Berita Bekasi Nomor Satu

Kecewa Pengelolaan Sampah, Warga Ancam Gugat Pemkab

KELILINGI DEWAN: Sejumlah warga yang melakukan aksi damai, mengelilingi anggota DPRD Kabupaten Bekasi, saat sidak di Tempat Pembuangan Sampah Akhir (TPSA) Burangkeng, Setu Kabupaten Bekasi, Selasa (7/6). ARIESANT/RADAR BEKASI

RADARBEKASI.ID, BEKASI – Warga Burangkeng berencana menggugat Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bekasi, dalam hal ini Dinas Lingkungan Hidup (DLH), karena dinilai tidak mampu menyelesaikan persoalan sampah yang sudah menggunung (overload), di Tempat Pembuangan Sampah Akhir (TPA) Burangkeng.

Hal itu disampaikan oleh puluhan warga yang melakukan aksi damai, saat Komisi III DPRD Kabupaten Bekasi bersama Dinas Lingkungan Hidup (DLH) dan Dinas Perumahan Rakyat Kawasan Permukiman dan Pertanahan meninjau TPSA Burangkeng.

Aksi tersebut juga dilakukan sebagai buntut kekecewaan mereka terkait pengelolaan sampah yang tak kunjung dibenahi.

Selama bertahun tahun warga sekitar merasakan dampak dari keberadaan TPSA yang kian merusak lingkungan. Kondisi ini, diperburuk dengan tidak adanya sampah yang dikelola terlebih dulu, sehingga langsung dibuang dengan cara ditumpuk ke TPSA.

Alhasil, sampah makin menggunung dan tak jarang tumpukkan sampah itu longsor hingga pencemaraan tambah meluas. Dalam aksi tersebut, warga mendesak Pemkab Bekasi segera memperbaiki pola pengelolaan sampah. Jika tidak dilakukan, mereka mengancam bakal menggugat pemerintah daerah, karena dinilai telah merugikan warga.

“Kami butuh lingkungan hidup bersih, aman, nyaman, sehat jauh dari bising dan baunya sampah dari TPSA. Kami merasa keluhan kami dengan berbagai upaya, dari dulu hingga sekarag tidak ada tanggapan,” ucap salah seorang warga peserta aksi, Muhammad Hatta.

Menurut dia, sejak 2006 lalu, warga sudah menyatakan TPSA sudah melebihi kapasitas. Pihaknya pun telah menyampaikan ke pemerintah, baik dari tingkat desa, kecamatan hingga kabupaten. Namun tidak ada tanggapan. Bahkan hingga kini, kondisi TPSA satu-satunya di Kabupaten Bekasi itu makin parah, lantaran sampah yang makin menumpuk di area seluas sembilan hektar tersebut.

“Kami sudah bilang, jika kondisi TPSA Burangkeng ini sudah overload dari tahun 2006. Coba dikaji ulang, jangan sampai merugikan kesehatan masyarakat. Seluruh warga sekitar ini terdampak. Tolong minta diperhatikan lingkungan,” beber Hatta.

Ia menilai, karena lingkungan sekitar makin rusak, kesehatan warga pun terganggu. Bau sampah yang dihembuskan angin menyengat hingga beberapa kilometer. Selain itu, aliran sungai pun turut tercemar dan bau.

“Apabila TPSA ini tetap dipertahankan, tolong diperhatikan kebersihan lingkungan, warga harus dibina dengan dokter buat kesehatan. Selama ini ada puskesmas, tapi nggak pernah ada dokter dan obatnya,” sesal Hatta.

Sedangkan Ketua Persatuan Karang Taruna Burangkeng, Carsa Hamdani menyampaikan, TPSA Burangkeng harus direvitalisasi. Lahannya harus diperluas dan metode pembuangan juga diperbaiki.

“Jangan hanya sampah dibuang begitu saja. Belum lagi setiap hari jalan menuju TPSA Burangkeng macet, karena ada antrean mobil sampah,” bebernya.

Selain masalah lingkungan yang tercemar, lanjut Carsa, Pemkab Bekasi juga menunggak pemberian dana kompensasi kepada warga sepanjang tahun ini. Padahal, dana kompensasi ini diberikan kepada warga yang terkena dampak dari keberadaan TPSA Burangkeng, meski nominalnya terbilang minim.

Dana kompensasi itu diberikan sebesar Rp 100.000 per Kepala Keluarga (KK) setiap bulan. Namun sudah tujuh bulan, dana tersebut juga belum dibayarkan ke warga.

“Kompensasi itu bukan berarti kami setuju dengan keberadaan TPSA Burangkeng yang kondisinya tidak dibenahi seperti saat ini. Tapi, kompensasi yang sebenarnya tidak seberapa ini pun tidak dibayarkan,” kritik Carsa.

Selain nominalnya yang minim, tambah Carsa, jumlah KK yang memperoleh dana kompensasi itu minoritas. Dari 13.000 KK di Burangkeng, hanya sekitar 3.000 yang mendapatkan dana kompensasi.

Kepala Bidang Kebersihan pada Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bekasi, Khoirul Hamid, mengakui kondisi TPSA Burangkeng tidak lagi memadai. Namun, pihaknya sudah mengusulkan untuk diperbaiki, hanya belum mendapat titik terang.

“Masalahnya, persoalan sampah ini dibebankan pada satu bidang. Padahal, setiap Organisasi Perangkat Daerah (OPD), setiap orang di Bekasi itu menghasilkan sampah. Maka pengelolaan sampah ini perlu dukungan,” beber Hamid.

Disampaikan Hamid, perluasan TPSA Burangkeng sangat dimungkinkan. Berdasarkan regulasi, luas TPSA Burangkeng itu smencapai 11,6 hektar. Sedangkan, dari hasil pengukuran DLH dengan BPN Kabupaten Bekasi, lahan yang digunakan baru berkisar 9,5 hektar.

“Ada dua hektar lagi lahan yang dapat diperluas. Perluasan ini bisa dilakukan di sisi kanan, kiri dan sekitarnya. Ini menjadi peluang agar bisa diluaskan. Kami mohon juga, ini bisa segera dilakukan,” tutur Hamid.

Ia menambahkan, langkah lain, yakni membangun sistem pengelolaan sampah terpadu di setiap wilayah. Perubahan pola ini dapat mengurangi produksi sampah secara signifikan. Sehingga, sampah yang dibuang ke TPSA hanya sebagian kecil dari produksi sampah harian.

“Karena tidak hanya perluasan saja tetapi pengelolaan sampahnya harus diubah. Ini yang kami ajukan,” ungkap Hamid.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi III DPRD Kabupaten Bekasi, Cecep Noer menegaskan, pihaknya mendukung rencana perluasan TPSA Burangkeng. Bahkan, dari hasil pantauan di lapangan dan menggali persoalan yang terjadi, perluasan sampah bisa dilakukan tahun ini, dengan memanfaatkan Anggaran Pendapatan Belanja Daeragh (APBD) Perubahan 2022.

“Dari segi hitungan seharusnya masuk, perluasan dua hektar itu bisa dimasukkan ke APBD Perubahan. Terkait persoalan anggarannya ada atau nggak, saya pikir harus diprioritaskan, karena ini persoalannya mendesak,” terang Cecep.

Selain perluasan lahan, perbaikan jalan dan pembuatan dinding pembatas bisa dilakukan tahun ini juga. Terkait dana kompensasi, Cecep menegaskan, anggarannya telah disiapkan. Hanya saja, penggunaannya harus menunggu surat keputusan bupati.

“Pembatas agar sampah tidak meluber ke pemukiman warga. Hasil ini akan kami laporkan ke pimpinan dewan, dan juga ke penjabat bupati, karena tentu yang melaksanakan pemerintah daerah. Termasuk dana kompensasi kami harap bisa diterbitkan SK-nya,” imbuh Cecep. (and)

CAPTION:

KELILINGI DEWAN: Sejumlah warga yang melakukan aksi damai, mengelilingi anggota DPRD Kabupaten Bekasi, saat sidak di Tempat Pembuangan Sampah Akhir (TPSA) Burangkeng, Setu Kabupaten Bekasi, Selasa (7/6). ARIESANT/RADAR BEKASI

Kecewa Pengelolaan Sampah, Warga Ancam Gugat Pemkab

SETU – Warga Burangkeng berencana menggugat Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bekasi, dalam hal ini Dinas Lingkungan Hidup (DLH), karena dinilai tidak mampu menyelesaikan persoalan sampah yang sudah menggunung (overload), di Tempat Pembuangan Sampah Akhir (TPA) Burangkeng.

Hal itu disampaikan oleh puluhan warga yang melakukan aksi damai, saat Komisi III DPRD Kabupaten Bekasi bersama Dinas Lingkungan Hidup (DLH) dan Dinas Perumahan Rakyat Kawasan Permukiman dan Pertanahan meninjau TPSA Burangkeng.

Aksi tersebut juga dilakukan sebagai buntut kekecewaan mereka terkait pengelolaan sampah yang tak kunjung dibenahi.

Selama bertahun tahun warga sekitar merasakan dampak dari keberadaan TPSA yang kian merusak lingkungan. Kondisi ini, diperburuk dengan tidak adanya sampah yang dikelola terlebih dahulu, sehingga langsung dibuang dengan cara ditumpuk ke TPSA.

Alhasil, sampah makin menggunung dan tak jarang tumpukkan sampah itu longsor hingga pencemaraan tambah meluas. Dalam aksi tersebut, warga mendesak Pemkab Bekasi segera memperbaiki pola pengelolaan sampah. Jika tidak dilakukan, mereka mengancam bakal menggugat pemerintah daerah, karena dinilai telah merugikan warga.

“Kami butuh lingkungan hidup bersih, aman, nyaman, sehat jauh dari bising dan baunya sampah dari TPSA. Kami merasa keluhan kami dengan berbagai upaya, dari dulu hingga sekarang tidak ada tanggapan,” ucap salah seorang warga peserta aksi, Muhammad Hatta.

Menurut dia, sejak 2006 lalu, warga sudah menyatakan TPSA sudah melebihi kapasitas. Pihaknya pun telah menyampaikan ke pemerintah, baik dari tingkat desa, kecamatan hingga kabupaten. Namun tidak ada tanggapan. Bahkan hingga kini, kondisi TPSA satu-satunya di Kabupaten Bekasi itu makin parah, lantaran sampah yang semakin menumpuk di area seluas sembilan hektar tersebut.

“Kami sudah bilang, jika kondisi TPSA Burangkeng ini sudah overload dari tahun 2006. Coba dikaji ulang, jangan sampai merugikan kesehatan masyarakat. Seluruh warga sekitar ini terdampak. Tolong minta diperhatikan lingkungan,” beber Hatta.

Ia menilai, karena lingkungan sekitar makin rusak, kesehatan warga pun terganggu. Bau sampah yang dihembuskan angin menyengat hingga beberapa kilometer. Selain itu, aliran sungai pun turut tercemar dan bau.

“Apabila TPSA ini tetap dipertahankan, tolong diperhatikan kebersihan lingkungan, warga harus dibina dengan dokter buat kesehatan. Selama ini ada puskesmas, tapi nggak pernah ada dokter dan obatnya,” sesal Hatta.

Sedangkan Ketua Persatuan Karang Taruna Burangkeng, Carsa Hamdani menyampaikan, TPSA Burangkeng harus direvitalisasi. Lahannya harus diperluas dan metode pembuangan juga diperbaiki.

“Jangan hanya sampah dibuang begitu saja. Belum lagi setiap hari jalan menuju TPSA Burangkeng macet, karena ada antrian mobil sampah,” bebernya.

Selain masalah lingkungan yang tercemar, lanjut Carsa, Pemkab Bekasi juga menunggak pemberian dana kompensasi kepada warga sepanjang tahun ini. Padahal, dana kompensasi ini diberikan kepada warga yang terkena dampak dari keberadaan TPSA Burangkeng, meski nominalnya terbilang minim.

Dana kompensasi itu diberikan sebesar Rp 100.000 per Kepala Keluarga (KK) setiap bulan. Namun sudah tujuh bulan, dana tersebut juga belum dibayarkan ke warga.

“Kompensasi itu bukan berarti kami setuju dengan keberadaan TPSA Burangkeng yang kondisinya tidak dibenahi seperti saat ini. Tapi, kompensasi yang sebenarnya tidak seberapa ini pun tidak dibayarkan,” kritik Carsa.

Selain nominalnya yang minim, tambah Carsa, jumlah KK yang memperoleh dana kompensasi itu minoritas. Dari 13.000 KK di Burangkeng, hanya sekitar 3.000 yang mendapatkan dana kompensasi.

Kepala Bidang Kebersihan pada Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bekasi, Khoirul Hamid, mengakui kondisi TPSA Burangkeng tidak lagi memadai. Namun, pihaknya sudah mengusulkan untuk diperbaiki, hanya belum mendapat titik terang.

“Masalahnya, persoalan sampah ini dibebankan pada satu bidang. Padahal, setiap Organisasi Perangkat Daerah (OPD), setiap orang di Bekasi itu menghasilkan sampah. Maka pengelolaan sampah ini perlu dukungan,” beber Hamid.

Disampaikan Hamid, perluasan TPSA Burangkeng sangat dimungkinkan. Berdasarkan regulasi, luas TPSA Burangkeng itu mencapai 11,6 hektar. Sedangkan, dari hasil pengukuran DLH dengan BPN Kabupaten Bekasi, lahan yang digunakan baru berkisar 9,5 hektar.

“Ada dua hektar lagi lahan yang dapat diperluas. Perluasan ini bisa dilakukan di sisi kanan, kiri dan sekitarnya. Ini menjadi peluang agar bisa diluaskan. Kami mohon juga, ini bisa segera dilakukan,” tutur Hamid.

Ia menambahkan, langkah lain, yakni membangun sistem pengelolaan sampah terpadu di setiap wilayah. Perubahan pola ini dapat mengurangi produksi sampah secara signifikan. Sehingga, sampah yang dibuang ke TPSA hanya sebagian kecil dari produksi sampah harian.

“Karena tidak hanya perluasan saja tetapi pengelolaan sampahnya harus diubah. Ini yang kami ajukan,” ungkap Hamid.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi III DPRD Kabupaten Bekasi, Cecep Noer menegaskan, pihaknya mendukung rencana perluasan TPSA Burangkeng. Bahkan, dari hasil pantauan di lapangan dan menggali persoalan yang terjadi, perluasan sampah bisa dilakukan tahun ini, dengan memanfaatkan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Perubahan 2022.

“Dari segi hitungan seharusnya masuk, perluasan dua hektar itu bisa dimasukkan ke APBD Perubahan. Terkait persoalan anggarannya ada atau nggak, saya pikir harus diprioritaskan, karena ini persoalannya mendesak,” terang Cecep.

Selain perluasan lahan, perbaikan jalan dan pembuatan dinding pembatas bisa dilakukan tahun ini juga. Terkait dana kompensasi, Cecep menegaskan, anggarannya telah disiapkan. Hanya saja, penggunaannya harus menunggu surat keputusan bupati.

“Pembatas agar sampah tidak meluber ke pemukiman warga. Hasil ini akan kami laporkan ke pimpinan dewan, dan juga ke penjabat bupati, karena tentu yang melaksanakan pemerintah daerah. Termasuk dana kompensasi kami harap bisa diterbitkan SK-nya,” imbuh Cecep. (and)