RADARBEKASI.ID, BEKASI – Sejatinya program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) ialah bentuk nyata simbiosis mutualisme antara pemerintah dan rakyatnya. Program ini akan mempermudah pemerintah dalam menata daerahnya sedangkan rakyat mendapatkan kepastian hukum atas kepemilikan tanahnya dengan cepat. Idealnya begitu. Namun kondisi tersebut tak berlaku di Bekasi. PTSL kerap dijadikan para oknum aparat sebagai momentum ‘lebaran pungli’. Keberadaan pungli yang diketok para oknum aparat wilayah di Bekasi memang sudah keterlaluan. Hal ini lantas membuat Kejaksaan Negeri Kab Bekasi bertindak. Walhasil, dua kepala desa yang kedapatan menarik pungli PTSL digaruk.
Mereka yang dicokok di antaranya Kepala Desa Lambangsari, Pipit Haryati, dengan pungutan sebesar Rp 400.000, setiap sertifikat. Kemudian, Kepala Desa Cibuntu, Abdul Rohim, dengan pungutan sebesar Rp 1,9 juta setiap 100 meter tanah. Tentunya, kepala desa yang lain terancam terjerat kasus yang sama.
Lantas apakah PTSL sepenuhnya gratis? Dari informasi yang dirangkum redaksi Radar Bekasi, tetap ada biaya dalam pengurusan PTSL . Biaya itu muncul ketika Pra-PTSL yang dibantu atau diakomodir Pemerintah Desa (Pemdes).
Masyarakat masih tetap dibebankan untuk pembayaran pemasangan patok, fotokopi, materia, pembuatan surat pernyataan dari desa dan sebagainya.
Batasan biaya yang boleh dipungut oleh Pemerintah Desa/Kelurahan termaktub dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri.
Meliputi Menteri ATR/BPN, Menteri Dalam Negeri (Mendagri), dan Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Trasmigrasi (Mendes PDTT).
Paling rendah di Jawa Rp 150.000, dan paling tinggi di Papua sekitar Rp 450.000.
Nah, sedangkan biaya lain-lain seperti sosialisasi, pengukuran, hingga penerbitan sertifikat tanah telah ditanggung oleh APBN alias gratis.
Aturan yang sudah berlaku sejak 2017 tersebut sayangnya tak berlaku sepenuhnya di Bekasi. Dari penelusuran wartawan koran ini, sebab masyarakat di hampir semua desa justru terbebani pungli. Besarannya bervariasi, mulai ratusan ribu rupiah sampai jutaan.
Seperti yang terjadi di Desa Sukakerta, Kecamatan Sukawangi, Kabupaten Bekasi. Dimana, sertifikat milik warga harus ditahan oleh pihak desa lantaran belum mempunyai uang untuk menebusnya.
Dari informasi dari warga yang berada di Desa Sukakerta, pihak desa mematok harga Rp 450.000, dengan rincian pengukuran Rp 150.000, dan biaya menebus ketika jadi Rp 300.000.
“Nggak bisa negosiasi, pokoknya kalau belum ada duit, sertifikat nggak bisa diambil. Mangkanya sertifikat saya ditahan, karena belum ada duit,” ujar Warga Kampung Galian, Desa Sukakerta, Ramin.
Menurutnya, pihak desa mendatangi rumahnya untuk memberitahu bahwa sertifikat tanah miliknya sudah jadi. Namun, untuk mengambil sertifikat tersebut dirinya diminta menyiapkan uang Rp 300.000. Setelah mendengar itu, dirinya langsung mencari informasi ke warga yang memang sudah mengambil sertifikat. Ternyata, memang ada biaya penebusan Rp 300.000.
“Saya nanya saudara, kata dia sertifikatnya sudah diambil, ngasih duit Rp 300.000. Duitnya dikasih ke bininya RT. Tapi nggak dikasih kwitansi,” bebernya.
Namun demikian, tidak semua warga di Desa Sukakerta dimintai biaya sebesar Rp 450.000. Pasalnya, ada warga yang harus mengeluarkan uang lebih dari itu saat mengurus sertifikat tanah melalui program PTSL. Seperti yang diungkapkan warga Kampung Gombang, Desa Sukakerta, Sutoyo. Kata dia, dari informasi warga yang sertifikatnya sudah jadi, harus mengeluarkan uang sebesar Rp 520.000.
“Katanya habis Rp 520.000. Rinciannya, pas pengukuran Rp 150.000 dan membeli materai Rp 20.000. Kemudian pas sudah jadi diminta Rp 300.000, dan biaya rokok untuk pegawai Rp 50.000,” ungkapnya.
Berbeda yang diungkapkan warga Desa Sukawangi, Kecamatan Sukawangi, Jaya. Menurutnya, harus mengeluarkan biaya Rp 750.000, untuk mendapatkan sertifikat tanah miliknya. Pasalnya, dalam proses pembuatan sertifikat tersebut sampai tiga kali pengukuran, karena salah dalam menentukan tanah miliknya. Pastinya, setiap pengukuran ada biaya untuk pihak desa.
“Kalau saya hampir Rp 750.000. Pengukuran pertama Rp 150.000, pengukuran kedua Rp 200.000, kemudian pengukuran ketiga Rp 200.000. Lalu pas sertifikat jadi Rp 200.000,” ungkapnya.
Menuurt keterangan dari salah satu pegawai desa yang berada di Kecamatan Sukawangi, biaya yang dipungut kepada para pemohon PTSL itu untuk operasional pihak desa yang membantu mengurusnya. “Ya biaya itu mah buat operasional pegawai desa yang bantu mengurusnya saja,” kata pria yang menjabat sebagai RT ini.
Dari keterangan kuasa hukum Kepala Desa Lambangsari, Bambang Sunaryo. Kata dia, biaya PTSL menurut SKB Rp 150 ribu. Tetapi kenapa sampai munculnya Rp 400 ribu, tentunya ini bukan atas prakasa Kepala Desa Lambangsari sendiri. Melainkan atas keputusan bersama, yakni ada panitia, Sekdes, Badan Permusyawaratan Desa (BPD), Kasi Pemerintahan, Kadus, RT/RW, dan beberapa unsur lainnya, yang ikut menikmati pungutan tersebut.
“Saya sepakat, ini kesalahan atau kekeliruan. Tapi ini bukan prakasa kepala desa, melainkan keputusan bersama Sekdes, Kasi Pemerintahan, RT/RW, Kadus, BPD, dan beberapa lainnya,” jelasnya.
Berdasarkan data yang ada di Desa Lambangsari, aliran uang pungutan PTSL sebesar Rp 400 ribu. Pertama Kepala Desa Rp 80 ribu, yang digunakan untuk operasional sosialisasi dan lainnya. Kemudian untuk pribadi, Sekdes Rp 60 ribu, Kasi Pemerintahan Rp 60 ribu, RT Rp 50 ribu, RW Rp 50 ribu, BPD Rp 15 ribu, Kadus Rp 35 ribu, input komputer Rp 20 ribu, dan sekretariatan Rp 35 ribu.
Oleh karena itu Bambang menilai, Kepala Kejaksaan Negeri Kabupaten Bekasi, Ricky Setiawan, dinilai tibang pilih dalam menegakan aturan Pungli Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL).
“Jadi satu sertifikat itu Rp 400 ribu, dan itu di bagi-bagi. Kenapa yang lainnya tidak jadi tersangka. Ini tanda tanya besar. Kalau kepala kejaksaan mau bersikap adil, jadikan semua tersangka. Karena kepala desa tidak berdiri sendiri,” tukasnya.
Ketua Komisi I DPRD Kabupaten Bekasi, Ani Rukmini menuturkan, program PTSL itu itikad pemerintah, diperuntuhankan untuk rakyat miskin yang mau mengurus sertifikat tanahnya. Tapi pada kenyatannya, bahwa orang-orang yang mampu di jadikan kesempatan untuk ikut serta dalam program tersebut, tentu saja akhirnya ada iming-iming uang (biaya).
Politis Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini menegaskan, para penegak peraturan harus bekerja keras bagaimana supaya memutus mata rantai itu.
“Ya itu menunjukan ternyata pungutan-pungutan itu sudah beruat, berakar dan menjadi budaya. Sangat di sayangkan, karena program PTSL itu itikad pemerintah untuk membantu rakyat miskin,” ungkapnya.
Harusnya kata Ani, ada arahan yang jelas, bahwa ini program PTSL sudah di biayai oleh pemerintah. Apabila memang ada operasional lain yang dibebankan kepada masyarakat, harus jelas. Misalnya materai maupun yang lainnya. Sebenarnya, penomena pungutan liar seperti ini hampir dilakukan oleh seluruh desa di Kabupaten Bekasi. Hal itu berdasarkan laporan yang masuk ke Komisi I, bahwa pihak desa meminta pungutan PTSL.
“Sebetulnya hampir semua desa ada pungutan kalau buka-bukaan mah. Cuma ada yang apes saja. Karena memang banyak laporan yang masuk ke Komisi I, bahwa minta pungutan PTSL,” bebernya.
Dirinya menyarankan, yang dibutuhkan sekarang ini adalah etikad baik dari jajaran desa sampai ke atas. Pasalnya, sistem untuk memperkuat kontroling, proses pengawasan aliran uang, penggunaan uang negara, sudah cukup memadai. “Kalau sistem untuk memperkuat kontroling, proses pengawasan aliran uang, penggunaan uang negara, saya rasa sudah cukup. Tapi yang diperlukan, etikad para aparat dari jajaran desa sampai ke atas. Menurut saya itu yang dibutuhkan,” sarannya.
Menyikapi itu, Penjabat (Pj) Bupati Bekasi, Dani Ramdan menuturkan, pada dasarnya PTSL itu sudah ada aturan yang mengatur, sehingga setiap penyimpangan dari aturan tentu akan berdampak ke pelanggaran hukum. Oleh karena itu, ketika sudah ditangani aparat penegak hukum, Pemerintah Daerah tidak bisa mengintervensi, karena itu ada kewenangannya sendiri.
“Pada dasarnya PTSL itu sudah ada aturan yang mengatur, setiap penyimpangan akan berdampak ke pelanggaran hukum,” katanya.
Saat disinggung mengenai hampir semua desa melakukan pungutan PTSL, Dani mengungkapkan, memang ada laporan seperti itu dari masyarakat. Dirinya menyarankan, apabila masyarakat merasa ada kelebihan dalam biaya, silahkan laporkan ke inspektorat, yang memang ada di dalam kendali Pemerintah Daerah.
Nanti kata Dani, inspektorat akan turun untuk melakukan penanganan persoalan tersebut, melalui hukum admistrasi negara. Karena memang ini hukum tata negara, sehingga admistrasi yang dilanggarnya.
“Jadi nanti inspektorat yang turun, penanganannya melalui hukum admistrasi negara, tergantung nanti tingkatnya, mulai dari teguran, pengembalian, atau pun pemberhentian jabatan. Tapi kalau sudah masuk ke APH itu ada ranah pidananya. Ini kita tidak bisa intervensi lagi,” ungkapnya.
Sejauh ini, Dani menuturkan, kepala desa yang belum terbukti melakukan pelanggaran hukum mengenai PTSL, sudah diberikan pembinaan dan pencegahan. Dengan cara mengumpulkan seluruh kepaka desa bersama camat untuk mendengarkan arahan atau pun pencerahan dari Kejaksaan Negri Kabupaten Bekasi, menyangkut kepatuhan terhadap hukum, baik pada program PTSL maupun lainnya.
“Mudah-mudahan dari sisi itu ada upaya-upaya dari kepala desa untuk memperbaiki aspek admistrasi dan juga pemenuhan ketentuan dalam PTSL,” tuturnya. (pra)