RADARBEKASI.ID, BEKASI – Sampah masih menjadi persoalan rumit yang harus dijawab oleh pemerintah dan masyarakat di Bekasi. Kabar keberadaan tempat sampah ilegal, saluran air penuh sampah, hingga Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah over kapasitas tidak pernah absen menghiasi media massa di Bekasi. Di Tengah persoalan pelik itu, bukan tidak ada masyarakat yang berjuang mengelola sampah, salah satunya masyarakat di RW 020, Desa Karangsatria, Kecamatan Tambun Utara, Kabupaten Bekasi.
Laporan : Surya Bagus
TAMBUN UTARA
Bak Motor (Baktor) datang membawa 1 kubik sampah rumah tangga, jumlahnya sama dengan 1000 kg, berhenti tepat di samping tempat pembakaran sampah yang tengah beroperasi. Suhu panas sangat terasa di permukaan kulit setiap orang yang berada di dekat pembakaran sampah, dibangun dengan bahan seng membentuk tong besar, di dalamnya sampah dibakar habis menjadi abu.
Sampah yang baru datang dari permukiman tidak langsung masuk ke dalam tempat pembakaran, petugas lebih dulu akan memilah, mana sampah yang tergolong organik dan non organik. Hanya sampah non organik dan tidak memiliki nilai ekonomis yang akan masuk ke dalam tempat pembakaran sampah.
Letak tempat pengelolaan sampah ini berada di luar permukiman masyarakat, berbatasan dengan wilayah Kota Bekasi, disekitarnya terdapat beberapa perumahan, kali mengalir melewati pemukiman warga sampai ke saluran air Cikarang Bekasi Laut (CBL). Kali dan tepi jalan ini oleh warga dikenal sebagai tempat pembuangan sampah liar, hampir tiap pekan warga sekitar bekerja bakti membersihkan sampah yang dibuang oleh tangan-tangan jahil, mereka sadar ada bencana besar yang akan ditimbulkan, mulai dari penyakit sampai banjir.
“Minimal kita bisa mengurangi, awalnya seperti itu,” kata salah satu penggagas tempat pengolahan sampah, Yusuf Bahtiar.
Latar belakang tersebut membuat enam orang warga memutar otak guna menanggulangi keberadaan sampah liar, sekaligus meminimalisir tonase sampah yang dibuang ke TPA. Tempat pengolahan sampah yang dibangun warga pertengahan tahun 2021 lalu menghasilkan sirkulasi pengelolaan sampah. Sampah yang dihasilkan rumah tangga berubah menjadi uang, pupuk, dan asap hasil pembakaran yang cukup baik kualitasnya untuk dibuang ke alam bebas.
Warga yang melintas akan mudah menjumpai tempat ini. Selain berada di luar komplek pemukiman warga, spanduk bertuliskan bank sampah, budidaya lele dan magot, hidroponik workshop memberikan informasi keberadaan tempat pengolahan sampah ini.
Tepat di bagian depan area pengolahan sampah, nampak tiga bangunan tempat pembakaran sampah, dua lainnya dibangun dengan bahan dasar seng untuk membakar sampah, satu lagi dibuat dengan bahan dasar batu bata putih untuk mengolah asap hasil pembakaran sehingga aman ketika dilepas ke udara.
Sampah yang baru datang dipilah, sampah non organik dibedakan menjadi sampah non organik bernilai ekonomis dan sampah non organik tidak bernilai ekonomis. Sampah tidak bernilai ekonomis kemudian dikeringkan untuk memudahkan proses pembakaran, setelah kering sampah dimasukkan dalam ruang pembakaran, disulut dengan kompor gas lalu didiamkan sampai semua sampah didalamnya terbakar.
Kedua tempat pembakaran ini dihubungkan dengan ruang pengolahan asap menggunakan corong yang juga dibangun berbahan dasar seng. Ruang pengolahan sampah ini berisi spray air di bagian dalamnya, air berfungsi menangkap timbal yang terkandung di dalam asap bekas pembakaran sampah.
Hasilnya, asap yang dibuang ke udara berwarna putih dan tidak berbau, lebih baik kualitasnya dibandingkan asap yang dilepas ke udara secara langsung dari pembakaran sampah tanpa diolah, berwarna hitam pekat dan bau. Tempat ini telah didatangi oleh petugas dari Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bekasi, penuturan dari pengelola dipastikan kualitas asapnya baik.
Sedangkan sampah anorganik yang memiliki nilai ekonomis dijual. Lalu sampah organik dimanfaatkan sebagai bahan makanan magot yang dibudidaya di lokasi yang sama, bau busuk dari sampah organik hilang setelah dimasukkan ke dalam wadah berisi maggot.
Sirkulasi pengolahan sampah tidak berhenti disitu, magot yang diproduksi digunakan untuk sumber makanan ikan lele yang juga dibudidaya. Kotoran maggot digunakan sebagai campuran pupuk kompos, dicampur dengan abu hasil pembakaran sampah, digunakan untuk media tanam berbagai tanaman di area pengelolaan sampah. Sehingga, tidak ada satupun sampah maupun barang yang dihasilkan dari pengelolaannya dibuang cuma-cuma ke Lingkungan.
Total 1 kubik sampah bisa bisa dikelola dalam satu kali proses. Setiap RT bisa membuang sampahnya kesini, dengan syarat tidak boleh ada sampah yang dibuang sembarangan di lingkungannya, termasuk ke dalam saluran air.
Sirkulasi pengolahan sampah rumah tangga ini dibangun oleh enam orang tanpa basic persampahan. Modal utama mereka hanya peduli dengan lingkungan tempat tinggal, mempelajari konsep pengolahan sampah dengan incenerator dari YouTube, lalu memperbaiki setiap kekurangan dari pengalaman yang tercipta seiring proses perjalanan waktu.
Warga biasa hingga pengurus PKK dan Posyandu dilibatkan untuk mengelola sampah, termasuk mengedukasi masyarakat. “Kita banyak divisi sekarang dari pengelolaan sampah ini, ada divisi maggot, hidroponik, lele, bank sampah, jadi masing-masing ada penanggung jawab sendiri. Sebenarnya sedikit, masing-masing cuma satu orang,” ungkapnya.
Mendorong masyarakat aktif mengelola warga tidak mudah, seperti memilah sampah dari rumah. Jika kesadaran memilah sampah sejak dari rumah bisa dilaksanakan, maka akan mempermudah petugas di tempat pengolahan sampah ini.
Untuk mendorong masyarakat mau berperan aktif, maka pendekatan ekonomi harus dipilih, yakni bagi hasil. Konsep pertama ini dibutuhkan lantaran alat-alat yang digunakan untuk membakar sampah butuh perawatan, pengelola bekerjasama dengan bengkel yang berdiri tepat di depan area pengolahan sampah, biaya sewa tempat ditukar perawatan alat secara rutin tiap akhir pekan.
Kemudian bagi masyarakat, manfaat ekonomi didapat dari bank sampah, syaratnya masyarakat mau memilah sampah organik dan non organik di rumah. Hasil sampah bernilai ekonomis dibeli oleh bank sampah, berguna untuk menutupi biaya iuran sampah Rp15 ribu per bulan, jika hasilnya lebih dari itu, masyarakat bisa untung.
“Misalkan nanti dia dapat Rp10 ribu, walaupun bayarnya Rp15 ribu kan jadi Rp5 ribu, asal dia mau milah,” tambahnya.
Iuran sampah dari warga tetap diperlukan untuk biaya operasional, diantaranya gaji bagi 3 petugas yang saat ini bekerja dan biaya pembelian bahan bakar untuk operasional Baktor. Total ada 500 Kepala keluarga (KK) yang membuang sampahnya disini.
Tiga orang karyawan digaji Rp1,5 juta per bulan, disebut lebih besar dibanding petugas sampah lain yang hanya menerima honor Rp1 juta per bulan. Sampah ekonomis yang dipilah oleh petugas menjadi tambahan penghasilan mereka, satu pekan setidaknya bisa menghasilkan uang tambahan Rp500 ribu untuk tambahan penghasilan.
“Pasti sudah merasa berat tidak akan membuang sampah sembarangan, itu yang diinginkan, dan nanti kalau sudah bisa dikelola sendiri minimal pembuangan sampah (ke TPA) nanti tidak besar,” tukasnya.
Bukan hanya ekonomi tujuan utamanya, Yusuf meyakini jika masyarakat merasakan betapa sulitnya mengelola sampah, kesadaran untuk tidak membuang sampah sembarangan akan timbul. Dalam sehari, petugas tiga kali mengangkut sampah dari rumah warga, maka tidak kurang dari 3 ribu kg sampah berhasil diolah dan tidak bermuara di TPA.
Bahkan hasil dari pengamatannya, total sampah liar yang berhasil dikurangi mencapai 70 persen, berasal dari dalam saluran air maupun tepi jalan lingkungan.(*)