu hingga 16 tahun untuk dapat mencairkan 100 persen manfaat JHT. Ia menilai pemerintah masih saja mempertahankan peraturan yang dibuat, sejatinya regulasi semacam ini ditunda untuk mendukung strategi nasional seperti pemulihan ekonomi.

“Padahal seharusnya kalau melihat untuk kepentingan atau strategi nasional itu ditunda dulu,” tambahnya.

Tidak jarang dalam situasi sulit seperti ini, mereka yang berhenti kerja dengan berbagai alasan, termasuk PHK memanfaatkan JHT untuk membuka jalan lain demi bertahan hidup. Biasanya, setelah kembali mendapat kerja maka akan kembali mendaftar sebagai peserta JHT melalui BPJS Ketenagakerjaan.

Lebih lanjut Fajar mengakui awalnya JHT muncul dapat dicairkan pada usia 55 tahun. Namun perubahan mewarnai perjalanan di tengah dinamika situasi ekonomi dan bisnis, salah satunya krisis moneter yang terjadi tahun 1998.

Saat ini serikat pekerja menginginkan tata cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat JHT bertahan dengan Permenaker nomor 19 tahun 2015, tuntutan ini akan disuarakan melalui perwakilan serikat pekerja pada lembaga Tripartit Nasional, disamping tidak menutup kemungkinan perjuangan melalui jalan aksi demonstrasi. Pencairan sebagian klaim JHT dinilai tidak membantu.

“Kalau dengan kondisi seperti ini ya kita curiga dengan hal-hal yang lain, jangan-jangan uangnya dipakai untuk apa dan lain sebagainya,” tukasnya.

Menanggapi keresahan dari masyarakat pekerja, Kepala Biro Humas Kemenaker, Chairul Fadhly Harahap menyampaikan bahwa pemerintah akan berdialog dengan semua stakeholder.”Jadi tetap yang dibangun adalah dialog dan komunikasi sama semua stakeholder, termasuk serikat pekerja tentunya,” katanya kepada Radar Bekasi.

Jaminan hari tua dikembalikan kepada fungsinya, diterima oleh buruh di usia pensiun, cacat total, atau meninggal dunia sesuai UU nomor 40 tahun 2004. Dalam UU tentang SJSN tersebut masih memberikan peluang pencairan sebagian klaim JHT bagi peserta yang membutuhkan dalam jangka waktu tertentu.

Klaim dapat diajukan dengan ketentuan peserta telah terdaftar sebagai peserta program JHT paling sedikit 10 tahun. Besarannya 30 persen untuk kepemilikan rumah, dan 10 persen untuk keperluan lainnya dalam rangka persiapan masa pensiun.”Tidak harus menunggu umur 56 itu kalau saya bicara yang PP nomor 46 tahun 2015,” ungkapnya.

Menjawab kekhawatiran pekerja yang berhenti dengan beberapa alasan termasuk PHK, Chairul menyampaikan bahwa program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) bisa digunakan oleh para pekerja. Jaminan kehilangan pekerjaan dibuat untuk menghadapi resiko saat bekerja dan tidak bekerja, selain JKP, tercatat program lain yakni Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKM), Jaminan Hari Tua (JHT), dan Jaminan Pensiun.”Apa saya yang didapat disini (JKP), itu berupa uang tunai, pelatihan kerja, dan akses informasi pasar kerja,” tukasnya.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Buruh Bekasi Melawan, Amir Mahfud mengatakan, JHT itu bagaikan malaikat untuk pekerja yang tidak mempunyai pesangon, upah kecil, tidak mempunyai tabungan, dan akhirnya di Pemutus Hubungan Kerja (PHK). Kemudian, satu bulan bisa mereka (pekerja) cairkan, misalnya untuk kebutuhan hidup, nyari kerja lagi, usaha, maupun lainnya. “Sekarang jujur saja deh, kerja mana yang enggak bayar, jadi tidak usah terlalu malaikat bangat ngomongnya,” tukasnya.

Menurutnya, jika berbicara pejabat maupun pekerjaan elit lainnya yang memiliki kesejahteraan, tidak perlu menunggu JHT, karena gajinya besar dan tabungannya banyak. Berbeda dengan pekerja yang magang maupun outsourcing, gajinya kecil dan kesejahteraan tidak ada. Maka sangat membutuhkan JHT.

Namun dengan kondisi seperti sekarang, JHT baru bisa dicairkan pada usia 56 tahun, apa yang mau diharapkan lagi. Kecuali, mengalami cacat total bisa mencairkan JHT sebelum mencapai usia 56 tahun. “Hari ini dengan posisi 56 tahun, apa yang mau diharapkan,” ungkapnya.

Dirinya menyarankan, agar pencairan JHT itu jangan sampai usia 56 tahun, tapi sepuluh tahun masa operasional kepesertaan. Misalnya, kepesertaan atau bekerja umur 20, kemudian di umur 30 baru bisa mencairkan. “Kalau itu masih wajar. Tapi kalau sampai 56 tahun mah, bilang saja duitnya dipakai sama pemerintah,” ungkapnya.(sur/pra)