Berita Bekasi Nomor Satu

Menkes: EG-DEG Bukan Penyebab Tunggal Gangguan Ginjal Akut

RADARBEKASI.ID, JAKARTA – Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin mengakui, penyakit acute kidney injury (AKI) atau gangguan ginjal akut dipicu banyak faktor.

Namun, faktor terbesar penyebab penyakit yang telah merenggut ratusan nyawa anak itu adalah cemaran etilena glikol (EG) dan dietilena glikol (DEG).

Saat rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi IX DPR kemarin (2/11), Budi menyatakan bahwa gangguan ginjal akut pada anak sudah lama terjadi. Namun, sejak Agustus, kasusnya melonjak. Kemenkes menerima laporan tersebut dari Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI).

Setelah mendapat laporan itu, Kemenkes melakukan investigasi. Yang dilakukan adalah melihat ada tidaknya patogen yang menjadi biang. Setelah dilihat tidak ada indikasi tersebut, dilakukan berbagai cara lain untuk mengetahui penyebab dan penanganannya. Sebab, angka fatalitas kasus itu cukup tinggi.

Pasien anak datang dengan keluhan tidak bisa kencing, tetapi masih beraktivitas normal. Lalu, dilakukan cuci darah dan tindakan lain. Namun, kondisi pasien tidak kunjung membaik. Pasien malah kehilangan kesadaran, sulit bernapas, hingga akhirnya meninggal.

”Ada beberapa penyebab AKI. Misalnya, infeksi, kelainan kongenital, pendarahan, dehidrasi, dan yang lain,” papar Budi. Namun, pada pasien anak yang intensitas berkemihnya berkurang atau malah tidak kencing sama sekali, tidak ditemukan penyebab tersebut.

Sampai akhirnya, Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengumumkan bahwa ada kasus di Gambia. Gejalanya serupa. Lalu, dilakukan penyelidikan kembali. Ada 34 anak yang diperiksa. Ditemukan cemaran EG dan DEG di dalam tubuh 74 persen pasien. Sebanyak 50 persen pasien memiliki obat sirup. ”Pada 18 Oktober, akhirnya kami keluarkan larangan untuk memberikan obat sirup,” ujarnya.

Selanjutnya, Budi menegaskan, posisi kementeriannya tegas menyatakan bahwa faktor terbesar penyebab AKI adalah keracunan EG dan DEG yang melebihi standar. Penyebab kematian pun demikian. ”Kami tidak ragu atau sedang mencari-cari,” katanya.

Pada kesempatan yang sama, anggota DPR sempat menyoroti kinerja Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Mereka mempertanyakan BPOM bisa kecolongan obat sirup yang mengandung EG dan DEG melebihi ambang batas.

Kepala BPOM Penny K. Lukito menjelaskan, lembaganya baru melakukan penyelidikan setelah ada laporan dari dokter maupun masyarakat. ”Pada 7 Oktober baru melakukan sampling,” katanya. Kegiatan pengambilan sampel obat itu berdasar riwayat pasien yang pernah mengonsumsi obat tertentu sebelum sakit.

Dia menyampaikan, kewenangan BPOM adalah melihat bahan baku. Untuk meneliti produk jadi, tidak ada payung hukumnya. Karena itu, BPOM tidak bisa melakukan investigasi.

Sekjen Gabungan Pengusaha Farmasi Indonesia (GPFI) Andreas Bayu Aji dalam RDP dengan komisi IX memberikan pernyataan bahwa industri farmasi memiliki niat menyehatkan masyarakat. Bukan membuat sakit, bahkan meninggal.

”Kami berupaya mengikuti aturan apa pun itu. Salah satunya, CPOB (cara pembuatan obat yang baik, Red),” kata Bayu. Salah satu aturan CPOB mengatur bahan baku yang digunakan harus sesuai dengan aturan dan tidak membahayakan.

Bayu menyatakan, selama ini tidak ada kasus serupa di Indonesia. Kemunculan AKI merupakan hal baru bagi industri farmasi. Ketika ditanya apakah industri tidak menggunakan bahan berbahaya, Bayu tidak berani menjamin 100 persen.

Dia mengakui sampai sekarang belum menerima surat resmi dari Kemenkes maupun BPOM terkait dengan obat yang tidak aman maupun investigasinya. ”Kami tahunya dari media massa,” ucap Bayu.

Sementara itu, Direktur Tindak Pidana Tertentu (Dirtipidter) Bareskrim Brigjen Pipit Rismanto mengungkapkan, penyidik telah berangkat ke Kediri untuk memeriksa PT AFI Farma, produsen obat sirup. Pemeriksaan berfokus pada pembuktian materiil terkait dengan proses produksi obat sirup tersebut. ”Proses praproduksi dan produksi dilihat seperti apa,” katanya.

Rencana semula, polisi memeriksa jajaran direktur PT AFI Farma. Namun, rencana itu batal. Sebab, pada saat bersamaan, jajaran direktur memenuhi panggilan BPOM. Pemanggilan itu sempat membuat polisi kebingungan. Sebab, sebelumnya diketahui bahwa pengusutan PT AFI Farma akan dilakukan Bareskrim Polri. BPOM menangani kasus untuk dua perusahaan lain, yaitu PT Yarindo Farmatama dan PT Universal Pharmaceutical Industries. ”Yang akan kami periksa malah dipanggil BPOM,” jelasnya.

Kendati belum bisa memeriksa direktur PT AFI Farma, lanjutnya, penyidik tetap mendalami dugaan pelanggaran oleh perusahaan tersebut. Aturan yang dilanggar sudah diketahui. ”Formil sudah ada, ada aturan yang dilanggar,” ujarnya.

Sementara itu, pantauan Jawa Pos Radar Kediri, lima personel polisi kemarin mendatangi AFI Farma yang berlokasi di Kelurahan Bangsal, Kecamatan Pesantren, Kediri. Polisi datang sekitar pukul 08.00 dan baru meninggalkan lokasi sekitar pukul 19.00 tadi malam. Itu berarti sekitar sebelas jam mereka berada di area perusahaan.

Selain tim dari Bareskrim Mabes Polri, ada tim dari Unit Pidana Khusus (Pidsus) Satreskrim Polres Kediri Kota. Namun, mereka hanya melakukan pendampingan.

Apa saja yang dibawa tim Mabes Polri dari lokasi pabrik AFI Farma? Kasatreskrim Polres Kediri Kota AKP Tommy Prambana dan Kapolres Kediri Kota AKBP Wahyudi yang dihubungi melalui WhatsApp belum merespons.

Terpisah, Kadivhumas Polri Irjen Dedi Prasetyo membenarkan bahwa penyidik dari Bareskrim melakukan penyelidikan di AFI Farma. Bahkan, penyidikan itu berlangsung sejak Selasa (1/11). ’’Betul sudah dilaksanakan giat di Kediri. Tim gabungan Bareskrim dan BPOM,” kata Dedi melalui pesan singkat WhatsApp pukul 22.00 tadi malam.

Selain pengecekan dan penggeledahan di AFI Farma, tim akan melakukan hal serupa pada tiga supplier bahan baku. ’’Itu dulu ya, sekarang tim masih bekerja,” ujarnya.

Kepala BPOM Kediri Singgih Prabowo Adi saat dikonfirmasi enggan memberikan komentar. Dia mengaku sedang kedatangan petugas BPOM dari Surabaya dan Jakarta. (jpc)