Oleh: Dahlan Iskan
MENULIS Piala Dunia? Tidak bisa. Tidak ada lagi yang tersisa.
Saya juga tidak terlalu peduli Piala Dunia kali ini. Jam, 17 dan 20 adalah saatnya menulis untuk Disway. Yang saya tahu, bisa jadi orang Jawa lama menyebut negara itu kotor. Bukan Qatar. Itu karena dalam huruf Arab tulisan Qatar terdiri dari tiga huruf yang oleh orang di desa di Jawa disebut kop, tok dan ro’. Bacanya: kotor.
Maka menjelang Piala Dunia di Qatar sekarang ini, ada kampanye khusus bagaimana cara mengucapkan Qatar dalam bahasa Jawa –ups, dalam bahasa Inggris.
Bagi orang Qatar itu tidak masalah. Negara itu biasa diucapkan dengan banyak jenis nama: Catharaai, Catara, Qitar, Katar, Qataar. Artinya: tanah kosong, tak berpenghuni.
Mereka juga tidak terlalu pusing dengan hari kemerdekaan: menyatakan merdeka tanggal 1 September 1971, diberi kemerdekaan oleh Inggris tanggal 3 September 1971, tapi memperingati hari kemerdekaan tiap tanggal 18 Desember.
Yang jelas orang Qatar 25 kali lebih kaya dari orang Indonesia. Atau dua kali lebih kaya dari rata-rata orang Amerika. Atau Jerman. Pendapatan per kapitanya sekitar USD 120.000.
Berapa lama lagi Qatar bisa tetap semakmur sekarang? Yang mampu membiayai Piala Dunia termahal dalam sejarah –saya sampai lupa angkanya itu?
Cadangan gas alam Qatar masih belum habis dalam 125 tahun ke depan. Biar pun diproduksi dalam skala masif seperti sekarang. Cadangan gasnya itu ada di tengah laut, di tengah Selat Hormuz, di kedalaman laut 3.000.
Jumlah cadangan gas alamnya tidak usah saya sebut. Agar tidak membuat Qatar riya’. Tentu Qatar terus berdoa agar Iran tetap mendapat sanksi Amerika: agar tidak punya kemampuan investasi di bidang gas dalam jumlah besar.
Mengapa?
Sumur gas Qatar itu begitu luasnya, di bawah laut sana, sampai mencapai wilayah laut Iran. Maka Iran sebenarnya juga bisa menyedot gas itu dari wilayahnya. Dari arah timur. Sekuat Iran sekali pun.
Sekarang ini gas-nya Iran itu ikut kesedot oleh Qatar. Iran tidak mungkin bisa bikin tembok pembatas di ”danau gas” yang maha luas itu di kedalaman 3000 meter.
Sebaliknya kalau Iran kelak mampu menyedot gas itu besar-besaran gas milik Qatar pun kesedot Iran. Mereka bisa saling sedot-sedotan. Qatar menyedot dari barat, Iran menyedot dari timur. Tinggal siapa yang lebih kuat menyedotnya.
Sekarang ini Iran juga sudah mulai ikut menyedot. Kecil-kecilan. Untuk rakyat Iran sendiri. Tiap rumah di Iran dapat aliran gas lewat pipa langsung ke dapur masing-masing. Toh kalau Iran mampu menyedot lebih dari itu tidak bisa juga menjual ke negara lain. Diblokade oleh Amerika Serikat.
Sebenarnya Iran bisa memperpanjang pipa gasnya ke Pakistan yang lagi dahaga energi. Atau masuk ke Afghanistan yang miskin. Tapi itu akan membuat Amerika marah besar.
Untuk menjual ke negara lain, Iran harus mengubah gas itu menjadi gas-cair (LNG). Membangun instalasi LNG itu sangat mahal. Teknologinya juga sangat tinggi. Tanpa kerja sama dengan Barat, atau Jepang, sulit dilakukan.
Tapi Iran nekat. Iran mencoba membangun sendiri instalasi LNG di dekat pantai yang menghadap ke Qatar. Instalasi tersebut sekarang, mestinya, sudah jadi. Sewaktu saya ke sana sekian tahun lalu sedang dikerjakan. Amat pelan. Saya lihat ada alat berat yang bertulisan made in Amerika di proyek LNG tersebut. Mungkin alat berat sisa lama yang masih bisa diperbaiki.
Kalau Iran bisa membantu energi untuk Pakistan (dan Afghanistan), kemiskinan di dua negara itu bisa teratasi. Tentu ada yang takut kalau Pakistan dan Afghanistan bangkit.
Maka Qatar nyaris sendirian menyedot danau gas yang terbesar di dunia itu. Padahal penduduk Qatar hanya 11-12 dengan Singapura. Bahkan yang ber KTP Qatar hanya separonya: sekitar 2,5 juta orang. Selebihnya orang asing: banker, eksekutif, konsultan dan buruh kasar. Beberapa orang Indonesia bekerja di tambang minyak dan gas di sana.
Maka membangun 8 stadion baru untuk Piala Dunia tidak ada artinya. Termasuk pun bila salah satunya akan langsung dibongkar begitu Piala Dunia selesai.
Mungkin Pak Jokowi bisa merayu Raja Qatar untuk memindahkannya ke Kanjuruhan. Daripada dipindah ke Uruguay. Pak Jokowi bisa saja berjanji tidak akan mengalahkan sepak bola Qatar sepanjang stadion itu masih berdiri. Pun kalau tim Indonesia masuk Piala Dunia kelak: tidak akan berlaku seperti Equador yang sampai hati mempermalukan Qatar 0-2 di depan Rajanya sendiri, di acara pembukaan pula.
Memang Sinegal juga mempermalukan Qatar di pertandingan berikutnya (1-3), tapi itu hanya malu tambahan. Tidak sengaja. Senegal menang karena terpaksa. Agar Sadio Mane, hehe, mau kembali ke Liverpool yang kelimpungan gara-gara ia pindah ke Bayer Munchen.
Stadion yang akan langsung dibongkar itu, Anda sudah tahu: Stadion 974. Unik. Terbuat dari 974 kontainer. Jangan-jangan krisis kontainer dua tahun lalu itu akibat Piala Dunia ini.
Saya sebenarnya mau ikut mempersoalkan apa yang terjadi di FIFA hingga organisasi sepak bola dunia itu menunjuk Qatar sebagai tuan rumah.
Tidak masuk akal.
Apalagi sampai menggeser jadwal Liga Inggris dan Liga lainnya di seluruh dunia. Bulan November-Desember enak-enaknya nonton bola di Eropa. Justru digeser oleh Qatar. Kalau pun mau di Qatar seharusnya tetap di bulan Juli. Agar Qatar memikirkan bagaimana membangun AC yang bisa mendinginkan seluruh negara.
Tapi yang mempersoalkan itu sudah terlalu banyak. FIFA bergeming. Saya pun harus move on. Saya justru bersyukur Piala Dunia di Qatar. Setidaknya bisa merukunkan dua tetangga yang nyaris perang: Qatar vs Saudi Arabia.
Bayangkan kalau rencana gila Arab Saudi itu jadi dilaksanakan: daratan dua negara Arab itu akan dipisahkan oleh laut. Waktu sengit-sengitnya konflik itu Saudi sudah merencanakan menggali perbatasannya dengan Qatar. Sepanjang perbatasan. Selebar 120 meter.
Jadilah Qatar sebuah pulau terpisah yang kecil. Ia bukan lagi bagian darat dari Semenanjung Arabia. Penerbangan pun dihentikan. Jalan darat terputus. Visa tidak dikeluarkan.
Untunglah konflik mereda. Galian itu diurungkan. Kalau tidak bagaimana coba tim sepak bola Arab Saudi bisa menuju stadion Qatar. Harus disediakan sampan-sampan kecil untuk menyeberang kan mereka. Itu pun kalau Qatar tidak membiakkan buaya di laut pemisah itu.
Maka kalau tim raksasa Argentina kalah 1-2 dari tim remehan Arab Saudi sebenarnya itu terpaksa. Itu bukan untuk mempermalukan Lionel Messi, tapi sekadar untuk meledek Qatar.
Sebenarnya Arab Saudi sudah siap kalah. Rolls-Royce untuk para pemain Saudi itu, hehe, bisa disiapkan oleh Qatar. Biar ada teman malu.
Bahwa Saudi tetap membelikan Rolls-Royce pada setiap pemainnya itu karena harga semua Rolls-Royce itu, berikut semua pemainnya, masih lebih murah dari harga satu orang Messi.
Soal Jepang mengalahkan raksasa Jerman itu juga terpaksa. Jerman selama ini memilih beli gas dari Rusia. Jepang membeli LNG dari Qatar.
Rusia dianggap mencaplok pulau-pulau Kuril di utara Jepang. Maka berlaku hukum konflik: lawannya lawan adalah teman lawan.
Jepang harus mengalahkan Jerman. Harus 1-2. Harus mirip Saudi mengalahkan Argentina. Sama-sama harus kena penalti dulu di babak pertama.
Jerman sebenarnya sudah membaca itu. Yakni ketika mendapat penalti di babak pertama. Ini akan senasib dengan Argentina.
Cak Lontong pun buru-buru membakar kemenyan di dekat gawang Jerman. Ketika pemain Jepang tiba-tiba sampai di dekat gawang, kiper Jerman itu lagi sibuk ingin menyingkirkan dupa itu. Ia lupa bahwa dalam ancaman seperti itu seharusnya seorang kiper tidak merunduk.
“Pelatih mana pun sulit menjelaskan mengapa di saat seperti itu seorang kiper tidak berdiri tegak,” ujar seorang analis di Eropa.
Dengan kekalahan Argentina dan Jerman itu seluruh mata tinggal tertuju pada Inggris dan Brasil. Tapi football Inggris ternyata tidak bisa mengalahkan soccer Amerika.
Berarti tersisa satu: Brasil. Atau dua: Spanyol. Kan tidak mungkin Tiongkok.
Setiap kali Piala Dunia Tiongkok pusing. Hanya jadi penonton. Kehadirannya di stadion Qatar hanya diwakili Wanda dan Mengniu, dua pengiklan utama di Piala Dunia.
Xi Jinping boleh memenangkan tiga periode. Tiongkok juga boleh mengalahkan ekonomi Amerika. Tapi belum bisa ada gambaran kapan Tiongkok masuk level Piala Dunia. Jadi, kita tidak malu-malu amat. (Dahlan Iskan)
BACA JUGA: Buntut Buntut