Berita Bekasi Nomor Satu
Disway  

Haji Aseng

Coal transported on a barge via the Mahakam river in Samarinda, East Kalimantan, Indonesian Borneo with the Samarinda Grand Mosque in the backdrop. The Mahakam River leads to the rainforests and peatland forests and is home to 147 indigenous freshwater fish species.

 

Oleh: Dahlan Iskan

Ia sudah lama menunggu saya. Di depan masjid besar di kota kecil itu. “Kita salat duha dulu,” katanya. Kami pun menuju tempat ambil air wudu.

Yang mengajak salat itu Aseng. Itu nama panggilan. Nama lengkapnya Djie Tjin Seng. Ia pengusaha besar. Ia lahir di Tarakan. Besar di Balikpapan. Usahanya di banyak kota.

Rupanya ia biasa bersalat duha. Tidak seperti saya. Itu adalah salat duha saya yang pertama –setidaknya dalam dua tahun terakhir.

Dalam hal salat saya kalah jauh dari Aseng. Bukan saja seringnya, juga khusyuk-nya. Saya perhatikan salatnya: tiga kali lebih lama dari salat saya.

Sambil menunggu Aseng menyelesaikan salat duha –salat khusus ketika matahari setinggi penggalah– saya menuju tumpukan Alquran di rak yang menempel di dinding. Ingin tahu saja.

Itulah tumpukan Quran khas masjid zaman sekarang: banyak juga buku kecil ditaruh di situ. Isinya: doa dan tahlil. Sampulnya: gambar orang yang telah meninggal dunia. Atau nama orang itu.

Itulah buku yang diterbitkan untuk memperingati orang yang meninggal dunia. Biasanya buku seperti itu dibagikan kepada peserta doa di rumah duka. Lalu sebagian ditaruh di masjid.

Saya lihat, misalnya, ada buku untuk memperingati meninggalnya Helland Eddward (Ewai) bin H. Moh Hasan. Dari nama yang meninggal itu kelihatannya almarhum dari suku Dayak. Memang banyak juga orang Dayak yang Islam –meski umumnya Kristen.

Terbaca juga pengumuman Umrah New Normal: Rp 35,5 juta. Yang Normal Rp 30,5 juta.

Masjid itu ada di Kotabangun. Kota kecil sekali. Di hulu Sungai Mahakam. Kami janjian bertemu Aseng di situ.

Masjid itu, semula, saya kira, hanya untuk memudahkan penanda meeting point. Ternyata ia mengajak salat duha juga.

Aseng datang dari arah Balikpapan. Saya datang dari Samarinda. Ia harus bermobil 3,5 jam baru sampai di situ. Saya setengah jam lebih dekat.

Ternyata ia tiba lebih dulu. Mobil saya memang tidak terlalu laju. Agar bisa sambil makan nasi kuning HHH bikinan istri: hintalu hiwak haruan.

Ternyata banyak sekali orang Kotabangun yang mengenal Aseng. Ia terkenal. Mereka tidak memanggil Tjin Seng dengan Aseng.

Nama lokal Aseng di situ adalah ”Ji”, singkatan dari ”Haji”. Mereka tahu Tjin Seng itu Islam. Sudah haji. Rajin salat. Suka membantu masjid.

Kami parkir di seberang masjid besar yang modern itu. Yakni satu lokasi parkir di pinggir sungai Mahakam. Sebuah speed boat sudah menunggu di dermaga dekat lapangan parkir.

Banyak sekali mobil yang diparkir di situ. Hampir 100 persen Pajero Sport. Banyak pula mobil yang bermalam. Atau beberapa malam. Mobil itu ditinggal begitu saja. Pemiliknya ganti kendaraan dengan speed boat.

Parkir itu gratis. Biar pun satu minggu. Ada kotak amal di halaman masjid. Silakan memasukkan uang berapa pun ke kotak itu. Tidak ada yang melihat nilainya.

Saya pun naik speed boat itu. Bermesin tunggal, Yamaha 200 PK. Wajib pakai pelampung. Logistik lengkap. Ada bensin cadangan untuk mesin speed boat. Ada juga logistik cadangan untuk perut dan kerongkongan.

Kami akan berada di speed boat  empat jam lamanya. Dari dermaga di tepian Mahakam itu kami meluncur mencari muara Sungai Belayan. Melewati bawah jembatan Liang yang melengkung gagah. Juga sudah dicat merah.

Speed boat kami terus ke arah hilir. Di Kaltim tidak ada istilah utara-selatan-timur-barat. Yang ada: ke arah hilir-hulu-darat dan laut.

Pun istri saya: tidak tahu apa itu utara-selatan-timur dan barat. Kalau dia bilang ”mau ke darat” itu artinya ke arah menjauhi sungai. ”Mau ke laut” artinya ke arah mendekati sungai. ”Ke hulu” artinya ke arah dari mana air sungai mengalir. ”Ke hilir” berarti ke arah air sungai menuju muara.

Kadang ”ke hulu” itu artinya ke timur, kalau sungai lagi berbelok. Bisa juga ”ke hulu” itu mengarah ke barat tergantung belokan sungai.

“Di Jawa ini saya bingung. Ngalor ngidul ngetan ngulon,” ujarnyi awal-awal di Jawa dulu.

Lebih bingung lagi menerima penjelasan yang bunyinya seperti ini: Anda terus ke barat, nanti di timur masjid ada sekolahan, lalu di barat sekolahan itu ke utara, terus belok ke timur.

Sampai di muara sungai Belayan, speed boat masih terus ke arah hilir. Mencari muara sungai Senyiur.

Sungai Mahakam ini begitu luas. Pun ketika ada dua pelabuhan apung di tengah sungai. Yakni pelabuhan transhipment batu bara. Mahakam tidak terlihat menyempit.

Setelah setengah jam melaju di atas air, ketemulah muara sungai Senyiur. Itulah salah satu anak sungai Mahakam yang andal. Dalam dan lebar. Bisa dilayari tongkang batu bara berisi 7.500 ton.

Speed boat kami pun melaju ke arah hulu Senyiur. Sesekali speedboat harus mengurangi kecepatan. Yakni kalau lagi ada kampung di pinggir sungai. Berarti banyak jamban apung di pinggir sungai. Toilet di situ. Cuci baju di situ. Mandi di situ.

Speed boat kecepatan tinggi akan menimbulkan gelombang yang mengguncang jamban apung yang berderet di pinggir sungai.

Saya pernah tinggal di rumah kakak sulung di Karangasem, Samarinda. Rumahnyi masuk gang agak jauh dari Mahakam. Tapi mandi, toilet dan tempat cuci baju di sungai itu. Saya bisa merasakan guncangan gelombang saat ada kapal lewat.

Menyusuri sungai Senyiur selama 3,5 jam bayangan saya ke tokoh ini: Yos Sutomo. Ia Raja Kayu di masa penebangan hutan masih diizinkan. Ia punya tambang ’emas hijau’ di kampung kelahirannya itu. Ia lahir di desa Senyiur. Di zaman ia kecil perlu tujuh harmal berperahu untuk bisa sampai ke kampungnya dari Samarinda.

Tujuan perjalanan saya tidak jauh dari kampung halaman Haji Yos Sutomo itu. Ada tambang besar batu bara di situ. Bukan milik Haji Yos Sutomo. Bukan juga milik Haji Aseng. Yos Sutomo kini jadi Raja Properti di Kaltim. Haji Aseng jadi kontraktor besar penambangan batu bara.

Setelah memarkir speed boat kami harus menelusuri jalan besar sepanjang 65 Km. Yakni dari dermaga speed boat di sungai Senyiur ke arah tambang milik Bayan Reaources. Jalan inilah yang dibangun Haji Aseng. Jalan begitu besar yang dibangun di tengah hutan.

Itulah kekuatan uang batu bara. Bisa membangun jalan selebar itu sepanjang itu. Hanya dalam waktu satu tahun.

Aseng punya kantor proyek di dekat tambang itu. Sekalian mess karyawan dan staf. Kami tiba di mess perusahaan. Hari sudah terik. Matahari sudah tepat di atas ubun-ubun.

“Kita salat duhur dulu,” ujar Aseng. Saya pun tersenyum. Dalam hati. Saya pikir mau makan dulu. Saya lihat sudah ada prasmanan di meja makan.

Aseng memang membangun masjid di tengah belantara hutan dan tambang itu. Ia juga mengangkat imam dan pengurus masjid –digaji hanya untuk itu. Sang Imam dari Balikpapan, lulusan pondok salafiyah Bangil, Jatim.

Setelah berwudu saya mendorong Aseng untuk jadi imam salat. Ia ganti mendorong saya. Saya tetap mendorongnya. “Akan lebih afdol kalau tuan rumah yang jadi imam,” kata saya. “Lebih afdol kalau yang lebih tua yang jadi imam,” jawabnya sambil mendorong saya.

Kami dorong-dorongan.

Saya kalah kuat. Juga kalah uang.

Ketika saya sudah mengambil posisi imam Aseng menanyakan sesuatu yang saya lupa menjelaskan.

“Kita jamak-qashar kan?” tanyanya.

“Benar. Dua rakaat, lalu dua rakaat lagi,” jawab saya.

Salat dan makan selesai. Kami terus ke lapangan: melihat bagaimana orang menambang batu bara. Itulah emas hitam masa kini. Bumi Kalimantan ternyata bumi emas. Begitu emas hijau hilang, emas hitam terbilang. (*)