RADARBEKASI.ID, BEKASI – Konflik agraria di Bekasi terus bertambah, bahkan belum ada kata mufakat. Masyarakat mengaku kecewa dengan pemerintah yang membutuhkan tanah untuk kepentingan umum, beberapa diantaranya menyangkut Proyek Strategis Nasional (PSN). Selain dengan pemerintah, masyarakat juga berkonflik dengan pihak swasta atau perseorangan, faktornya adalah penelantaran tanah oleh pihak tertentu hingga tudingan menempati suatu tempat secara liar. Rakyat yang berkonflik masih harus berjuang.
Dewasa ini, masyarakat yang masih aktif berjuang menyuarakan aspirasi mereka adalah warga terdampak penggusuran jalan tol Cimanggis – Cibitung dan pembangunan Instalasi Pengelolaan Air Sistem Penyediaan Air Minum (IPA-SPAM) regional Jatiluhur 1. Hampir dipastikan perjuangan masyarakat mendapatkan uang ganti untung dilakukan lebih dari satu tahun.
Radar Bekasi mencatat ada enam konflik pertanahan yang sempat bergejolak, mulai dari pembebasan tahun 2016 di kawasan Kelurahan Jakasetia, Kecamatan Bekasi Selatan, Kota Bekasi. Penertiban dilakukan untuk pembangunan jalan SS Jakasetia, penertiban pemukiman warga ini masih berproses di Mahkamah Agung (MA) untuk membuktikan status kepemilikan lahan.
Di tempat lain, konflik terjadi di Kawasan Kelurahan Jatimulya, Kecamatan Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi. Pembebasan lahan dilakukan untuk pembangunan Depo LRT. Masyarakat meminta transparansi pemerintah, pembebasan lahan untuk mendukung LRT atau hanya sekedar mendukung kepentingan bisnis di area Transit Oriented Development (TOD).
Selanjutnya, sengketa lahan di Kampung Pilar, Desa Cikarang Kota, Kecamatan Cikarang Utara, Kabupaten Bekasi, ditempat ini warga bersengketa dengan pihak swasta atas kepemilikan lahan. Penggusuran lahan akhirnya diurungkan di Kampung Tanah Baru, Tarumajaya, Kabupaten Bekasi setelah beberapa kali warga menerima surat dari pemerintah setempat, warga menilai penertiban tidak berdasar.
Konflik akibat pembebasan lahan untuk kepentingan umum belakangan ini dialami oleh warga yang terdampak jalan tol Cimanggis – Cibitung, sampai saat ini warga belum mendapat uang ganti rugi yang dititipkan di Pengadilan Negeri (PN) Bekasi.
Yang terbaru, protes disuarakan oleh warga Komplek Perumahan Pengairan Bendung BTB 45, Jalan M Hasibuan, RT 04/24, Kelurahan Margahayu, Kecamatan Bekasi Timur, Kota Bekasi. Lahan pemukiman warga terdampak pembebasan IPA-SPAM regional Jatiluhur 1, warga menilai penilaian yang ganti untung tidak adil.
Kemarin, Wakil Gubernur Jawa Barat, Uu Ruzhanul Ulum mendatangi warga komplek BTB 45 untuk berdialog dan mendengarkan aspirasi masyarakat terdampak pembebasan lahan. Hasil dialog disimpulkan ada miss komunikasi antara masyarakat dengan perwakilan pemerintah dalam hal penentuan harga ganti untung, pemerintah pusat diminta untuk bijaksana dan adil dalam memberikan ganti untung kepada pensiunan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) yang tinggal di komplek tersebut.
“Biasa masalah nya adalah lagu lama, tentang harga ganti untung, tetapi semua ini jadi krusial sekalipun ini adalah lagu lama. Ada perbedaan (besaran uang) di daerah satu dengan daerah yang lain, yang dianggap oleh masyarakat itu tidak adil,” kata UU usai berdialog dengan masyarakat, Selasa (8/3).
Ditempat ini, rencananya Uu berdialog dengan masyarakat bersama Kementerian PUPR dan Badan Pertanahan Nasional (BPN). Namun pihak Kementerian PUPR dan BPN Kota Bekasi tidak hadir dengan alasan belum mendapat izin dari pimpinan.
Pertemuan akhirnya dijadwalkan ulang pekan depan untuk mempertemukan semua pihak di Gedung Sate. Ia berharap dapat segera ditemukan win-win solution agar tidak terjadi kegaduhan, serta masyarakat tidak merasa dirugikan.
Disamping itu, titik temu antara masyarakat dengan pemerintah juga dapat mempercepat pembangunan proyek IPA-SPAM yang dinilai oleh Uu akan berguna bagi masyarakat di beberapa daerah.
“karena efek domino dari pembangunan ini sangat dibutuhkan oleh masyarakat, pengadaan air untuk wilayah Jawa Barat bagian barat dan juga DKI Jakarta,” tambahnya.
Sudah dua tahun ini masyarakat BTB 45 memperjuangkan hak mereka, fasilitasi oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Bekasi belum menghasilkan titik temu, hingga akhirnya persoalan ini bergulir di pengadilan dan masyarakat dinyatakan kalah. Kelompok masyarakat yang terdiri dari 21 KK ini mengaku dizalimi oleh kementerian PUPR.
Pasalnya, letak tempat tinggal mereka dinilai paling strategis, berada tidak jauh dari jalan M Hasibuan, dengan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) tanah di tempat mereka tinggal Rp3,745 juta, hasil appraisal tanah mereka dihargai berbeda-beda mulai dari Rp3,5 juta hingga Rp5 juta per meter.
Sementara tanah milik masyarakat lain yang posisinya di belakang tempat tinggal mereka dihargai Rp8 juta per meter, dengan nilai NJOP tanah Rp2,013 ribu.
“Kalau masalah bangunan berbeda tidak apa-apa lah, tapi tanah kan satu hamparan. Dan kami warga disini dari awal sosialisasi 10 Mei di gedung PU, kalau harganya cocok, kami akan lepas,” kata salah satu warga Edi Sumaedi (67).
Selain dalam bentuk uang, warga sempat pernah memberikan opsi pergantian bidang tanah di wilayah Kelurahan yang sama. Namun, opsi tersebut tidak mendapat jawaban, uang sebagai ganti rugi lahan pun tidak sesuai.
Setelah dinyatakan kalah di PN Bekasi beberapa waktu lalu, warga berencana untuk mengajukan kasasi di MA. Selain upaya hukum, jika keterlibatan Wagub tidak bisa membuahkan titik temu, maka warga akan melanjutkan perjuangannya langsung ke Kantor Staff Presiden (KSP).”Kita akan naik ke MA, kita akan Kasasi ke MA. Kalau masalah tempat tidak akan mempersulit (proyek pemerintah), silahkan saja, asal sesuai,” tukasnya.
Pemkot Bekasi mengakui upaya memfasilitasi berbagai pihak yang pernah dilakukan tidak menemui titik temu. Hingga akhirnya, permasalahan berlanjut di pengadilan.Pemerintah kota berjanji untuk terus memfasilitasi pihak-pihak terkait, serta menunggu solusi dari pemangku kebijakan pembangunan proyek di lokasi tersebut.
“Tapi disisi lain bahwa persoalan dari pada permasalahan pembebasan yang tertunda ini sedang bergulir di pengadilan, kalau sudah bergulir di pengadilan tentunya pemerintah Kota Bekasi memonitor, mengkonsultasikan, bagaimana progress yang berjalan di pengadilan,” terang Asisten Pembangunan dan Kesejahteraan Masyarakat Kota Bekasi, Sudarsono.
Berbeda dengan warga komplek BTB 45 yang tengah memperjuangkan besaran ganti rugi lahan. Warga di ujung Selatan Kota Bekasi sudah melalui proses hukum sampai di MA, warga sudah dinyatakan menang atas kepemilikan tanah yang saat ini berubah menjadi ruas jalan tol Cimanggis-Cibitung.
Hingga saat ini, ahli waris pemilik tanah belum juga menerima uang ganti rugi. Uang tersebut diketahui dititipkan di PN Bekasi selama perkara sengketa tanah bergulir, untuk dapat mencairkan uang konsinyasi, ahli waris membutuhkan surat rekomendasi pencairan dari BPN Kota Bekasi.
Warga sudah berkali-kali mendatangi BPN untuk meminta surat rekomendasi tersebut. Namun, mereka tidak kunjung mendapatkan surat dengan alasan BPN memerlukan konsultasi dengan Kantor Wilayah (Kanwil) BPN Jawa Barat.
“Persoalan gugatan baru sudah tidak ada gugatan baru. Tanggal 1 Desember kemarin sudah selesai semua, dan dimenangkan oleh masyarakat,” kata salah satu ahli waris warga Jatikarya, Gunun (49).
Pekan kemarin, warga bergantian menginap di gedung BPN Kota Bekasi selama lima hari menunggu terbitnya surat rekomendasi pencairan uang konsinyasi. Aksi warga sempat dihentikan lantaran kondisi cuaca dan kesehatan warga.”Mungkin dalam waktu dekat ini kalau BPN masih seperti itu, akan kami bikin lumpuh (kantor BPN),” tandasnya.
Radar Bekasi telah mencoba untuk mengkonfirmasi BPN Kota Bekasi. Namun, usaha belum membuahkan hasil lantaran Kepala BPN Kota Bekasi sedang menjalankan tugas di luar kantor, upaya Radar Bekasi mencari alternatif penjelasan dari BPN Kota Bekasi tidak mendapat respon.”Maaf saya lagi dinas luar,” singkat Kepala BPN Kota Bekasi, Andi Bakti.(sur)











