HAJAT demokrasi lima tahunan tak lama lagi. Tahun 2024. Bakal digelar besar-besaran. Juga serentak. Mulai dari Pilkada hingga pemilihan presiden. Muka tokoh-tokoh yang mau menjadi calon presiden dan wakil presiden sudah berseliweran di mana-mana. Termasuk joget-joget di media sosial. Pun para buzzer, sudah mulai memanaskan ‘mesin perangnya’. Diskusi Indonesia Masa Depan Hazairin Sitepu (Bang HS) dengan Rocky Gerung (Rocky) membahas hal itu. Berikut kutipannya:
Bang HS: Indonesia ini negara demokrasi. Salah satu pilarnya adalah Anda, Bung Rocky. Karena menurut saya, kita banyak berharap (aspirasi rakyat dijalankan) parlemen. Tetapi kita tidak melihat itu. Bagaimana pandangan Anda terhadap parlemen kita?
Rocky: Ada beberapa orang yang tajam di parlemen. Ada Fadli Zon. Dulu ada Fahri Hamzah. Banyak orang yang memiliki potensi mengungkapkan pikiran membersihkan langit politik dari awan korupsi.
Bang HS: Ada di mana suara mereka saat ini?
Rocky: Mereka, kadang kala, terikat pada, sebut saja, pemandu utama. Ketua-ketua partainya. Seperti Fadli Zon, saya kenal baik cara berpikirnya. Fahri Hamzah, musti zig-zag supaya tidak bertabrakan dengan pikiran ketua umum partai.
Bang HS: Di mana harusnya mereka bersuara?
Rocky: Ada wilayah lain yang tidak dikuasai formasi politik. Pers misalnya. Sosial media, citizen journalism. Semua itu seharusnya dihidupkan. Talkshow begini adalah alternatif dari parlemen yang macet. Makanya, oposisi mencari saluran. Saluran yang paling bagus, lewat media sosial.
Bang HS: Tetapi kan kadang kala (suara) pers kalah dari buzzer.
Rocky: Ya, banyak hal yang ingin kita perbaiki. Buzzer sebetulnya tidak ada soal. Asal betul-betul kita bisa berdebat. Tapi buzzer tidak bisa berdebat. Padahal public discourse (ruang debat publik) itulah yang menghidupkan demokrasi.
Buzzer kayak speaker rusak. Satu arah dan hanya ingin mengepung, bukan ingin membangun narasi. Tidak ada narasi.
Bang HS: Menurut Anda, apakah buzzer itu dapat disebut bad boy?
Rocky: Dia kualifikasinya bukan bad boy dalam pengertian manusia. Dia adalah thing, barang doang, bukan orang. Benda baik atau benda buruk. Dia tetap benda. Buzzer harus kita anggap sebagai benda. Karena dia bisa dipindah-pindahkan tanpa bisa melawan. Benda itu kan fungsinya adalah stagnan. Statis. Kalau manusia, dinamis. Kan tidak mungkin barang punya otak.
Bang HS: Kalau kita lihat buzzer di medsos seperti tersistem. Di Indonesia ‘yang demokrasi ‘ peran buzzer seharusnya seperti apa?
Rocky: Tidak ada soal. Asalkan buzzer yang berpikir. Buzzer kan pendengung yang berupaya untuk mempengaruhi kebijakan. Upaya untuk menundukkan suara oposisi. Kalau oposisinya intelek, buzzernya harus intelek juga. Itu intinya.
Bang HS: Kondisi saat ini?
Rocky: Buzzer saat ini tidak ada grammar yang bisa kita pahami. Hanya merusak suasana bernegara. Kalau buzzernya mau lawan debat, ya, datang saja berdebat. Tapi ini buzzernya anonym. Menyerbu kayak lalat yang mengejar bangkai. Jadi, bukan sekadar memuakkan, tapi menjijikkan. Dan justru itu dipelihara Istana. Kalau dia tidak dipelihara Istana, sudah lama dia collapse.
Bang HS: Apakah ini persoalan besar? Kita kan menghadapi (pemilu) 2024, dan seterusnya.
Rocky: Ini akan jadi soal besar. Bukan hanya ke 2024. Tapi untuk satu semester ke depan. Kalau terjadi eskalasi di Indopasific, karena krisis China dengan Taiwan. Lalu impor kita dihambat ke situ, kita kekurangan pangan energi. Bangsa ini mau ngapain?
Kalau misalnya terjadi potensi perang dunia ketiga di Ukraina, karena NATO ambil kesimpulan bahwa lebih baik berkelahi dengan Rusia supaya cepat selesai. Kalau ada krisis energi, krisis pangan, bangsa ini mau ngapain?
Buzzer ini tidak mampu berpikir seperti itu. Karena dia disewa cuma untuk mengacaukan politik. Disewa untuk meniupkan rasialisme, untuk menghujat secara track record orang yang sebetulnya tidak ada hubungannya. Tiba-tiba orang diisukan moral, seksual, segala macam. Padahal itu hanya untuk membunuh karakter.
Bang HS: Seharusnya seperti apa buzzer itu?
Rocky: Buzzer ikut bertarung dengan ide. Misalnya ide tentang lingkungan bersih. Mestinya mampu bertanding dengan isu-isu ke depan. Tapi karena jarak antara cara berpikir dengan cara berjalan dekat sekali. Maksudnya, cara berpikir (otak) dekat dengan dengkul, gitu. Dia (buzzer) tidak bisa bikin proyeksi.
Bang HS: Jadi adanya buzzer itu tidak masalah?
Rocky: Tidak ada soal orang jadi buzzer. Tapi ada mutunya. Supaya ada dialektika di dalam mempersoalkan kehidupan bersama.
Bang HS: Menurut Bung Rocky, ke depan ini, dari sini ke sana, kira-kira ada persoalan besar apa saja yang kita hadapi? Maksudnya Indonesia hadapi?
Rocky: Itu pertanyaan bagus. Karena kalau kita bilang dari sini ke sana, artinya kita mulai melihat hambatan di depan mata kita. Demokrasi kita dihambat oleh threshold 20 persen. Itu pasti menghambat pikiran kita ke depan.
Bang HS: Ini kaitannya dengan aspirasi (rakyat) konstituen kepada parpol?
Rocky: Kalau saya punya ide tentang Environmental Essences, ide tentang sistem ekonomi yang berbasis pada solidaritas manusia, saya menitipkan itu ke siapa? Menitipkan pada partai? Partai bilang, “Anda tidak mungkin menitipkan itu karena (partai) tidak akan lolos threshold 20 persen”.
Jadi, kalau kita berpikir apa yang baik buat Indonesia, itu gampang. Tapi apa yang mesti kita halangi supaya tidak masuk dalam politik 2024, itu lebih penting.
Bang HS: Apa saja?
Rocky: Yang pertama, 20 persen threshold. Itu berbahaya untuk demokrasi. Kedua, daftar calon presiden yang sudah digadang-gadang oleh lembaga survei. Kenapa kita dipaksa memilih untuk sesuatu yang bukan kita sodorkan?
Bang HS: Harusnya seperti apa?
Rocky: Bukan siapa yang mesti dipilih, tapi siapa yang mesti kita coret pertama dari daftar. Itu intinya. Kalau kita lihat ke belakang, selama periode Pak Jokowi, ada dua problem yang tidak bisa diatasi. Kekurangan intelektualitas, dan kekurangan etikabilitas.
Bang HS: Ada apa dengan etikabilitas?
Rocky: Korupsi kan dasarnya etikabilitas. Karena itu, saya buat parameter. Pemimpin itu harus complied, harus fit and propper, harus lolos uji. Nah, ujian pertama harus lolos etikabilitas. Yang kedua intelektualitas. Barulah yang ketiga, uji elektabilitas. Jadi, elektabilitas seseorang itu diukur pada etikabilitas dan intelektualitasnya. Kalau sekadar elektabilitas, di lembaga survei, nama seseorang bisa saja tiba-tiba naik.
Bang HS: Apakah yang ada selama ini masih sebatas elektabilitas?
Rocky: Saya lihat poster, baliho setinggi Monas, wajah seseorang yang jadi capres. Tapi saya tidak tahu otaknya di mana. Karena wajahnya saja yang ditampilkan. Nuraninya di mana, juga kita tidak tahu.
Bang HS: Karena kita lihat mereka ini lebih banyak menampilkan tampang, lalu goyang-goyang (joget) di Medsos.
Rocky: Itu kan jualan.
Bang HS: Apakah benar pikiran saya, bahwa sangat penting mereka ini (capres) lebih menjual gagasan?
Rocky: Gini saja gampangnya. Ada Erick Tohir, Ganjar, AHY, Anies Baswedan, coba diundang ke sini dan bicara tanpa sensor. Pers punya kemampuan mendalami dan mengulik bahkan lapisan intelek paling dalam dari mereka. Berapa orang sih yang lulus? Jadi, jangan dibilang dia layak menjadi presiden karena balihonya di mana-mana. Tapi otaknya tidak ketahuan ada di mana.
Bang HS: Adu gagasan di redaksi?
Rocky: Itu penting. Kampanye pertama dari seorang presiden atau calon presiden itu di kampus dan di ruang redaksi. Karena di situ diuji gagasannya, wawasannya. Kalau kampanye di panggung dangdut, ya, tidak ada percakapan begini. Harus ada panggung akademis untuk menguji seseorang. Joget-joget di Tik Tok? Otaknya ikut joget gak? (bersambung)