Berita Bekasi Nomor Satu

Puluhan Anak Lahir Tanpa Ayah

Illustrasi Ibu dan Anak

RADARBEKASI.ID, BEKASI – Hubungan darah antara anak dengan ayah dan ibu yang melahirkan, atau asal usul anak, berpotensi menjadi beban sosial bagi anak selama masa tumbuh kembangnya. Tahun 2022 lalu, ada puluhan anak lahir tanpa ayah di Kota Bekasi.

Tanpa asal usul yang jelas, pertalian nasab seorang anak dalam akta kelahiran hanya akan dihubungkan dengan ibu yang melahirkannya. Stigma masyarakat mengenai anak yang terlahir di luar pernikahan, anak hasil hubungan gelap, hingga anak istri simpanan berpotensi menjadi beban psikologis bagi anak.

Anak yang sah dalam Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan adalah anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah.

Sementara itu, UU nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak secara rinci telah mengatur hak-hak anak, salah satunya adalah hak untuk mengetahui orang tuanya. Anak juga tidak boleh mendapat diskriminasi.

Penyebab munculnya perkara asal usul anak ini di Pengadilan Agama (PA) Kelas 1A Bekasi adalah anak yang lahir dari pasangan laki-laki dan perempuan di luar pernikahan yang sah. Diantaranya karena dispensasi kawin yang diajukan ke PA tidak dikabulkan.

Diketahui, pengajuan dispensasi ini dilakukan bagi pasangan laki-laki dan perempuan yang ingin menikah, namun belum memenuhi syarat usia. Dimana syarat usia perkawinan minimal 19 tahun untuk laki-laki dan perempuan.

“Itu tadi, ada aturannya yaitu asal usul anak (bagi pasangan yang permohonan dispensasi kawinnya tidak dikabulkan). Jika lahir kedepan, anak nanti akan diperiksa, apakah benar anak ini dilahirkan dari si A dan si B,” papar Humas PA Kelas 1A Bekasi, Uman.

Penetapan pengadilan terhadap asal usul anak ini dibutuhkan guna memberikan kepastian hubungan darah antara anak, ibu, dan ayah dalam dokumen kependudukan, yakni akta kelahiran anak. Kaitan dengan adanya puluhan perkara yang masuk ke PA, Uman meminta kepada masyarakat untuk berpikir matang-matang saat akan menikah, termasuk mempertimbangkan masa depan anak.

Kelahiran anak di luar pernikahan yang sah kata Uman, berpotensi mengganggu masa depan anak. Termasuk, anak hasil pernikahan di bawah tangan, atau hasil poligami tanpa izin pengadilan.

Tahun lalu, PA Bekasi menerima 15 perkara permohonan izin poligami. Poligami yang telah mendapatkan izin dari PA tidak perlu mengajukan permohonan asal usul anak.”Kita ini kan asal hukumnya monogami, kemudian melakukan poligami liar. Poligami liar itu kan bisa jadi nanti punya anak bagaimana anaknya. Tetap nanti susah anaknya itu, kasihan masa depannya,” ungkapnya.

Berikutnya adalah perkawinan siri, meskipun perkawinan ini tidak sah menurut UU, menurut syariat Islam pernikahan sah sepanjang syarat dan rukunnya terpenuhi.

Pengadilan kata Uman, akan mengabulkan dan menetapkan asal usul anak jika syarat pernikahannya sudah terpenuhi sesuai dengan hukum yang berlaku. Tanpa penetapan pengadilan, Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) akan meminta penetapan asal usul tersebut sesuai ketetapan pengadilan.

“Kalau sudah terpenuhi, maka kita nyatakan bahwa ini benar, si C anak dari si A dan si B, kalau tidak terpenuhi ya nggak bisa,” tambahnya.

Beberapa cara dapat dilakukan untuk mendapat penetapan asal usul anak yang dilahirkan dari pernikahan siri tersebut, yakni melalui proses isbat nikah, akad nikah dan permohonan asal usul anak, serta permohonan atau gugatan asal usul anak tanpa isbat nikah.

Tahun yang sama, PA Kelas 1A Bekasi menerima 347 perkara isbat nikah. Menjelang akhir tahun 2022, isbat nikah terpadu juga digelar di Kota Bekasi, hasil kerjasama kantor Kementerian Agama (Kemenag) dengan Pemerintah Kota (Pemkot) Bekasi.

Kegiatan yang dilaksanakan awal bulan Desember lalu diikuti oleh 187 pasangan. Isbat nikah dilakukan guna memberikan kepastian hukum bagi pasangan suami istri.

“Semoga dengan kepastian hukum ini, untuk para pasangan bisa menjamin bahwa pernikahan pada pasangan telah resmi. Dan rencananya ke depan akan bekerjasama terus dengan Kementerian Agama Kota Bekasi dalam isbat nikah ini, agar kejelasan pasangan bisa dilegalkan,” kata Plt Walikota Bekasi, Tri Adhianto beberapa waktu silam.

Terlepas dari berbagai faktor yang melatarbelakangi munculnya perkara asal usul anak di Kota Bekasi, pemahaman masyarakat tentang perlindungan anak menjadi hal penting untuk menjamin tumbuh kembang anak. Stigma negatif terhadap anak yang didasari oleh hubungan darah dan hubungan keperdataan lainnya memicu aksi kekerasan atau Bullying, hingga diskriminasi.

Komisioner Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD) Bidang Hukum, Novrian menegaskan bahwa anak yang lahir tidak memiliki dosa turunan. Sehingga, tidak ada alasan untuk memberikan stigma negatif.

“Maka kita harus memberikan pemahaman, bahwa setiap orang itu punya masa lalu, punya masalah masa lalu. Yang penting bagi kita adalah, setiap anak punya hak untuk hidup layak, tidak didiskriminasi, salah satu yang diatur dalam UU perlindungan anak nomor 35,” ungkapnya.

Dampak dari anak korban Bullying dan diskriminasi ini kata Novrian, hilangnya potensi seorang anak untuk dapat berprestasi. Sehingga, sangat penting bagi seorang anak terbebas dari stigma di lingkungannya.

Selain dari dampak psikologis, kerugian dari sisi material juga bisa dirasakan oleh anak yang lahir dari perkawinan siri. Dimana, anak yang lahir dari perkawinan siri tidak memiliki hak waris.

Selain anak, Novrian juga menekankan pentingnya pengetahuan tentang dampak jangka panjang dari pernikahan siri kepada generasi muda, terutama perempuan.

“Mereka harus tahu akibat, efeknya, baik bagi mereka secara pribadi, maupun buat anak mereka. Mereka harus melihat efek jangka panjang, itu perlu sebenarnya diberikan pemahaman,” tambahnya.

Hak anak belakangan tengah dirumuskan dalam Peraturan Daerah (Perda) tentang Perlindungan Anak dan Perempuan, terutama hak anak korban kekerasan seksual. Perda tersebut menjamin hak anak untuk tetap mendapat pendidikan, sekolah tidak lagi diperbolehkan mengeluarkan anak korban kekerasan seksual.

Sementara itu, ratusan pasangan suami-istri di Kabupaten Bekasi memilih menikah di bawah tangan atau nikah siri, dengan berbagai alasan. Sehingga pernikahannya tidak tercatat di dalam Kantor Urusan Agama (KUA) setempat. Berdasarkan data yang ada di Pengadilan Agama Cikarang, pasangan suami-istri yang mengurus isbat nikah pada tahun 2021 sebanyak 461 kasus. Sementara pada tahun 2022 jumlahnya lebih sedikit 425.

“Jumlahnya menurun kalau dibandingkan tahun 2021. Tapi jumlah itu termasuk tinggi, karena rata-rata di angka 400 per tahun,” ujar Humas Pengadilan Agama Cikarang, A Jazuli.

Jazuli menjelaskan, tingginya angka pengajuan isbat nikah di Kabupaten Bekasi menandakan masih minimnya kesadaran masyarakat untuk mencatat pernikahannya di KUA. Menurutnya, karena alasan tidak punya uang dan ingin buru-buru nikah. Ada juga yang diurus sama hamil, tapi amilnya tidak mengurus. Sehingga tidak punya buku nikah.

Mereka yang menikah dibawah tangan baru mengurus pernikahannya atau mengajukan isbat nikah ketika mau mengurus akte kelahiran anak, umroh, maupun lainnya, yang memang harus ada buku nikah. Makanya mereka mengurus isbat nikah. “Ternyata di Kabupaten Bekasi banyak yang nikah dibawah tangan atau nikah yang tidak tercatat,” ungkapnya.

Saat ini, Pengadilan Agama sudah bekerjasama dengan Pemerintah Kabupaten Bekasi untuk mencari data masyarakat yang nikah dibawah tangan. Pasalnya, secara negara itu tidak diperbolehkan, begitu juga menurut agama. Karena mencatatkan perkawinan itu hukumnya wajib.

“Kalau secara negara nggak boleh, karena mencatatkan perkawinan itu hukumnya wajib. Sekarang kami sudah bekerjasama dengan Pemkab untuk mendata itu,” katanya.(sur/pra)