RADARBEKASI.ID, JAKARTA – Kebijakan Kementerian Ketenagakerjaan soal pencairan Jaminan Hari Tua (JHT) yang baru memunculkan kegaduhan. Maklum, dalam aturan yang baru tersebut, JHT baru bisa dicairkan saat pekerja berusia 56 tahun.
JHT terbaru tercantum dalam Permenaker Nomor 2 Tahun 2022. Ada beberapa pasal yang menimbulkan kontroversi, di antaranya pasal 3.
Pasar tersebut berbunyi, “Manfaat JHT bagi Peserta yang mencapai usia pensiun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a diberikan kepada Peserta pada saat mencapai usia 56 (lima puluh enam) tahun.”
Tak hanya pasal 3, pasal lainnya yang mendapat pertentangan adalah pasal 4 yang menyatakan bahwa manfaat JHT bagi peserta yang mencapai usia 56 itu termasuk juga peserta yang berhenti bekerja.
Yang dimaksud peserta yang berhenti bekerja adalah pekerja yang mengundurkan diri, terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) dan mereka yang meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya.
Kemudian, aturan mengenai usia pensiun, manfaat JHT juga dibayarkan pada peserta yang mengalami cacat total tetap atau meninggal dunia.
Aturan yang tidak propekerja ini kemudian mendapatkan pertentangan dari sejumlah pihak. Hal yang paling tidak bisa diterima akal sehat adalah dimana pekerja atau buruh harus menunggu selama bertahun-tahun untuk bisa mencairkan duit mereka sendiri jika terkena PHK sebelum usia 56 tahun.
Presiden KSPI Said Iqbal menyebut, kebijakan baru soal JHT ini sangat keji. Menurutnya, buruh yang menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan baru bisa mengambil JHT apabila buruh terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) pada usia 56 tahun
“Peraturan baru ini sangat kejam bagi buruh dan keluarganya. Saya kira Permenaker soal JHT ini harus dicabut. Apalagi kebijakan itu aturan turunan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja yang sudah dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK),” katanya.
Hal senada disampaikan Ketua Fraksi Gerindra DPR RI, Ahmad Muzani. Dia menilai, dana JHT merupakan uang pekerja yang menjadi harapan utama bagi para pekerja ketika sudah tidak lagi aktif bekerja atau di-PHK. Dana itulah yang akan digunakan pekerja untuk memulai dengan profesi barunya.
”Pandemi Covid-19 membuat jutaan orang di-PHK. Korban PHK ini otomatis akan sulit mencari pekerjaan kembali lantaran adanya angkatan kerja baru,” katanya.
Sama seperti Said Iqbal, Ahmad Muzani juga meminta agar Permenaker No 2 Tahun 2022 segera dicabut.
“Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 harus dicabut karena di masa pandemi Covid-19. Tunjangan JHT yang telah dikumpulkan BPJS menjadi sandaran utama bagi para pekerja baik buruh pabrik ataupun perkantoran,” kata Muzani
Terkait gelombang protes ini, Menaker Ida Fauziyah menjanjikan kemudahan untuk mencairkan JHT. Menurutnya, hanya dengan menggunakan Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan nomor kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan maka JHT bisa dicairkan.
“Saya sampaikan lagi, kami permudah klaim JHT melalui Permenaker ini yang tidak dilihat, jadi sekarang klaim itu cukup dengan menunjukan NIK, nomor kepesertaan BPJS, dan bisa dilakukan secara online,” kata Ida seperti dikutip dari Instagram Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), Sabtu (19/2).
Hal itu ia sampaikan saat melakukan dialog dengan sejumlah pimpinan serikat pekerja terkait Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) nomor 2 Tahun 2022 tentang tata cara dan persyaratan pembayaran manfaat JHT.
Dialog tersebut dihadiri Federasi Serikat Pekerja (FSP) Logam Elektronik Mesin (LEM) dan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) yang diwakili oleh ketuanya Arif Minardi.
Ida mengatakan, Permenaker yang mengatur JHT ini adalah penyempurnaan dari Permenaker Nomor 19 Tahun 2015 diberlakukan saat pemerintah belum memiliki alternatif skema perlindungan sosial bagi pekerja yang kehilangan pekerjaan atau mengalami PHK.
“Jadi ada kekosongan regulasi yang mengatur orang kehilangan pekerjaan. Nah, saat ini setelah kita memiliki program JKP, kita mengembalikan hakikat JHT sebagai jaminan sosial hari tua,” kata Ida.
Menurutnya, Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 akan mulai berlaku 3 bulan mendatang. Dengan rentang waktu tersebut, ia berharap agar program JKP berjalan efektif.
Nah, Pemerintah sendiri akan meluncurkan program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) melalui BPJS Ketenagakerjaan pada Selasa (22/2) besok.
Program ini didesain untuk memberi manfaat kepada pekerja yang mengalami PHK, menggantikan manfaat pencairan tabungan jaminan hari tua (JHT).
Menurut Ida Fauziyah, peserta tidak akan dipungut biaya iuran untuk kepesertaan JKP. Sebagai gantinya, pemerintah lah yang akan membayar iuran.
Secara keseluruhan, kata Ida, JKP menawarkan tiga manfaat. Yakni uang tunai, akses informasi pasar kerja, dan pelatihan kerja.
Manfaat uang tunai diberikan selama 6 bulan setara 45 persen gaji untuk 3 bulan pertama dan 25 persen untuk 3 bulan selanjutnya.
Tapi, ada sederet syarat yang mesti dipenuhi peserta untuk mendapat manfaat. Pertama, peserta terkena PHK, baik berdasarkan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT).
Kedua, penerima manfaat harus bersedia bekerja kembali. Jika tidak berniat kembali bekerja, maka tak dapat manfaat JKP.
Ketiga, penerima manfaat harus membayar iuran minimal 12 bulan selama 24 bulan dan telah membayar iuran paling singkat 6 bulan berturut-turut pada BPJS Ketenagakerjaan sebelum terjadi PHK.
Keempat, pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja yang hubungan kerjanya berdasarkan PKWT dilakukan sebelum berakhirnya jangka waktu PKWT.
Kelima, masa pembayaran iuran 6 bulan berturut-turut diperhitungkan dalam masa iur paling singkat 12 bulan bulan dalam 24 bulan.
Kemudian, JKP hanya diberikan kepada pekerja yang terdaftar di program jaminan sosial lainnya. Rincinya, karyawan perusahaan besar harus terdaftar ke seluruh program jaminan sosial lainnya untuk mendapat manfaat, yakni JHT, kecelakaan kerja (JKK), jaminan pensiun (JP), jaminan kematian (JK), dan Jaminan Kesehatan.
Sedangkan untuk usaha mikro dan kecil disyaratkan untuk mendaftarkan karyawannya ke program JKN, JKK, JHT, dan JKM. (wsa)