Berita Bekasi Nomor Satu

Laporan The Washington Post: Ada 40 Letusan Gas Air Mata di Stadion Kanjuruhan

RADARBEKASI.ID, AMERIKA – Media asing The Washington Post mengungkapkan hasil investigasi ekslusif terjadinya tragedi di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur pada 1 Oktober lalu. Sebanyak 131 orang tewas setelah petugas keamanan bentrok dengan penggemar di sebuah stadion sepak bola di Indonesia pada 1 Oktober. Terungkap, polisi menembakkan 40 kali gas air mata dalam peristiwa itu.

Investigasi Washington Post menyebutkan penembakan gas air mata sedikitnya dilakukan 40 kali ke arah kerumunan dalam rentang waktu 10 menit. Kejadian itu melanggar pedoman keamanan internasional untuk pertandingan sepak bola.

Akhirnya kejadian itu membuat penggemar mengalir ke pintu keluar. Amunisi yang dipakai termasuk gas air mata, flash bang dan flare.

Para pejabat mengatakan 131 jiwa tewas pada Kamis. Tinjauan tersebut mengungkapkan bagaimana penggunaan gas air mata oleh polisi dalam menghadapi kemarahan ratusan penggemar dalam pertandingan antara Arema FC dan Persebaya Surabaya itu.

Saat pemain keluar dari lapangan, beberapa pendukung melompati pembatas untuk masuk ke arena pertandingan. Sekitar pukul 21:45, ratusan penonton sudah berada di lapangan. Dua menit setelah para pemain dikawal keluar lapangan, petugas keamanan yang menjaga pintu keluar mulai mendorong mundur kerumunan, membubarkan para penggemar. Ketegangan meningkat dengan cepat.

Terlihat dari video di Twitter Washington Post, petugas mulai menghalau penggemar kembali ke bagian 11, 12 dan 13 dengan peralatan tongkat dan perisai anti huru hara. Sekitar pukul 21:50, polisi meningkatkan gas air mata dan flash bang.

Asap mengepul ke arah bagian tribune selatan.Penonton bagian 9 dan 10 mengatakan mata mereka mulai berkaca-kaca. Di bagian 12 dan 13, orang-orang diselimuti oleh bahan kimia. Massa melompat ke lapangan untuk menghindarinya.

Massa yang mencoba pergi menemukan pintu keluar terhalang, jadi mereka juga melompat ke lapangan. Petugas menembakkan lebih banyak gas air mata ke arah ujung selatan stadion dan ke tribun penonton.

Situasi itu membuat pintu keluar tersendat. Pintu terbuka tetapi terlalu sempit untuk menghadapi massa orang yang keluar.

Seorang pengacara hak asasi manusia, Ranto Sibarani, yang meninjau rekaman video, mengatakan pihak berwenang tampaknya menembakkan amunisi secara sporadis dan tanpa strategi yang jelas. “Hasilnya adalah penggunaan bahan kimia secara besar-besaran dan tidak terkoordinasi,” kata Sibarani.

Profesor dan dari Keele Universitas di Inggris, Clifford Stott, meninjau video yang menunjukkan situasi di Stadion Kanjuruhan. Ia mengatakan apa yang terjadi di Kanjuruhan adalah akibat langsung dari tindakan polisi yang dikombinasikan dengan keburukan dari manajemen stadion.

Clifford Stott bersama dengan pakar pengendalian massa lainnya dan empat aktivis pembela hak-hak sipil, mengatakan penggunaan gas air mata oleh polisi tidak proporsional. “Menembakkan gas air mata ke tribun penonton dengan pintu terkunci, kemungkinan besar tidak akan menghasilkan apa-apa selain korbannya jiwa yang besar. Dan itulah yang terjadi,” kata Stott.

Stott mengatakan apa yang terjadi di Kanjuruhan akibat tindakan semena-mena oleh polisi ditambah buruknya pengelolaan stadion. Dia juga berpendapat, penggunaan gas air mata oleh polisi tidak proporsional.

“Menembakkan gas air mata ke tribun ketika gerbang terkunci hanya akan menyebabkan kematian dalam jumlah besar,” paparnya.

Setelah polisi menembakkan gas air mata, penonton di tribun 9 dan 10 mengungkapkan kepada The Post, mereka batuk-batuk dan mata mereka mulai berair. Di tribun 12 dan 13, para penonton hampir seluruhnya diselimuti asap gas air mata. (jpc)