RADARBEKASI.ID, BEKASI – Kementerian Kesehatan (Kemenkes) tengah melakukan uji sampling terhadap ratusan obat mengandung untuk mengetahui kandungan senyawa kimia yang diduga memicu gagal ginjal akut misterius, hasilnya sejumlah produk obat sediaan cair atau sirup ditarik dari peredaran. Hasil ini membuat omset penjualan apotek di Kota Bekasi terancam turun, meskipun tidak secara langsung mengalami kerugian materil.
Hasil pengujian obat yang dilakukan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang terbaru, 23 produk dinyatakan tidak mengandung empat senyawa kimia pelarut, yakni propilen glikol, polietilen glikol, sorbitol, dan gliserin atau gliserol.
Sebanyak 23 produk tersebut dinyatakan aman dari total 102 produk sirup yang sebelumnya didata oleh Kemenkes. Pengujian juga dilakukan pada 133 produk obat sirup yang sudah terdaftar, juga dipastikan tidak menggunakan empat pelarut tersebut.
Sementara masih ada 69 produk yang masih dalam proses sampling atau pengujian. “Jadi sudah jelas ini aman, asalkan digunakan sesuai aturan pakai,” kata Kepala BPOM, Penny K Lukito dalam pernyataan resmi yang disiarkan daring, Minggu (23/10).
Terpisah, ketua Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) Kota Bekasi, Adlis Rahman mengatakan sesuai dengan siaran pers BPOM beberapa waktu lalu mengenai 5 produk yang ditarik dari pasaran telah dikarantina oleh Apotek. Kelima produk tersebut akan dikembalikan kepada distributor, kemudian diteruskan ke pabrik untuk dimusnahkan.
“Satu, efek psikologisnya, karena penjualannya menurun kan, biasa obat itu dijual sekarang tidak boleh dijual, nah disitu, omsetnya menurun. Tapi kalau dari segi materinya nggak, karena dia (produk yang dilarang) nanti dikembalikan lagi ke distributornya, jadi nggak akan menanggung resiko,” paparnya.
Penurunan omset akan sangat dirasakan. Pasalnya, sebagian obat tersebut sudah akrab dikonsumsi oleh masyarakat dalam durasi waktu yang lama. Sementara ini, apotek akan memberikan obat dengan bentuk sediaan lain, yakni puyer atau tablet.
Namun, jika masyarakat sangat membutuhkan dalam kondisi urgent, obat sirup akan diberikan dengan catatan hanya permintaan yang telah direkomendasikan oleh dokter.”Karena kalau dia kejang kan harus dibantu, atau kalau dia untuk orang dengan gangguan jiwa, kalau nggak dikasih obat itu dia punya reaksi yang nggak bagus, itu mau tidak mau ya harus kita kasih,” ungkapnya.
Hari ini rencananya IAI akan bertemu dengan Dinkes dan Polres Metro Bekasi Kota, untuk meminta tidak dilakukan sidak secara terbuka. Alasannya adalah pertimbangan psikologis, ketakutan yang mungkin timbul pada masyarakat dan apoteker saat harus berurusan dengan kepolisian.
Hal serupa juga sudah dilakukan di tingkat nasional lewat organisasi profesi, menyampaikan secara langsung kepada Kapolri melalui surat resmi maupun melalui media massa. Lebih lanjut Adlis menyampaikan bahwa tidak ada unsur kejahatan yang dilakukan oleh apoteker, mereka hanya menerima produk dan menjual kepada masyarakat.
“Karena ketakutan, masyarakat yang sakit ketakutan, apoteker anggota saya ketakutan, karena kalau dia berurusan dengan polisi kan kesannya lain ya,” tambahnya.
Surat edaran untuk tidak meresepkan obat-obat dalam bentuk sediaan cair ini telah dikeluarkan oleh Pemkot Bekasi, surat edaran nomor 440/6727/Dinkes.Set tentang pengendalian kasus gangguan ginjal akut atipikal pada anak di Kota Bekasi.
“Kita sudah memberikan surat edaran bahwa hari ini kita tidak lagi menggunakan obat yang mengandung sirup dan sudah ada 5 yang ditarik,” kata Plt Walikota Bekasi, Tri Adhianto.
Terkait dengan penanganan kasus, Tri menyebut kendala yang dialami saat ini adalah ketersediaan fasilitas Hemodialisa (HD) untuk anak. Selain perawatan, ia juga mengungkap kendala Sumber Daya Kesehatan (SDK) atau dokter khusus.
Rencananya hari ini Tri akan berkomunikasi dengan Kapolres Metro Bekasi Kota dan Dandim 05/07 untuk menyikapi persoalan ini. Kemudian, ia juga rencananya akan meminta kebijakan khusus terkait dengan dokter yang akan menangani kasus pada anak, untuk bisa dilakukan oleh dokter spesialis lain yang ada di Kota Bekasi.
“Jadi memang sangat terbatas sekali, baik swasta maupun pemerintah yang memiliki Hemodialisa. Secara tempat kita sudah siap, tinggal penambahan fasilitas itu saja, fasilitas peralatannya,” tambahnya.
Sementara terkait dengan informasi pasien AKI anak dari Kota Bekasi yang tengah menjalani perawatan di RSCM, ia menyebut belum mendapatkan informasi detail.Pemberian obat sediaan cair dalam situasi emergensi dibenarkan oleh Peneliti Ketahanan Kesehatan Global dari Griffith University, Dicky Budiman.
“Kecuali yang sifatnya emergensi (bisa diberikan), yang dibutuhkan rutin oleh masyarakat, misalnya obat yang tidak boleh berhenti, untuk kasus epilepsi misalnya, itu tidak bisa (dihentikan),” ungkapnya.
Selain pembatasan konsumsi obat sediaan cair, yang juga dinilai penting adalah perubahan perilaku, contohnya pemberian edukasi oleh apoteker kepada masyarakat setiap kali membeli obat. Mulai saat ini, edukasi oleh apoteker kata Dicky harus menjadi Standar Operasional Prosedur (SOP) pelayanan di apotek.
“Makanya, untuk penyedia obat yang di apotek maupun di toko obat, dia harus memainkan peran itu,” tandasnya.
Disamping literasi kepada masyarakat luas tentang konsumsi obat, dimana tidak selalu gejala ringan seperti batuk pilek harus ditangani dengan mengkonsumsi obat. Masyarakat mulai dianjurkan untuk melakukan penanganan pertama dengan cara konservatif, lewat kompres, istirahat cukup, dan sebagainya. (Sur)