Berita Bekasi Nomor Satu
Bekasi  

Cari Lawan Lewat Medsos

Illustrasi Tauran

RADARBEKASI.ID, BEKASI – Media sosial (Medsos) kini tidak hanya sebagai sarana mencari teman, tapi disalahgunakan untuk mencari lawan. Hal inilah yang dilakukan sejumlah remaja yang tergabung ke dalam kelompok gangster di Kota Bekasi. Mereka kerap mencari lawan melalui medsos, lalu janjian dan tawuran.

Lebih banyak sisi negatif diakui oleh mereka yang pernah hidup di dunia kekerasan, kini mereka tengah berusaha mengajak rekannya yang lain untuk meninggalkan dunia kelam itu. “Saya sudah sering mengajak teman berhenti, karena sudah banyak teman yang hilang (meninggal.red) di jalur itu,” begitu pengakuan J (18) remaja yang pernah aktif tawuran dan menjadi anggota gangster di Kota Bekasi.

Tawuran antar kelompok di Bekasi makin menjadi-jadi, dua bulan terakhir dua nyawa hilang sia-sia di Kota Bekasi. Kelompok ini biasanya memberi identitas nama kelompok, namanya beragam dan berbeda-beda antara satu dengan yang lain, bahkan memiliki akun media sosial atas nama kelompok tersebut untuk membuat janji dengan kelompok lain.

Sebagian mengamati ada pergeseran pola kekerasan. Masyarakat pernah menjumpai tawuran antar kelompok siswa, berangkat atas nama sekolahnya masing-masing, hal ini juga mudah dideteksi melalui atribut sekolah, berikutnya sekolah bisa memberikan sanksi.

Namun, belakangan, tawuran terjadi antar kelompok, diisi oleh remaja bahkan usia anak. Kasat mata kelompok ini sulit dideteksi dan dikenali lantaran cenderung beraksi pada malam hingga dini hari, mereka juga tidak memperlihatkan identitas khusus di depan umum. Nyaris hanya Senjata Tajam (Sajam) saja yang diperlihatkan, beberapa kali media sosial menangkap keberadaan gerombolan ini, menjadi celah untuk menggagalkan aksi tawuran.

“Pas kelas sembilan kan lumayan sudah punya nama, kalau pas SMP pemicunya itu saya dicari sama orang, pengen di tes sama orang, makanya saya sering di SMP itu. Tragedi paling parah itu antar geng, itu teman yang kena (Sajam) tangannya, itu jam 3 malam saya main (tawuran),” kata J menceritakan masa lalunya, Minggu (6/3).

J mengaku sebagai sosok yang dikenal di kalangan pelajar di Bekasi. Betapa tidak, menjadi orang di barisan paling depan saat tawuran menjadikan ia lekat dalam ingatan musuhnya di sekolah lain.

Awalnya diajak teman, setelah menonton aksi tawuran J menjadi tertarik, seru katanya. Tidak puas dengan sepak terjang mengkilap di dunia sekolah, aktivitasnya berlanjut dengan cara bergabung pada salah satu gangster.

Pindah beberapa kali dari satu geng ke geng yang lain, J mengaku belum pernah menghadapi ritual khusus sebagai ucapan selamat datang atau untuk menguji kemampuannya. Hanya diberikan pendidikan saat berhadapan dengan musuh, setiap anggota yang baru bergabung harus menghadapi musuh di barisan paling depan.

“Saya ikut yang (gengster) sudah ada. Kita kalau sudah bikin akun, itu nanti pasti ada aja anak-anak geng lain yang memfollow,” akunya seraya menceritakan cara kelompok gangster mencari musuh.

Gangster selalu beraksi pada malam hari. Menjelang larut, pemegang akun media sosial mulai menjelajah media sosial, mencari aktivitas akun gangster lain untuk membuat janji bertarung.

Dipastikan tidak ada latar belakang masalah apapun sebelumnya, mereka hanya saling tantang lalu membuat janji, dan terjadilah pertempuran antar kelompok. Satu yang selalu dibawa selain Sajam, yakni petasan, benda satu ini bertujuan untuk mengintimidasi kelompok musuh.
“Petasan itu buat bikin musuhnya kepepet, buat bikin mundur musuhnya lagi,” tambahnya.

Tanpa identitas tertentu membuat anggota gangster pun pernah salah sasaran, nyatanya yang mereka hampiri bukan kelompok musuh. Selama menjadi anggota gangster akunya, prinsip J dan kawan-kawannya tidak melukai dan mencuri barang orang lain yang tidak bersalah.

Menyadari aktivitasnya di malam hari akan bertentangan dengan keluarga, ia baru keluar rumah pada saat keluarganya sudah tertidur pulas. Begitu juga saat kembali ke rumah, J sangat menghindari pulang ke rumah lewat waktu subuh.

Sudah beberapa tahun belakangan J tidak lagi aktif, kini ia bekerja di luar kota. Komunikasi dengan anggota gangster di Bekasi masih terjalin baik, komunikasi dengan adik-adik di sekolah tempatnya dulu menimba ilmu juga masih terjalin dengan baik.

Satu pesan yang tak pernah lupa untuk ia sampaikan, meminta teman-temannya berhenti. Sudah 12 temannya meninggal dunia sia-sia, hati kecilnya meronta, tidak mau lagi daftar teman meninggal dunia bertambah.

“Saya selalu bilang udah berhenti lah cari kerja aja. Sekarang kan cari kerja susah, apalagi kalau ditambah cacat, jangan sampai cacat duluan baru nyesel,” tukasnya.

Berbeda dengan fenomena tawuran antar gangster, tawuran antar pelajar cenderung terjadi spontanitas saat berjumpa di suatu tempat, atau ada dendam lama. Mereka adalah pelajar yang hanya ikut-ikutan, atau memang sudah terkenal bandel.

Tawuran antar sekolah ini nyatanya tidak terlepas dari peran alumni. Konflik turun temurun menjadi salah satu alasannya.”Itu bisa membuat sebuah tradisi buat sekolahnya kalau lihat histori kenapa sekolah ini sering tawuran. Dan biasanya alumni juga mendoktrin untuk balas dendam dan sebagainya,” kata remaja yang kini sudah menyelesaikan jenjang pendidikannya di tingkat atas, T (19).

Tawuran antar sekolah bisa terjadi karena spontanitas, atau mendatangi langsung siswa sekolah lain yang dituju untuk sekedar memicu konflik. Faktornya satu, gengsi, menunjukkan kelompok siswa di sekolahnya paling hebat dibandingkan dengan kelompok siswa sekolah lain.

Berbeda dengan gangster, tawuran antar sekolah ini tidak menggunakan media sosial sebagai sarana komunikasi membuat janji tawuran. Hanya Sajam yang mereka bawa, tanpa petasan.
“Kalau dari sistem tongkrongan, patungan buat bikin alat-alat (Sajam). Kalau keinginan pribadi dia pengen punya, dia ngeluarin uangnya sendiri,” tambahnya.

Bagi siswa baru, mereka lebih dulu harus melalui pendidikan, mereka menyebut proses ini penataran. Dipukul adalah satu diantara proses yang mereka lewati saat bergabung, kakak kelas memberi rasionalisasi tindakan ini bisa menguatkan mental mereka.

Saat rekan mereka terluka akibat senjata tajam, berapapun uang pengobatan yang dibutuhkan harus terkumpul, kembali ini hasil urunan. Tujuannya, supaya aman saat berhadapan dengan orang tua siswa yang terluka pada saat tawuran.

Dua bulan di awal tahun, dua nyawa melayang. Yang pertama terjadi pada tanggal 28 Januari, satu remaja berinisial MR (22) meregang nyawa, ia menjadi bulan-bulanan serangan senjata tajam kelompok lawan di Persimpangan Sumir, Kelurahan Jatiwarna, Kecamatan Pondokmelati, Kota Bekasi. Enam tersangka diamankan, dua diantaranya berusia 17 tahun, masih dibawah umur.

Korban jiwa kedua jatuh pada tanggal 15 Februari lalu, DS (22) meninggal dunia kehilangan banyak darah setelah mendapat serangan Sajam di bagian punggung sebelah kanan hingga menembus ke paru-paru. Kasus ini terakhir kali masih dalam penanganan pihak kepolisian.

Akhir pekan kemarin, kebakaran menimpa ruko yang selama ini difungsikan menjadi toko kelontong di Komplek TVRI Porsis, Kelurahan Jatirahayu, Kecamatan Pondok Melati, Kota Bekasi. Toko yang juga menjual bensin eceran tersebut diduga terbakar usai dua kelompok remaja terlibat tawuran, percikan petasan menyulut bensin eceran hingga memicu kebakaran.

Petugas dari Pusat Laboratorium Forensik (Puslabfor) kemarin diterjunkan untuk memastikan faktor penyebab terjadinya kebakaran serta mencari barang bukti. Informasi yang didapat dari saksi di lokasi, terjadi keributan antar kelompok remaja sebelum api melalap bangunan ruko.

“Karena kebakaran ini kan ada sebabnya, itu yang mesti kami cari kan, dari sisi penyebab kebakaran, dan juga dari sisi lokasi ini juga,” ungkap Kapolsek Pondok Gede, Kompol Puji Hardi.

Kasus ini tengah dalam penyelidikan pihak kepolisian, termasuk aksi tawuran yang diduga sebagai awal mula pemicu kebakaran. (Sur)