RADARBEKASI.ID, BEKASI – Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) dinilai jelas menyimpang dari norma sosial dan agama yang ada di masyarakat Kota Bekasi. Perkembangan kelompok dan kabar tingginya angka HIV/AIDS pada kelompok ini perlu menjadi kajian khusus, dituangkan dalam revisi Peraturan Daerah (Perda) Kota Bekasi tentang Larangan Perbuatan Tuna Susila nomor 3 tahun 2004.
Data sampai dengan awal bulan Desember 2022 lalu, ada lebih dari 700 kasus HIV/AIDS baru di Kota Bekasi. Informasi yang beredar, penularan terbesar berdasarkan faktor resiko adalah homoseksual, belum lagi munculnya Pria Pekerja Seks Komersial (PSK) yang sangat samar pergerakannya.
Menyikapi tingginya angka HIV/AIDS di Kota Bekasi pada kelompok Homoseksual ini, Plt Walikota Bekasi, Tri Adhianto menyebut bahwa Pemerintah Kota (Pemkot) perlu mendalami akar permasalahannya. Dinas Sosial (Dinsos) Kota Bekasi kata dia, memegang peranan penting untuk mengkaji persoalan ini.
“Karena ini kan terkait dengan AIDS dan lain sebagainya, jadi ini sedang terus kita optimalkan,” katanya.
Terkait dengan semakin banyaknya jumlah Laki-laki Suka Laki-laki (LSL) atau Men Seks Men (MSM) ini, Tri tidak menampik. Namun demikian, ia menyebut bahwa Kota Bekasi tidak bisa menerima penyimpangan seksual atau kelompok LGBT ini.
Tegas, ia menyebut moralitas dan etika dalam beragama dijunjung tinggi di Kota Bekasi.
“Karena kan secara moral, etika agama kan dijunjung tinggi, tidak ada yang namanya LGBT,” tambahnya.
Senada, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Bekasi, Saifuddaulah juga menyebut bahwa LGBT melanggar norma agama maupun budaya ketimuran. Dirinya juga menyampaikan keprihatinannya berkaitan dengan meningkatnya jumlah Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) dari kelompok LGBT.
Fenomena ini perlu dikaji kata Saifuddaulah. Selain itu, ia juga menyebut perlu dilakukan pembinaan secara spiritual dan pembinaan mental.
“Walaupun bagaimana kan Kota Bekasi sebagai kota Ihsan, tentunya perlu dikaji, agar proses upaya perkembangan terkait dengan LGBT bisa diminimalisir,” ungkapnya.
Terkait dengan perlunya regulasi, ia tidak menampik kebutuhan aturan untuk meminimalisir semakin bertambahnya jumlah LGBT, aturan tersebut dapat berguna untuk meluruskan perilaku atau orientasi seks yang menyimpang. Di dalamnya, perlu diatur terkait dengan aspek edukasi sebagai bagian dari langkah antisipasi.
“Kalau terkait dengan perlunya regulasi, memang di satu sisi ketika dalam aspek kondisi sosiologis, dimana adanya masyarakat yang melakukan di luar dari norma kebiasaan dalam rangka memenuhi kebutuhan seks nya, itu kan perlu ada pelurusan,” katanya.
Tahun 2020 lalu, usulan revisi Perda nomor 3 tahun 2004 tentang Larangan Perbuatan Tuna Susila pernah muncul. Namun, dengan berbagai pandangan hasil evaluasi, revisi tersebut urung dilakukan.
Hasil revisi Perda ini diharapkan dapat mengatur beberapa hal yang berkaitan dengan LGBT, diantaranya pembinaan dan pencegahan.
Upaya lahirnya produk hukum ini juga disebut sesuai dengan nilai Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa Indonesia, terutama sila pertama, KeTuhanan Yang Maha Esa. Nilai yang terkandung dalam sila pertama, harus mampu mencerminkan produk hukum yang dibentuk.
“Memang perlu juga, mungkin nanti ini menjadi kajian khusus ya bagi DPRD, bisa juga menginisiasi sebuah regulasi yang satu sisi ingin memperbaharui Perda yang ada,” tambahnya.
Diketahui, sejauh ini Kota Bekasi telah memiliki Perda terkait dengan perbuatan susila, serta Perda Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS, yakni Perda nomor 3 tahun 2004 dan Perda nomor 3 tahun 2009. (Sur)