Berita Bekasi Nomor Satu
Opini  

Erick Thohir, Sepak Bola dan Politik

A.A. Ariwibowo

Oleh A.A. Ariwibowo (*)

“Hanya karena engkau tidak berminat pada politik, tidak berarti politik tidak berminat padamu, ” demikian cetusan kata-kata yang dianggap berasal dari negarawan, orator, dan jenderal Yunani kuno, Pericles (c.495-429).

Layaknya mojang geulis, sepak bola mengerling politik; politik pun melirik sepak bola. Baik sepak bola maupun politik sama-sama mendaulat diri sebagai “yang saling memerlukan”, “yang saling peduli”.

Relasi antara sepak bola dan politik lantas melesat ke atmosfer pecinta dan penggila bola. Publik tersihir oleh euphoria dari kata Reformasi Sepak Bola Indonesia.

Bagaikan melihat oase di padang gurun kering kerontang, terpilihnya Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir sebagai Ketua Umum Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) periode 2023-2027, mengukuhkan dan meneguhkan tekad sarat harapan.

Erick Thohir, mantan presiden klub sepak bola Italia, Inter Milan itu sontak mendapat liputan dari salah satu koran terkemuka di Negeri Pizza itu, Corriere della Sera. “Mantan patron Inter menjalani karier politik yang melesat: dia juga seorang menteri dan tangan kanan dari Presiden Indonesia,” demikian dilansir BolaSport.com dari Corriere.

Sinyalemen koran Italia itu diteguhkan dan dikokohkan dalam fakta bahwa reformasi sepak bola Indonesia menuntut figur yang memiliki kemampuan manajerial mumpuni, dukungan materi yang memadai, dan support politis yang solid dan kuat. Figur itu tersemat dan terpenuhi dalam diri Erick Thohir.

Dukungan politis dalam arena sepak bola – dengan dipilihnya Erick Thohir sebagai Ketua Umum PSSI – tidak sama bobot dengan pemuncak klasemen Serie A, Napoli yang meraih kemenangan 3-0 atas Cremonese di Stadio Diego Armando Maradona, Senin (13/2/2023) WIB.

Hanya saja, Erick Thohir yang menyabet predikat sebagai patron Inter Milan perlu memiliki kesabaran dan keteguhan hati karena mantan klubnya itu kini bertengger di peringkat kedua klasemen Serie A.

Politik bukan memori dari hasil pertandingan di Serie A yang berlaku 200 tahun mendatang. Praktik dan pengertian politik dibentuk secara mendalam dari konteks sejarah. Misalnya, terpilihnya Erick Thohir menjadi Ketua Umum PSSI bukan terartikulasi dalam ruang hampa.

Mantan Presiden Inter Milan itu erat berkaitan dan bertalian dengan pokok dasar dari gelanggang politik. Di mata pemikir politik Prancis Bertrand de Jouvenel, pokok dasar politik yakni, “upaya sistematik untuk menggerakkan orang-orang dalam rangka mengejar suatu rancangan kondisi yang dikehendaki si penggerak”.

Berangkat dari amatan De Jouvenel itulah, politik ditunjuk sebagai aktivitas atau proses yang mencakup pengelolaan kepentingan, pengaturan tatanan yang sarat dengan konflik kepentingan (baca: sepak bola Indonesia).

Politik serta merta tidak terbatas pada urusan pemerintahan negara, tetapi dapat terjadi dalam keluarga, kantor, perusahaan, sekolah, bahkan PSSI tentunya.

Persis sebuah harian nasional menulis teras berita demikian, “PSSI memasuki era baru bersama Erick Thohir. Dengan rekam jejaknya, Erick punya bekal membenahi sepak bola Indonesia yang selama ini sarat persoalan nan kompleks.” (Kompas, 17/2/2023).

Kalau praktik dan pengertian politik dibentuk secara mendalam dari konteks sejarah, maka Erick mengetahui pijar ziarah sepak bola Italia.

Di arena Serie A, gema politis merebak dan memenuhi langit Italia. Di cafe, di restoran, di stadion, “tifosi” bersorak gembira menyambut dan menyemangati klub kesayangannya dengan menyeruka aneka yel.

Tim kelas kakap dari Serie A, sebut saja Lazio, AS Roma, Inter Milan, bahkan Juventus memiliki masing-masing fans garis keras. Mereka mengukuhkan diri sebagai tifosi yang dibakar bara sistematis bahwa hanya klubnyalah yang terbaik di jagad Liga Italia, bahkan di Benua Biru.

Lazio berseteru dengan AS Roma. Inter Milan memiliki fans yang mengusung kredo, “Inter, untuk sekarang dan selamanya”.

Juventus senantiasa dikaitkan perusahaan otomotif FIAT yang didukung oleh ratusan bahkan ribuan pekerja pabrik mobil itu. Mereka siap bergerak untuk meraih kejayaan klub kesayangannya sesuai dengan kondisi dan kehendak si penggerak. Dibangunlah sejumlah stadion sebagai langkah menampung gejolak rivalitas dari fans.

Dari konteks sejarah, sesudah tahun 1945, sederet orang kaya yang nota bene memiliki ambisi politis di Italia memasuki gelanggang sepak bola. Sebut saja, raja galangan kapal Achille Lauro di Naples, dan tentunya Silvio Berlusconi di Milan.

Politik dan sejarah beririsan dengan gelontoran fulus dari pengusaha berjuluk gila bola.

Berlusconi bukan pebisnis kelas kakap yang menyandang predikat sebagai orang pertama yang terjun menggeluti sepak bola.

Lauro, pada 1936, menguasai Napoli. Ia tampil sebagai salah satu sosok yang krusial dalam perjalanan sejarah klub Italia sampai tahun 1960-an. Ia dikenal sebagai pribadi yang tidak sabaran, sampai-sampai ia pernah memecat seorang manajer setelah tiga pekan klubnya tidak meraih kemenangan.

Sepenggal sejarah Liga Italia itu hendak menegaskan bahwa politik dapat didaulat sebagai sebagai aktivitas atau proses yang mencakup pengelolaan kepentingan, pengaturan tatanan yang sarat dengan konflik kepentingan.

Berkaca dari nukilan sejarah Serie A itulah, Erick perlu mengelola segala kepentingan, dan mengatur tatanan yang sarat dengan konflik kepentingan (baca: di tubuh PSSI).

Dalam pertarungan yang berhias konflik kepentingan itulah, kerapkali pembagian kekuasaan menduduki porsi tidak kecil. Politik lantas dipandang sebagai aktivitas yang dilakukan untuk mengarahkan kinerja kekuasaan bagi terselenggaranya tatanan yang harmonis.

Bagi Erick, sepak bola memuat aktivitas yang memerlukan kinerja bagi terciptanya tatanan yang harmonis dan prestasi yang membanggakan.

Di mata Ketua Umum PSSI itu, pola relasi antara sepak bola dan politik memuat dua sisi dari satu mata uang.

Di satu sisi, politik dan sepak bola disadari sebagai sumber konflik; di lain sisi, politik dan sepak bola diupayakan sebagai langkah meraih solusi. Inilah sisi transformatif dan edukatif yang ditawarkan mantan presiden Inter Milan tersebut.

Erick memulai langkah transformatif sepak bola nasional dengan berupaya membereskan tiga benang kusut yang melilit sepak bola Indonesia.

Ketiga masalah itu, adalah soal suporter, fasilitas pelatihan, dan peningkatan kualitas tim nasional.

Soal pembinaan terhadap suporter klub-klub di Indonesia, Erick menggarisbawahi Tragedi Kanjuruhan yang menewaskan 135 orang pada 1 Oktober 2022. Terakhir terjadi kericuhan di luar Stadion Jatidiri, Semarang, Jawa Tengah, di sela laga Liga 1 antara PSIS Semarang kontra Persis Solo, Jumat (17/2/2023).

Ironisnya, kericuhan yang mengakibatkan sejumlah orang terluka itu terjadi justru sehari setelah Erick terpilih menjadi Ketua Umum PSSI 2023-2027.

Ketika merespons dua kerusuhan dalam sepak bola itu, Erick terpateri bahkan terinspirasi oleh pernyataan filosof politik Hannah Arendt yang menyatakan, “Menjadi politis semua diputuskan melalui persuasi, bukan melalui kekerasan. Memaksa orang dengan kekerasan dan bukan dengan persuasi adalah cara pra-politis.”

Kekerasan yang menjiwai kerusuhan dalam laga sepak bola, sejatinya mencerminkan kegagalan gelanggang politik; sedangkan negosiasi dan kompromi menjiwai idiom dari politik yang sesungguhnya. Di sinilah langkah edukatif yang ditawarkan Erick saat mengarungi gelombang bahtera sepak bola Indonesia.

Erick menawarkan solusi saat mengarungi samudera sepak bola dan politik. “Kita coba membuat transformasi sepak bola yang benar-benar punya fondasi. Bukan hanya ada mimpi, cita-cita, dan tujuan,” katanya.

“Setelah membahas persoalan di Semarang, keputusan Komite Eksekutif (Exco) adalah membuat Komite Ad Hoc Suporter. Ini diputuskan karena transformasi sepak bola harus melibatkan suporter,” katanya pada Sabtu (18/2), seusai rapat Exco PSSI di Jakarta.

Benar bahwa transformasi sepak bola perlu menyelesaikan tiga masalah yang menyangkut suporter, fasilitas pelatihan, dan peningkatan kualitas tim nasional. Benar juga bahwa relasi antara politik dan sepak bola akan berjalan harmonis bila politik dan sepak bola bukan sebatas fakta atau peristiwa yang faktual.

Politik dan sepak bola menunjuk kepada nilai normatif yang terus dikejar atau dicita-citakan di masa depan. Politik bersama sepak bola membuat personel di tubuh PSSI gelisah karena dituntut terus bergerak. Mereka bakal dibuat tidak bisa tidur nyenyak saat mengurus sepak bola Indonesia di bawah kepemimpinan Erick Thohir. (###)

(*) Penulis adalah wartawan LKBN Antara (1991-2021)

Staf Pengajar Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS)

Penulis dua buku masing-masing berjudul “Gila Bola” dan “Kerja, Kerja, Kerja”.