Berita Bekasi Nomor Satu

Bekasi Setop Jual Obat Cair

RADARBEKASI.ID, BEKASI – Jumlah kasus gagal ginjal akut misterius atau Atypical Progressive Acute Kidney Injury (AKI) terus bertambah, ada sebanyak 206 kasus di data terakhir Kementerian Kesehatan (Kemenkes), dengan tingkat kematian 48 persen. Guna meningkatkan kewaspadaan, Kemenkes telah meminta Tenaga Kesehatan (Nakes) dan Apotek tidak meresepkan dan menjual obat-obatan dalam bentuk cair atau sirup.

Jawa Barat menjadi salah satu Provinsi dengan jumlah kasus tertinggi, yakni 40 kasus bersama dengan DKI Jakarta. Sampai dengan kemarin, Kota Bekasi belum menerima laporan kasus gagal ginjal akut misterius. “Belum ada ditemukan,” kata Plt Walikota Bekasi, Tri Adhianto, Rabu (19/10).

Dalam keterangan resmi yang disampaikan secara Daring, Kemenkes menyebut 206 kasus tersebut tersebar di 20 Provinsi, mengalami peningkatan sejak akhir bulan Agustus 2022, umumnya menyerang anak dibawah enam tahun. Diantara ratusan kasus tersebut, ada 99 kasus kematian yang dilaporkan, atau 48 persen dari total jumlah kasus.

Saat ini Kemenkes dan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) telah membentuk tim untuk melakukan penelusuran terkait dengan gagal ginjal akut misterius ini. Hasil pemeriksaan menyebut bahwa gagal ginjal akut misterius tidak berhubungan dengan vaksin maupun infeksi Covid-19.

Pemeriksaan laboratorium dilakukan oleh Kemenkes, IDAI, BPOM, Ahli Epidemiologi, Farmakolog, dan Puslabfor untuk memastikan penyebabnya. Pemeriksaan sisa sampel obat pasien sementara ini, ditemukan senyawa yang berpotensi memicu gagal ginjal akut misterius, pemeriksaan masih dilakukan pada faktor lain.

“Dalam pemeriksaan terhadap sisa sampel obat yang dikonsumsi oleh pasien, sementara ini ditemukan jejak senyawa yang berpotensi mengakibatkan gangguan ginjal akut progressive Atypical ini,” kata Juru Bicara Kemenkes, Muhammad Syahril.

Selain Nakes dan Apotek, masyarakat juga dihimbau untuk tidak melakukan pengobatan pada anak menggunakan obat dalam bentuk sirup. Saat ini Kemenkes melalui RSCM disebut telah membeli penawar untuk diberikan kepada pasien yang masih dalam perawatan di seluruh rumah sakit.

Belakangan, Paracetamol menjadi perbincangan di tengah masyarakat setelah larangan penggunaan obat jenis sirup ini. Penasihat IDAI Perwil Bekasi, Triza Arif Santosa mengatakan bahwa Paracetamol tetap masih bisa dikonsumsi dalam bentuk lain, seperti kapsul, atau tablet.

Sementara yang dianjurkan oleh IDAI adalah obat sediaan cair atau sirup, meliputi semua jenis obat, termasuk vitamin. Lebih lanjut, semua jenis sediaan obat cair tersebut akan dilakukan penelitian.

“Jadi sementara waktu ini kita anjurkan semua obat-obatan sirup, apapun jenisnya itu stop dulu sementara sampai ada rilis resmi dari Kementerian Kesehatan,” ungkapnya.

Sebagai penggantinya, masyarakat dapat menggunakan sediaan obat lain, seperti puyer, tablet, atau Suppositoria yang biasa diberikan lewat dubur. Namun kata Triza, yang terpenting adalah konsultasikan semua penggunaan obat untuk anak kepada dokter.”Jadi jangan minum obat sendiri ke apotek, tanpa resep dokter, tanpa konsultasi ke dokter,” tambahnya.

Sediaan obat cair memang tidak ditarik dari peredaran, hanya diminta untuk tidak diresepkan, dijual, dan dikonsumsi sementara waktu. Salah satu Apotek di kawasan Bekasi Timur mengaku sudah tidak menjual sediaan obat jenis sirup.

“(Persediaan) sedikit masih ada, cuma kalau untuk penjualannya kita stop dulu,” kata salah satu penjual obat, Viali.

Selama belum kembali diizinkan untuk dijual, persediaan obat disimpan di gudang Apotek. Sebagai penggantinya, ia menyediakan obat dalam bentuk tablet, Suppositoria, sampai obat herbal.”Kalau misalnya demam itu ada yang lewat anus, kalau nggak tablet, kalau nggak herbal kaya madu,” ungkapnya.

Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) Kota Bekasi telah berkomunikasi dengan seluruh apoteker terkait dengan kebijakan ini. Informasi disebarkan melalui aplikasi pesan singkat.”Antisipasi sudah kita laksanakan di apotek-apotek, kita memanfaatkan sosial media lewat group tentang penjualan obat ini,” kata Wakil Ketua IAI Kota Bekasi, Rudi Hartono.

Saat ini, pihaknya menunggu keputusan berikut yang terkait dengan sediaan obat tersebut, ditarik dari pasaran atau bisa dilanjutkan untuk dijual kepada masyarakat.

Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono mengatakan pihaknya tengah menguji 15 obat dari 18 obat sirup yang diduga mengandung senyawa tersebut. Sebab dari hasil penelusuran kepada pasien, diduga anak-anak punya riwayat meminum obat sirup. “Sedang diidentifikasi 15 dari 18 obat yang diuji mengandung (etilen glikol),” kata Dante kepada wartawan, Rabu (19/10).

Dari belasan obat sirup untuk anak itu, semuanya mengandung EG dan selama ini dijual bebas di pasaran. Ia meminta anak-anak tidak minum obat sirup dulu. Terkait paracetamol, ia menegaskan paracetamol selama ini aman tetapi ada paracetamol dengan cemaran atau kandungan EG. Namun ia tidak merinci merek obat sirup yang dimaksud.

Ditemui terpisah, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy mengatakan, penghentian obat sirup yang dilakukan Kemenkes merupakan bagian dari upaya pencegahan. Di samping, upaya investigasi yang saat ini masih terus berjalan guna mengetahui penyebab dari penyakit gagal ginjal akut misterius yang tengah marak terjadi.

”Investigasi saat ini sedang berjalan. Saya kira perlu (penghentian obat-obatan tertentu, red) sambil diadakan pengkajian lebih dalam,” ujarnya ditemui di sela acara High-level Intergovernmental meeting on the Final Review of the Asian and Pacific Decade Of Persons with Disabilities (HLIGM-FRPD) di Jakarta, kemarin (19/10).

Menurutnya, saat ini kondisi yang sama juga tengah di Afrika Barat, namun di sana, sudah dipastikan penyebabnya yakni obat sirup yang berasal dari Asia Selatan. Dia memastikan, jika obat yang sama tidak beredar di Indonesia. Tapi, dia meminta agar ditelusuri lebih dalam apakah ada obat lain yang memiliki kandungan sama dengan obat dari Asia Selatan tersebut. ”Kalau yang sekarang berada di Afrika Barat itu dipastikan tidak ada di Indonesia, cuma apakah mungkin ada jenis yang lain atau yang punya kandungan sama. Itu yang sedang dicari,” paparnya.

Kondisi saat ini menurutnya sudah mengkhawatirkan. Apalagi melihat jumlah kasus yang sudah mencapai 206 kasus dengan kematian sebanyak 99 kasus. Karenanya, dia mendorong agar Kemenkes dan BPOM segera melakukan langkah-langkah pencegahan.

Sementara itu, Epidemiolog Griffith University, Australia, Dicky Budiman menilai, keputusan Kemenkes untuk menghentikan penggunaan obat sirup tepat untuk saat ini. Upaya ini sebagai mitigasi awal dan respon awal sembari menunggu proses penyelidikan lebih lanjut.

Menurutnya, menyetop hal-hal yang bisa berpotensi menyebabkan gagal ginjal akut perlu dilakukan. Apalagi, ada literatur yang mendukung. Misal, penggunaan beberapa obat baik yang sifatnya antipiretik atau penurun demam atau lalu obat batuk yang mengandung Diethylene Glycol (DEG).

”Sementara tepat. Sampai ada kepastian dari investigasi yang dilakukan bahwa ini terkait atau tidak, atau obat yang ada saat ini aman atau tidak,” ungkapnya.

Kendati demikian, Dicky meminta, kebijakan tersebut disertai dengan rekomendasi obat yang bisa dikonsumsi oleh masyarakat ketika ada kasus batuk pilek. Pemerintah dan IDAI juga perlu kembali mensosialisasikan pola hidup sehat yang jadi opsi paling aman untuk menghindari segala risiko infeksi penyakit. ”Tetap harus ada solusi, gak plek berhenti. Harus ada solusi yang menenangkan,” tegasnya.

Menurutnya, kondisi gagal ginjal akut di Indonesia sudah tergolong kejadian luar biasa (KLB). Hal ini berdasarkan case fatality rate cukup tinggi di beberapa daerah yang telah mencapai 50 persen. ”Tentu sangat logis dalam konteks Indonesia. Satu di tengah lemahnya deteksi dini dan kedua, terbatasnya sarana prasarana,” ungkapnya.

Lemahnya deteksi dini sangat berpengaruh lantara kasus ini termasuk emergency. Sehingga, jika telat terdeteksi maka akan sulit tertolong. Lalu, sarana dan prasarana menyangkut hemodialisa. Keduanya kemudian diperparah dengan kesadaran masyarakat untuk deteksi dini kesehatan anak, behavior dalam melakukan pengobatan sendiri, hingga enggan ke faskes ketika sakit. ”Semua berkontribusi,” keluhnya.

Adanya senyawa EG dan DEG pada obat sirup ini menjadi atensi. Apalagi kejadian di Gambia, WHO menyebutkan ada empat jenis obat batuk dari India yang menjadi penyebab gangguan ginjal akut misterius. Obat tersebut menurut catatan BPOM tidak beredar di Indonesia.

Dalam regulasi persyaratan registrasi produk obat, BPOM sendiri telah menetapkan persyaratan semua produk obat sirup untuk anak dan dewasa tidak boleh menggunakan EG dan DEG. Tapi bisa saja EG dan DEG terdapat dalam cemaran larutan kimia gliserin atau propilen glikol yang biasa digunakan sebagai zat pelarut tambahan.

BPOM minta industri farmasi yang memiliki produk obat sirup untuk melapor. Terutama yang berpotensi ada cemaran EG dan DEG. (sur/lyn/mia)