RADARBEKASI.ID, BEKASI SELATAN – Memasuki tahun politik 2023 dan Pemilu 2024, politik identitas di Indonesia mulai ramai diperbincangkan lagi.
Kampanye politik ini dianggap berhasil dalam kontestasi Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI 2017. Bagi sebagian lain, sebagai kekalahan demokrasi Indonesia.
Waktu itu, Anies Baswedan berpasangan dengan Sandiaga Uno berhasil mengalahkan perolehan suara duet Basuki Tjahaja Purnama dengan Djarot Saiful Hidayat.
Kini, Anies Baswedan sendiri sudah purna tugas dari Balaikota DKI Jakarta sejak medio Oktober 2022 lalu.
Mantan gubernur DKI itu justru digadang-gadang sebagai Calon Presiden (Capres) oleh Partai NasDem untuk Pilpres 2024 mendatang.
Nah, sebagian kalangan memprediksi Politik Identitas bakal kembali mewarnai Pilpres 2024 nanti. Pertanyaannya, bolehkah kampanye politik berdasarkan kesamaan latar belakang suku, ras, golongan hatta agama sekalipun?
Sebuah buku berjudul Politik Identitas karya Eman Sulaeman, dibedah di sela-sela kegiatan relaunching perpustakaan di Islamic Center Bekasi, Rabu (21/12/2022) kemarin.
Sang penulis, Eman Sulaeman, mengawali pembahasan politik identitas harus dimulai dari mengurutkan akar sejarahnya.
Menurut Eman, setidaknya berdasarkan riset yang dilakukannya, politik identitas sudah ada sejak tahun 1950-an di Amerika Serikat.
Tokohnya adalah Malcolm Little atau yang populer dikenal sebagai Malcolm X. Seorang politisi kulit hitam yang menyuarakan antidiskrimasi bagi kaum kulit hitam di Negeri Paman Sam.
Menurut Eman, dapat dikatakan apa yang diperjuangkan oleh Malcolm X di Amerika Serikat itulah cikal bakal politik identitas.
Karena itu, sambung dia, pada dasarnya orang berpolitik lazim dan sah-sah saja membawa latar belakang apapun, pandangan apapun. Termasuk kesamaan agama sekalipun.
“Politik identitas itu sesuatu yang boleh-boleh saja dilakukan. Ada orang yang mau pakai politik identitas silakan. Tidak mau pakai politik identitas juga silakan,” tegasnya.
“Tapi jangan coba-coba melarang. Sebab, yang terjadi saat ini dilarang. Padahal ini iklim demokrasi boleh saja. Saya ingin memperkuat argumentasi itu,” tambahnya.
Dia menekankan, penggunaan politik identitas di ranah politik tetap harus disertai dengan sikap arif, bijak, dan memahami keragaman, perbedaan, kebinekaan. Serta menonjolkan kapasitas, kapabilitas dan prestasi.
“Kalau ada yang berbeda ya udah sesuatu yang natural. Tunjukan prestasinya. Dan tunjukkan pula dia layak dipilih masyarakat. Tidak semata-mata membawa jubah identitasnya, tapi harus dibarengi dengan prestasi,” tandasnya. (pay)