Berita Bekasi Nomor Satu

Ribuan Kelas Tanpa Meja Kursi

DIATAS TIKAR : Seorang guru mengajarkan para muridnya di SDN Sukadaya 02 Kecamatan Sukawangi Kabupaten Bekasi, Senin (22/8). Sudah lima tahun, para murid SDN Sukadaya 02 belajar di atas tikar dengan kondisi kelas yang rusak.ARIESANT/RADAR BEKASI

RADARBEKASI.ID, BEKASI – Menyandang daerah yang memiliki Kawasan industri terbesar di Asia tenggara, tidak menjamin dunia Pendidikan di kabupaten Bekasi lebih baik. Buktinya, ribuan ruang kelas di wilayah dengan 23 kecamatan tersebut belum dilengkapi dengan meja kursi.

Data yang dihimpun Radar Bekasi, pada tahun 2020 lalu terdapat 1.754 ruang kelas di kabupaten Bekasi tanpa meja kursi. Jumlah tersebut meningkat dari tahun sebelumnya yakni 715 ruang kelas di tahun 2019 dan 1.200 ruang kelas di tahun 2017.

Seperti yang terlihat di Sekolah Dasar Negeri (SDN) Sukadaya 02, sejumlah siswa terpaksa harus belajar ‘deprok’ tanpa meja kursi. Kondisi seperti ini sudah berlangsung selama lima tahun belakangan, namun ironisnya tidak ada perhatian yang diberikan oleh Pemerintah Kabupaten Bekasi, walaupun pihak sekolah sudah sering mengajukan permohonan untuk pengadaan meja dan kursi.

Terlihat, siswa kelas VI (enam) di SD tersebut harus belajar dilantai dengan beralaskan tikar atau lampit. Posisi para siswa harus membungkuk ketika mengikuti pelajaran yang diberikan oleh guru. Alhasil, para siswa sering mengeluhkan pegal-pegal akibat belajar yang tidak sepantasnya. Bahkan, pakaian atau seragam siswa kotor karena terkena debu dari lantai.

“Ya badan pada pegal-pegal setiap pulang sekolah. Ini sudah lima tahun (belajar tanpa meja dan bangku),” ucap Fitria, siswa kelas VI (enam) SDN Sukadaya 02, saat ditemui disela-sela kegiatan belajar.

Tidak hanya meja dan kursi yang menjadi persoalan di sekolah tersebut. Kondisi sekolah yang sudah tidak layak, juga menjadi persoalan untuk siswa di sekolah tersebut. Pasalnya setiap turun hujan kondisi ruang kelas bocor, akibatnya kegiatan belajar harus dihentikan. “Kalau hujan bocor juga, ya sangat mengganggu,” ungkap Fitria.

Dari pantauan Radar Bekasi dilokasi, kondisi sekolah memang sudah tidak layak digunakan untuk kegiatan belajar. Karena plafon dan atap sekolah banyak rusak, tentunya kondisi tersebut sangat membahayakan para siswa yang belajar. Hal itu dirasakan oleh para wali murid, yang setiap hari khawatir dengan kondisi anak-anaknya. Terlebih saat angin dan hujan.

“Saya cemas dengan kondisi sekolah seperti ini. Saya khawatir, karena kondisi sekolah pada jebol, takutnya pada jatuh, apalagi kalau musim hujan bocor. Setiap pulang selalu mengeluh pegal, dan pakaiannya pada kotor,” ucap salah satu wali murid, Mini Mirawati.

Dirinya mengungkapkan, fasilitas di sekolah yang memiliki ruang belajar lima kelas ini sangat kurang, sedangkan jumlah siswa mencapai 300. Diharapkan, pemerintah segera membangun atau memperbaiki sekolah tempat anaknya menuntut ilmu ini, agar para orang tua tidak khawatir.

“Harapannya ini sekolah cepat dibangun, biar kita sebagai orang tua kaga khawatir. Anak-anak juga bisa nyaman sekolahnya,” ucapnya.

Ditempat yang sama, Kepala SDN 02 Sukadaya, Eko Susanto mengungkapkan, kondisi kelas di sekolah yang dipimpinnya ini hampir 90 persen mengalami kerusakan. Sedangkan, satu kelas tidak ada sarana seperti meja dan kursi. Menurutnya, kondisi seperti ini sudah berlangsung cukup lama. Untuk kelas yang tidak ada meja dan kursi, pihak sekolah terpaksa menyediakan alas, agar siswa tidak kotor dan badannya hangat.

“Sebenarnya kalau untuk mengusulkan kami sudah bicara dengan pengawas. Bahkan Ketua PGRI pernah meminta kami membuat proposal, tapi belum ada terealisasinya sampai sekarang,” bebernya.

Menyikapi itu, Pj Bupati Bekasi, Dani Ramdan mengaku ada beberapa sekolah yang tidak punya bangku dan meja. Sejauh ini kata Dani, ada empat sekolah dan kondisinya masih ditangani pihak sekolah. “Sejauh ini ada empat dan bisa ditangani dulu oleh sekolah. Karena disatu sisi ada yang kurang bangku dan disisi lain ada sekolah-sekolah yang muridnya berkurang. Sambil menunggu proses pengadaan,” katanya.

Terpisah, Anggota Komisi IV (empat) DPRD Kabupaten Bekasi, Fatmah Hanum mengaku, pihaknya sudah mengalokasikan anggaran di tahun 2023,”Pengelolaan yang pelayanan pendidikan yang masih belum maksimal. Kalau ditanyakan, karena pemegang kebijakan kita itu ganti-ganti, walaupun itu sebenarnya tidak menjadi alasan utama, kalau dari awalnya sudah ada kebijakan-kebijakan yang bisa melewati itu,” ucapnya.

Selain itu, dirinya membeberkan, persoalan ini juga disebabkan karena aturan-aturan yang ada itu tidak pas. Karena memang untuk itu membutuhkan kepemimpinan yang kuat. Dirinya mencontohkan, sekarang di Kabupaten Bekasi sistemnya sudah di bagi-bagi sesuai kerjanya, misalkan dinas cipta karya bagian pembangunan, sedangkan dinas pendidikan pengadaan.

“Antara pengadaan yang ada di Disdik dengan pembangunan yang dikerjakan oleh Cipta Karya, ini tidak sinkron. Aturan-aturan ini bisa saja diberikan ke Cipta Karya, ketika dia membangun ruangan, harus menyediakan meblernya, jadi klop,” ucapnya.

Pengamat Pendidikan Bekasi, Imam Kobul Yahya mengatakan bahwa ada dua persoalan mendasar yang melatar belakangi permasalahan pendidikan di Bekasi. Pertama, pendidikan belum menjadi prioritas pemerintah daerah hingga kepala daerahnya.”Yang pertama dia (pendidikan) nggak prioritas. Masalahnya nggak ada pemimpin Bekasi yang lahir, yang senang dengan pendidikan,” katanya, Senin (22/8).

Kedua, regulasi yang mengatur kebijakan teknis pembangunan gedung dan pengadaan sarana prasarana termasuk meubelair juga menjadi salah satu faktor. Pembangunan gedung sekolah dan pengadaan sarana prasarana yang terbagi di dua Organisasinya Perangkat Daerah (OPD) membuat keduanya tidak berjalan beriringan.

Ketentuan ini kata Imam termaktub dalam Peraturan Pemerintah (PP) nomor 17 tahun 2010 tentang pendanaan pendidikan, regulasi yang sejak awal ditolak oleh masyarakat yang memberikan perhatian lebih pada dunia pendidikan.

Sehingga yang terjadi, gedung sekolah sudah dibangun, meja dan kursi untuk siswa belum dianggarkan, siswa harus rela belajar di lantai. Meskipun kata Imam, keduanya bisa berjalan beriringan sesuai dengan perencanaan pembangunan daerah yang disusun oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda).

“Semua harus tetap dikongkow (didudukkan) di Bappeda. Nah, (di) Bappedanya itu nggak prioritas kan gitu, jadi banyak mereka bikin alasan nggak diusulkan nggak diusulkan,” tambahnya.

Menurut Imam, tidak ada alasan untuk jawaban meja dan kursi tidak diusulkan oleh Dinas Pendidikan (Disdik) atau Satuan Pendidikan (SP). Pasalnya, kondisi tiap sarana dan prasarana satuan pendidikan dapat dilihat dalam laporan yang dibuat oleh SP per tiga bulan, empat kali dalam setahun pemerintah daerah akan menerima laporan tersebut.

Sehingga dapat diketahui sarana dan prasarana yang tergolong dalam kondisi baik, rusak ringan, rusak sedang, rusak berat, hingga rusak total. Laporan ini bisa menjadi dasar kebijakan penganggaran pemerintah daerah untuk memperbaiki kualitas pendidikan.

Imam menyebut bahwa Pendidikan menjadi salah satu urusan wajib pemerintah daerah dimana 20 persen dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)nya dialokasikan khusus untuk dunia pendidikan.

Dengan potensi ekonomi yang cukup besar, Kabupaten Bekasi memerlukan Blueprint, yakni kerangka kerja terperinci untuk menyelesaikan permasalahan dunia pendidikan. Kerangka kerja ini akan membuahkan gambaran besar kebijakan yang harus diambil, diantaranya penyelesaian ruang kelas tanpa bangku dan meja belajar setiap tahun hingga tuntas.

“Makanya saya bilang perlu Blueprint. Blueprint itu misalkan dia harus punya target standar pelayanan minimalnya seperti apa, sarana dan prasarananya sampai kapan, sampai dianggap selesai,” tukasnya.

Selain itu, ia juga melihat minimnya inovasi kepala sekolah. Beberapa cara yang seharusnya bisa dilakukan adalah dengan memaksimalkan kerjasama penyaluran dana Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan di sekitar.

Atau menggunakan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk memperbaiki sarana dan prasarana yang tergolong rusak ringan dan tidak membutuhkan biaya terlalu besar. (pra/Sur)